Lika-liku Atlet Berburu Sponsor
Atlet-atlet top nasional dengan berbagai prestasi ternyata tidak begitu saja bisa mendapatkan sponsor. Mereka masih harus meyakinkan calon sponsor supaya mau mendukung pengembangan kariernya. Usaha itu penuh lika-liku.
Menjadi atlet sukses memerlukan jalan panjang dengan pengorbanan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Agar dapat memenuhi keperluan latihan dan uji coba kejuaraan, atlet kerap merogoh kocek pribadi atau memanfaatkan dukungan dari sponsor. Namun, untuk mendapatan sponsor tidaklah mudah karena status juara dunia pun tidak menjamin sponsor tertarik mendukung.
Lifter Eko Yuli Irawan mengatakan, menggaet sponsor bukanlah perkara mudah. ”Setiap hari waktu saya sudah habis untuk berlatih. Kalau akhir pekan, saya berkumpul dengan keluarga. Rasanya tidak ada waktu kalau harus menyusun proposal dan melakukan pendekatan kepada sponsor,” ujar juara dunia angkat besi kelas 61 kg itu di Jakarta, Minggu (8/9/2019).
Beruntunglah, Eko Yuli berhasil merebut emas Asian Games 2018. Keberhasilan itu mencuri perhatian publik Indonesia. Apalagi, pesta olahraga antar negara se-Asia itu disiarkan langsung di sejumlah televisi swasta. Begitu dipastikan merebut emas, Eko kebanjiran ucapan selamat dari masyarakat yang disampaikan melalui sosial media, seperti Instagram.
Seiring semakin banyak orang mengenal Eko Yuli dan cabang angkat besi, sponsor pun mulai berdatangan sehingga Eko tidak perlu repot-repot menyusun sponsor kerja sama. ”Beberapa (sponsor) mengontak saya melalui Instagram. Lalu, kami ketemuan dan menjalin kerja sama. Sebagai timbal baliknya saya harus mempromosikan produk mereka melalui sosial media,” kata peraih tiga medali Olimpiade ini.
Tercatat, Eko Yuli menjalin kontrak individu dengan Lazada, Visa, dan Bridgestone. Adapun secara tim, Eko Yuli dan kawan-kawan, penghuni pelatnas angkat besi, mendapatkan dukungan produk nutrisi dari Herbalife. Kontrak kerja sama ini telah terjalin selama satu hingga tiga tahun.
Meski prestasinya telah memikat cukup banyak sponsor, Eko Yuli tidak mau larut di dalamnya. Lifter berusia 30 tahun ini tetap berusaha menjaga profesionalitas sebagai atlet dengan tidak menyanggupi seluruh permintaan sponsor. Kegiatan seperti pengambilan gambar untuk iklan atau acara-acara promosi selalu dilakukan Eko Yuli saat sedang libur pelatnas.
Pada cabang akuatik, I Gede Siman Sudartawa menjadi satu-satunya perenang yang mendapatkan sponsor dari perusahaan bumbu masakan Ajinomoto. Perusahaan ini mendukung karier Siman dengan menyediakan nutrisionis, juru masak, dan bahan makanan berkualitas. Kontrak individu dengan perusahaan ini nilainya mencapai Rp 1 miliar per tahun.
Seusai berlatih di Kolam Renang Cikini, Jakarta Pusat, Senin (2/9/2019), Siman mengonsumsi makanan yang disediakan pihak sponsor berupa kentang rebus dan telur. Tidak hanya saat berlatih di Jakarta, tim nustrisi juga mendampingi Siman saat harus menjalani pemusatan latihan di West Virginia, Amerika Serikat, pada Selasa, 2 September-23 Oktober 2019.
Pelatih renang nasional Albert C Sutanto menuturkan, Ajinomoto telah berhasil dengan program Victory Meal Plan di Jepang. ”Program di Jepang telah berjalan selama tujuh tahun dan sukses mengantar negara itu mendapatkan medali emas di Olimpiade dan Kejuaraan Dunia. Oleh karena itu, mereka ingin membantu negara-negara Asia lainnya dengan program yang sama,” kata Albert.
Berkat kerja sama dengan sponsor, Siman lebih memahami makanan-makanan yang baik untuk tubuhnya sehingga memudahkan perenang dengan enam medali emas SEA Games (2011-2017) itu untuk menjaga berat badan ideal. Saat Siman mengalami cedera bahu, akhir tahun lalu, misalnya, berat badannya hanya naik sebanyak 2 kg. Padahal, dia absen berlatih lebih dari tiga bulan.
