Pisau Bermata Dua Hutan Indonesia
Memiliki kekayaan hutan berlimpah memberi banyak manfaat bagi Indonesia, seperti hasil hutan, wisata, dan devisa ekspor. Namun, keberadaan hutan juga menyimpan potensi bencana kebakaran hutan dan lahan.
Memiliki kekayaan hutan berlimpah memberi banyak manfaat bagi Indonesia, seperti hasil hutan, wisata, dan devisa ekspor. Namun, keberadaan hutan juga menyimpan potensi bencana kebakaran hutan dan lahan. Komitmen mencegah kebakaran hutan melalui sistem pencegahan, pemberian penghargaan, serta sanksi hukum diperlukan untuk menjaga hutan tetap lestari.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hutan. Luas hutan di Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan area hutan terluas di dunia. Sekitar 93,95 juta hektar atau 50 persen wilayah daratan Indonesia merupakan hutan. Tidak heran, muncul sebutan bagi ekosistem hutan di Indonesia, seperti ”Paru-paru Dunia” untuk hutan di Kalimantan dan ”Birds of Paradise” untuk hutan di Papua yang diibaratkan surga.
Hutan hujan tropis yang dimiliki Indonesia menjadi surga bagi beragam flora dan fauna. Bahkan, tingkat keanekaragaman hayati di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara lain di dunia, menyaingi Brasil dan Kolombia.
Baca juga: Hidup dalam Kepungan Polusi Udara
Sebagian besar hutan Indonesia (88,15 persen) tersebar di Papua, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Keempat daerah tersebut juga menjadi pusat ekosistem gambut seluas 14,9 juta hektar.
Kekayaan hutan Nusantara memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi Indonesia. Pada 2018, devisa dari ekspor kayu mencapai 12,2 miliar dollar AS. Penerimaan tersebut naik dibandingkan dengan setahun sebelumnya, 10,3 miliar dollar AS.
Namun, layaknya bumerang, hutan Indonesia juga menjadi sumber bencana, yaitu kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi bencana tahunan yang melanda Indonesia.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah menjadi pembicaraan internasional sejak kejadian 1982-1983. Apalagi, pada 1998, karhutla di Indonesia menjadi yang terparah di dunia karena menghanguskan 9,75 juta hektar lahan. Kemudian, kebakaran besar juga terjadi pada 2015 dengan luasan lahan terbakar 2,61 juta hektar.
Wilayah yang memiliki area hutan paling luas tentu menjadi wilayah yang paling terancam atas bencana ini. Mulai dari tahun 2014 hingga awal September 2019, wilayah Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Bali-Nusa Tenggara terdampak karhutla paling luas.
Jika dilihat per provinsi, karhutla terluas terjadi di Sumatera Selatan (680.700 hektar), Papua (656.170 hektar), Kalimantan Tengah (640.890 hektar), Riau (349.480 hektar), dan Kalimantan Selatan (310.790 hektar).
Baik hutan di tanah mineral maupun tanah gambut habis terbakar. Berdasarkan data KLHK, mulai dari tahun 2015 hingga Juli 2018, 1,06 juta hektar tanah gambut habis terlalap api. Sementara di tanah mineral, luasnya lebih besar, yaitu 2,23 juta hektar.
Calon ibu kota baru
Berada di Pulau Kalimantan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari hutan membuat dua daerah calon ibu kota baru tidak terhindar dari karhutla. Pada 12 September 2019, sekitar 100 hektar lahan gambut di Penajam Paser Utara terbakar. Bencana ini menimbulkan kabut asap yang meluas hingga Balikpapan (Kompas, 13 September 2019).
Potensi karhutla di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara cukup tinggi saat musim kemarau seperti saat ini. Nurlaila, Kepala Bidang Logistik dan Peralatan BPBD Penajam Paser Utara, mengatakan, hingga 3 September 2019, telah terjadi enam kasus karhutla.
Hal ini cukup mengkhawatirkan sebab hari tanpa hujan atau musim kemarau diprediksi akan terjadi hingga Oktober 2019. Apalagi, berdasarkan data BPS Penajam Paser Utara 2018, luas area karhutla mencapai 21,75 hektar. Artinya, tahun ini luas karhutla meningkat.
Di Indonesia, frekuensi karhutla meningkat ketika mulai Agustus hingga September.
Meskipun begitu, calon ibu kota ini relatif lebih aman dari ancaman karhutla dibandingkan dengan daerah lain di Kalimantan. Berdasarkan pantauan Global Forest Watch dari sensor MODIS, Kecamatan Sepaku di Penajam Paser Utara dan Kecamatan Semboja di Kutai Kartanegara termasuk daerah yang memiliki sejarah karhutla rendah. Artinya, karhutla jarang terjadi di daerah ini.
Hal itu terlihat dari simbol titik panas dan wilayah yang dilanda karhutla di dua daerah tersebut dari tahun 2013-2018. Dibandingkan dengan daerah lain di Kalimantan, dua kecamatan tersebut tidak memiliki banyak titik panas. Titik panas ditandai dengan titik warna merah.
Dalam kurun tersebut, daerah ini hanya mengalami kebakaran lahan paling parah pada 2015. Hal itu terlihat dari area warna biru pada daerah tersebut di tahun 2015.
Hotspot atau titik panas ditandai dengan titik warna merah. Semakin banyak titik merah, semakin sering kebakaran terjadi di daerah itu.
Titik panas
Usaha mengurangi karhutla pun terus dilakukan, salah satunya melalui pemantauan kejadian karhutla. Pemantauan karhutla telah dilakukan sejak 1984 dengan pelaporan kejadian karhutla melalui instansi di daerah.
