Meskipun menuai pro dan kontra, Dewan Perwakilan Rakyat tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi undang-undang. Sebagian fraksi memberi catatan saat pengesahan ini.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG/KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi undang-undang dalan rapat paripurna, Selasa (17/9/2019). Meski banyak penolakan dari sejumlah elemen masyarakat, RUU ini tetap disahkan dengan sejumlah catatan dari sejumlah fraksi.
Ketua DPR Fahri Hamzah memimpin rapat paripurna dengan agenda pembahasan tingkat II dan pengambilan keputusan terhadap RUU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pembarantasan Tindak Pidana Korupsi. Ia mengatakan, ada 289 anggota yang menandatangani daftar hadir meski tidak semua anggota bisa datang ke ruang rapat. Proses pengesahan payung hukum itu berlangsung sekitar setengah jam.
”Akan ada tiga sesi dalam proses pengesahan kali ini. Kami akan dengar terlebih dahulu laporan dari Ketua Badan Legislasi DPR, kemudian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), lalu jika ada catatan dari tiap fraksi bisa disampaikan dalam rapat paripurna kali ini,” ujarnya di Ruang Rapat Paripurna DPR, Senayan, Jakarta.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Gerindra, Supratman Andi Agtas, menjelaskan, masih ada dua fraksi yang memberikan catatan, yaitu Partai Gerindra dan PKS. Kemudian ada satu fraksi yang belum menyampaikan pandangannya, yaitu Partai Demokrat.
”Dalam perkembangannya, kinerja KPK dirasa kurang efektif, koordinasi antarlini penegak hukum lemah, terjadi pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan staf KPK, serta ada masalah dalam pelaksanaan tugas dan wewenang,” ujar Supratman dalam laporannya.
Supratman menjelaskan, beberapa masalah KPK yakni soal seperti problem penyadapan, pengelolaan penyidik dan penyelidik yang kurang terkoordinasi, dan belum adanya lembaga yang mengawasi pelaksanaan tugas KPK. ”Perubahan beberapa ketentuan dalam UU diharapkan bisa mengurangi ketimpangan hubungan antar-kelembagaan penegak hukum dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan tidak memonopoli tugas wewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,” ujarnya.
Sementara itu, dalam laporannya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengucapkan terima kasih kepada anggota Badan Legislasi dan para anggota dewan atas disahkannya RUU ini. ”Perkenankan kami mewakili Presiden menyatakan setuju atas pengesahan RUU Nomor 30 Tahun 2002 dan kami mengucapkan terima kasih kepada para pimpinan, anggota Badan Legislasi, dan anggota dewan atas kerja kerasnya untuk menyelesaikan pembahasan RUU ini,” katanya.
Yasonna mengatakan, dalam RUU ini nantinya ditetapkan bahwa KPK memiliki wewenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan perlu juga diatur status kepegawaian para pegawai KPK.
Dengan catatan
Setelah laporan tersebut, sejumlah fraksi menyampaikan catatan terkait RUU KPK. Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifa Amaliah, mengatakan, meski sepakat mengesahkan RUU KPK melalui rapat paripurna, fraksinya masih keberatan dengan pembentukan Dewan Pengawas KPK yang tidak berdiri sebagai lembaga independen.
Dalam revisi UU KPK disebutkan dewan pengawas merupakan bagian dari KPK. Menurut PKS, kebersatuan lembaga itu mengancam independensi KPK. Pada tingkatan selanjutnya, tentu dapat memperlemah kinerja lembaga antirasuah. Pemilihan seluruh anggota dewan pengawas KPK oleh presiden juga menjadi catatan dari PKS. Selain itu, kewenangan dewan pengawas memberikan izin penyadapan juga dinilai bermasalah.
”Penyadapan adalah senjata KPK dalam mencari bukti untuk mengungkap kasus korupsi yang termasuk dalam kejahatan luar biasa. Seharusnya KPK cukup memberitahukan, bukan meminta izin dari dewan pengawas untuk menyadap,” kata Ledia. Selanjutnya, tugas dewan pengawas adalah memonitor dan mengevaluasi penyadapan. Hal itu penting agar tidak ada penyelahgunaan wewenang selama penyadapan.
Masih soal dewan pengawas, anggota Fraksi Gerindra, Edhy Prabowo, mengatakan, pemilihan anggota dewan pengawas yang menjadi kewenangan mutlak presiden membuka celah intervensi terhadap KPK. Semestinya, dewan tersebut dipilih oleh lembaga independen. ”Kami tidak bertanggung jawab jika terjadi penyalahgunaan semangat penguatan KPK yang ujungnya nanti malah melemahkan,” kata Edhy.
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa mengusulkan, komposisi dewan pengawas juga terdiri dari berbagai pihak. Sebanyak dua orang dari legislatif, dua orang dari eksekutif, dan satu orang dari KPK.
Senada, Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Ranik mengatakan, kewenangan mutlak presiden memilih anggota dewan pengawas pun berbahaya.
”Partai Demokrat memberikan catatan secara khusus terkait dengan dewan pengawas. Kami mengingatkan adanya kemungkinan abuse of power apabila anggotanya dipilih presiden. Fraksi Partai Demokrat tetap berpandangan bahwa hematnya dewan pengawas ini tidak menjadi kewenangan presiden,” ujarnya.
Catatan lain hadir dari anggota Komisi III sekaligus anggota Baleg dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani. Ia mengatakan, untuk menguatkan pemberantasan korupsi, revisi tak bisa berhenti pada UU KPK saja. Ke depan, perlu ada pengubahan juga pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, ia juga mendorong DPR dan pemerintah untuk merumuskan UU tentang perampasan aset.