Baru Disahkan, Sejumlah Kelompok Bersiap Ajukan Uji Materi UU KPK
›
Baru Disahkan, Sejumlah...
Iklan
Baru Disahkan, Sejumlah Kelompok Bersiap Ajukan Uji Materi UU KPK
Meski baru disahkan oleh DPR, sejumlah elemen masyarakat sipil berencana untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait pasal-pasal bermasalah dalam RUU KPK.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG/KURNIA YUNITA RAHAYU/BENEDIKTUS KRISNA YOGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski baru disahkan oleh DPR, sejumlah elemen masyarakat sipil berencana untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait pasal-pasal bermasalah dalam RUU KPK. Para anggota DPR mempersilakan jika nantinya ada masyarakat yang ingin mengajukan uji materi.
Ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, pasal-pasal bermasalah dalam RUU KPK sangat layak diuji materi karena memiliki dasar hukum atau legal standing yang kuat. Menurut dia, saat ini sejumlah koalisi masyarakat sipil sedang menyiapkan kajian untuk pengajuan uji materi.
”Kami masih menunggu RUU ini diundang-undangkan dan ditandatangani oleh presiden. Sambil menunggu, kami sedang menyiapkan kajiannya. Setelah itu, baru bisa diuji materi di MK,” ucapnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Bivitri mengatakan, sejumlah pasal bermasalah yang layak untuk diuji materi, yaitu terkait status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara yang diatur dalam Pasal 24 Ayat 2 RUU KPK.
”Para pegawai KPK ini memiliki kekhususan yang jenjang kariernya dinilai berdasarkan kemampuan dan kapabilitasnya dan ada pihak yang melakukan penilaian. Sementara ASN jenjang kariernya bergantung pada atasan,” katanya.
Sejumlah pasal bermasalah yang layak untuk diuji materi, yaitu terkait status pegawai KPK menjadi ASN yang diatur dalam Pasal 24 Ayat 2 RUU KPK.
Selain itu, Bivitri juga mempermasalahkan penyadapan yang harus mendapat izin dewan pengawas. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 37 B Huruf b dan Pasal 12 B Ayat 1 RUU KPK. Ia khawatir, surat perintah izin penyidikan bisa bocor jika penyadapan harus dilaporkan dulu ke dewan pengawas.
”Seharusnya, izin penyadapan tidak perlu diberitahukan kepada lembaga yang bukan penegak hukum seperti dewan pengawas. Saya khawatir akan banyak konflik kepentingan karena dewan pengawas dipilih oleh presiden," katanya.
Secara terpisah, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Oce Madril mengatakan, dalam merevisi suatu UU, lazimnya terdapat ketentuan peralihan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum akibat perubahan ketentuan dalam perundang-undangan. Namun, tidak demikian dalam RUU KPK.
”Ini aneh karena RUU ini langsung dikunci sehingga penanganan kasus-kasus yang lama akan mengacu pada UU baru. Berarti, kan, sebetulnya di Pasal 70C ini mereka (DPR dan pemerintah) ingin menghentikan kasus-kasus yang ada di KPK. UU ini luar biasa koruptifnya,” ujar Oce.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Desmond J Mahesa, mengatakan, pokok masalah dewan pengawas yang menjadi kewenangan mutlak presiden membuka celah intervensi terhadap KPK. Menurut dia, semestinya komposisi dewan pengawas terdiri dari dua legislatif, dua eksekutif, dan satu orang dari pimpinan KPK. Hal ini sama saja melemahkan KPK. Oleh sebab itu, Desmond mengatakan, RUU KPK layak untuk diuji materi.
”Oleh sebab itu saya mendukung masyarakat sipil untuk mengajukan uji materi ke MK,” ucapnya.
Ini aneh karena RUU ini langsung dikunci sehingga penanganan kasus-kasus yang lama akan mengacu pada UU baru. Berarti kan sebetulnya di Pasal 70C ini DPR dan Pemerintah ingin menghentikan kasus-kasus yang ada di KPK. UU ini luar biasa koruptifnya. (Oce Madril)
Sebelumnya, Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Fajri Nursyam mengatakan, revisi UU KPK sejak awal ditengarai cacat prosedur. RUU ini sebenarnya sudah dicabut dari Program Legislasi Nasional 2019, tetapi tiba-tiba diputuskan menjadi usul inisiatif DPR. Itu diduga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pembahasan RUU KPK sudah sesuai dengan putusan MK tahun 2017 yang menyebutkan bahwa KPK masuk dalam rumpun lembaga eksekutif.
”Ada juga yang bilang kalau tidak ada naskah akademis dalam pembahasan RUU KPK, yang benar saja, memangnya kami orang tolol apa,” ucapnya.