Albert mengatakan, dukungan sponsor sangat membantu perenang menjalani program pelatnas mengingat dukungan anggaran dari pemerintah sangat minim. Untuk keperluan akomodasi dan konsumsi atlet, misalnya, hanya Rp 350.000 per orang per hari. Padahal, untuk mencapai puncak penampilan mereka, atlet membutuhkan nutrisi dan vitamin lebih kompleks dari orang-orang biasa.
Namun, untuk mendapatkan dukungan sponsor tidak mudah mengingat renang bukanlah cabang olahraga populer, seperti bulu tangkis dan sepak bola. ”Kalaupun ada, dukungan biasanya bukan untuk tim, tetapi individu atlet. Kontraknya juga per tahun, bukan jangka panjang,” kata Albert.
Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PB PABBSI Alamsyah Wijaya menuturkan hal serupa. Menurut dia, tantangan utama adalah mendapatkan sponsor yang mau mendukung jangka panjang. ”Biasanya, kami mendapatkan sponsor karena punya koneksi. Begitu koneksi terputus, dukungan sponsor juga terputus,” katanya.
Menjelang Olimpiade Rio de Janeiro 2016, misalnya, tim angkat besi Indonesia mendapatkan suplai daging sapi Australia. Namun, karena koneksi dengan perusahaan itu terputus, tidak ada lagi kiriman daging yang sangat dibutuhkan atlet-atlet Indonesia. Kini, angkat besi Indonesia mendapatkan dukungan produk nutrisi dari perusahaan Herbalife.
Kelemahan perusahaan di Indonesia, menurut Albert, adalah selalu mau mendukung atlet-atlet yang sudah sukses. Perusahaan enggan mendukung atlet yang sedang merintis karier. Berbeda dengan perusahaan dari luar negeri, mereka mendukung atlet yang dinilai bisa berkembang. ”Dalam prosesnya, ada atlet yang setelah mendapatkan sponsor berhasil, ada yang gagal. Itu tidak masalah karena yang terpenting bukan mendapatkan juara, tetapi ada nilai yang dirasakan atlet,” katanya.
Country Marketing Head Herbalife Indonesia Elfrida V Napitupulu mengatakan, pihaknya sebenarnya terbuka untuk mendukung siapa pun atlet Indonesia yang ingin bekerja sama mengingat nilai-nilai perusahaan ini seirama dengan aktivitas atlet, yaitu mempromosikan budaya hidup sehat melalui olahraga dan mengonsumsi nutrisi sehat.
Tetapi, tantangannya, menurut Elfrida, proses kerja sama itu kerap berbenturan dengan birokrasi dari lembaga olahraga yang menaungi atlet. ”Tantangan kami bukan kerja sama dengan atlet, tetapi dengan lembaga olahraganya. Kami ingin memberikan produk, tetapi lembaga meminta sejumlah uang yang tidak bisa kami penuhi. Akhirnya, atlet tidak bisa mendapatkan produk kami,” katanya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Herbalife kerap menjalin kerja sama dengan atlet secara individu atau dengan lembaga olahraga yang memang ingin menggunakan produk mereka untuk memberikan nutrisi kepada atlet. Saat ini, Herbalife mendukung cabang triatlon, basket, balap sepeda, voli pantai, dan atlet-atlet disabilitas yang berada di bawah bendera Komite Paralimpiade Nasional.
Latihan mandiri
Mengikuti berbagai turnamen internasional, termasuk belatih dengan mandiri, bukan hal yang mudah dilakukan atlet. Ini pernah dialami pebulu tangkis ganda putra, Markis Kido/Hendra Setiawan, ketika berlatih di luar pelatnas pada 2010-2012.
Perbedaan besar mereka rasakan ketika tak lagi berstatus atlet pelatnas. Di pelatnas bulu tangkis Cipayung, semua kebutuhan atlet dipenuhi PP PBSI, seperti tempat tinggal, makan, pelatih, tempat latihan, dokter, fisioterapis, vitamin dan obat-obatan, hingga biaya menjalani turnamen internasional.
Ketika memilih berlatih di luar Cipayung, Kido/Hendra pun harus memenuhi semua kebutuhan sendiri. Mereka mencari sponsor, memesan hotel, mencari tiket pesawat, sewa lapangan latihan, dan membayar pelatih. ”Repot, tapi punya pengalaman baru,” ujar Hendra ketika ketika pertama kali keluar dari pelatnas.
Dalam urusan mencari sponsor, status Kido/Hendra sebagai juara dunia 2007 dan juara Olimpiade Beijing 2008 ternyata tak mempermudah itu. ”Sponsor biasanya mempertimbangkan status atlet pelatnas atau bukan. Kalau bukan atlet pelatnas, jarang yang mau. Jadi, awalnya kami pakai uang sendiri karena sangat susah cari sponsor. Akhirnya, kami nanya Koh Hari mau enggak jadi sponsor kami,” tutur Hendra menyebut Hariyanto Arbi, pemilik perusahaan perlengkapan bulu tangkis, Flypower.
Setelah melakukan pendekatan dengan juara dunia tunggal putra 1995 itu, Kido/Hendra pun mengikat kontrak dengan Flypower selama tiga tahun.
Dipanggil lagi ke pelatnas pada 2012, Hendra berpasangan dengan Mohammad Ahsan. Kali ini, PP PBSI telah memberlakukan sistem kontrak individu, menggantikan kontrak kolektif. Dalam kontrak koletif, sponsor mengikat kerja sama dengan PBSI lalu membagi uang kontrak pada lima nomor sesuai prestasi masing-masing.
Adapun dalam kontrak individu, atlet bekerja sama langsung dengan sponsor. Dikatakan Ketua Bidang Pembinaan Prestasi PP PBSI Susy Susanti, setiap atlet mendapat semua uang kontrak, termasuk uang hadiah. Kebutuhan mereka, seperti makan, kesehatan, tempat tinggal, hingga biaya turnamen, ditanggung PBSI.
Dalam sistem seperti ini, prestasi atlet menjadi nilai jual tersendiri bagi sponsor. Hendra pernah diragukan calon sponsor karena usianya telah memasuki kepala tiga. Memasuki usia 30-an, dia diprediksi segera ”habis” meski pada akhirnya masih bisa berprestasi dengan menjuarai All England dan juara dunia pada 2019 bersama Ahsan.
”Sistem kontrak individu lebih enak, tetapi tanggung jawab kami juga besar. Prestasi pasti jadi pertimbangan untuk selanjutnya, jika target tak terpenuhi, nilai kontrak bisa turun,” tutur Hendra, yang bersama Ahsan, saat ini, disponsori Mizuno dan Yuzu. Mereka mendapat uang kontrak dari keduanya ditambah perlengkapan olahraga dari Mizuno.
Tekad besar
Namun, tak semua perusahaan berkenan memberikan bantuan berupa uang. Seperti pernah dikatakan petenis nomor satu Indonesia, Christopher ”Christo” Rungkat, umumnya perusahaan hanya bersedia membantu memberi produk. Maka, tak jarang, Christo mengeluarkan uang sendiri untuk mengikuti tur tenis profesional.
Dalam kunjungan ke Kompas setelah tampil di Wimbledon, Juli, Christo bercerita, dirinya selalu menggunakan bonus sebagai juara SEA Games, Asian Games, atau kejuaraan lain untuk menjalani tur dan menyewa pelatih. Beruntung, sejak tahun ini, biaya turnya dibantu Pelti Jawa Timur.
Sebagai gambaran, Christo menghabiskan 53.000 dollar AS (Rp 742 juta) pada Januari-Oktober 2018 untuk makan, transportasi, dan akomodasi saat tur. ”Itu tidak termasuk membayar pelatih karena saya tak punya pelatih. Kalau ada pelatih, biaya yang dibutuhkan bisa dua kali lipat. Belum lagi fisioterapis dan pelatih fisik,” katanya.
Dituturkan Christo, yang saat ini disponsori Adidas, Bank BRI, Head, dan Pocari, mencari sponsor dari perusahaan dalam negeri tak mudah. Beberapa tahun lalu, dia pernah mengajukan proposal kerja sama pada maskapai perkembangan nasional, tetapi tak pernah mendapat jawaban. Akhirnya, dia pun disponsori perusahaan penerbangan Amerika Serikat.
Menjalani persaingan di arena tenis profesional sejak 2007, Christo pun berpendapat, tak hanya biaya besar yang dibutuhkan untuk menjadi petenis profesional. ”Atlet juga harus punya tekad untuk mengembangkan diri dan mau bersaing di arena internasional. Tanpa tekad tersebut, petenis hanya bisa berlatih dan mengikuti turnamen di negara sendiri,” ujar Christo.