Mulai dari tahun 1997 hingga 2010, pemantauan karhutla dilakukan melalui satelit NOAA atas kerja sama dengan Jepang. Hingga saat ini, pemantauan terus dilakukan juga melalui satelit Terra/Aqua (MODIS).
Pemantauan karhutla dilakukan melalui deteksi hotspot (Titik Api) menggunakan satelit. Satelitini akan mendeteksi anomali suhu panas dalam luasan tertentu, misalnya satelit Terra dan Aqua dengan sensor MODIS mendeteksi dalam luasan 1 kilometer persegi.
Namun, titik panas yang terdeteksi satelit tidak selalu bersumber dari kebakaran. Bisa jadi aktivitas pembakaran di pabrik, pembakaran tumpukan kayu, sisa pembakaran batubara, atap atau seng yang terkena sinar matahari dapat terdeteksi sebagai titik panas. Biasanya, karhutla terdeteksi apabila terdapat beberapa titik panas yang menggerombol yang berarti terdapat anomali suhu panas dalam area yang luas.
Di Indonesia, frekuensi kejadian karhutla meningkat mulai Agustus hingga September. Ini sesuai dengan data matrik titik panas hasil pantauan LAPAN melalui satelit Terra/Aqua 2016-2019 yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah titik panas secara drastis setiap Agustus dan penurunan jumlah titik panas pada Oktober.
Berdasarkan pantauan satelit TERRA/AQUA dengan sensor MODIS milik LAPAN, pada Agustus 2019, jumlah titik panas dengan tingkat kepercayaan lebih dari 80 persen meningkat dari 592 titik pada Juli 2019 menjadi 3.428 titik. Data sampai 9 September 2019 menunjukkan, jumlah titik panas meningkat menjadi 3.628 titik.
Kemunculan titik panas ini semakin meningkat apabila intensitas hujan mulai menurun. Atau dengan kata lain, Indonesia mulai memasuki musim kemarau. Apalagi, kemarau terjadi karena fenomena El-Nino. Kemarau dan El-Nino akan memicu kekeringan sekaligus kebakaran hutan.
Kekeringan tahun ini merupakan yang terparah setelah tahun 1997 dan 2015. Kekeringan pada 1997 memicu kebakaran hutan dan lahan terhebat di Indonesia. Fenomena serupa terjadi pada 2015. Meski tak separah 1998 dan 2015, kekeringan diikuti meningkatnya titik panas.
Musim kemarau masih belum berakhir, kekeringan diperkirakan masih akan berlanjut sepanjang bulan ini. Kondisi ini diperparah dengan anomali suhu di Samudra Hindia dan fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) positif.
Kondisi ocean dipole positif menandakan suhu muka laut barat Sumatera lebih dingin dibandingkan dengan bagian lain di timur Afrika sehingga minim penguapan dan terbentuknya awan hujan di Indonesia. Potensi karhutla terus mengkhawatirkan dengan kondisi cuaca yang ekstrem, sementara potensi turunnya hujan diprediksi masih terjadi di akhir bulan.
Selain karena kondisi alam, ulah manusia menjadi penyebab utama karhutla. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, dalam kurun 2015-2018 terdapat 171 perusahaan yang telah diberikan sanksi atas kasus karhutla.
Tahun ini, sampai akhir Agustus lalu, KLHK menetapkan tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai tersangka kasus karhutla. Jumlah tersangka bisa bertambah karena KLHK sedang menyegel 27 konsesi kebun dan hutan lain di lima provinsi.
Baik perusahaan besar maupun usaha perkebunan rakyat masih saja menggunakan cara membakar untuk membuka lahan baru. Meskipun aturan pemerintah telah dikeluarkan dan sanksi telah diberikan, masih ada yang terus melanggar. Seperti pantauan Eyes on the Forest (EoF), beberapa korporasi bahkan yang pernah menjadi tersangka kasus karhutla pada 2013 dan 2014 kembali membakar area konsesi restorasi gambut (Kompas, 31 Agustus 2019).
Desa bebas api
Sebaran asap akibat karhutla pada 2015 yang menyebar hingga negara-negara tetangga menyebabkan Indonesia menjadi ”tersangka” atas bencana ini. Tindakan pemerintah cukup tegas saat itu dengan komitmen untuk mencegah karhutla melalui sistem pencegahan, pemberian penghargaan dan hukuman, serta pemantauan lapangan oleh berbagai pihak.
Berbagai usaha yang telah dilakukan membuahkan hasil. Luas area kebakaran menurun dari 2,61 juta pada 2015 menjadi 438.360 hektar pada 2016. Pada 2017, luas area karhutla kembali menurun menjadi 165.480 hektar.
Kekeringan tahun ini merupakan yang terparah setelah tahun 1997 dan 2015. Kekeringan pada 1997 memicu kebakaran hutan dan lahan terhebat di Indonesia.
Namun, tahun lalu, luas area karhutla meningkat menjadi 510.560 hektar. Hal ini menunjukkan perlu adanya usaha lebih keras untuk mencegah karhutla, terlebih dengan prediksi cuaca ekstrem seperti saat ini. Bukan tidak mungkin, hal ini dapat diwujudkan mulai lingkup yang paling kecil di tingkat desa hingga bekerja sama dengan pihak swasta.
Kompas pada 12 Agustus 2019 memberitakan keberhasilan Desa Pelalawan dalam upayanya mengatasi karhutla. Ini berawal dari ajakan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) pada 2015 untuk melibatkan beberapa desa dalam pencegahan karhutla dengan tidak menggunakan api (membakar) dalam membuka lahan.
Desa bebas api mendapat apresiasi anggaran desa Rp 100 juta. Jika masih terbakar di bawah 2 hektar, dapat dana Rp 50 juta. Pada 2016, desa ini berhasil mendapatkan Rp 50 juta dan pada 2017 mendapatkan Rp 100 juta. Artinya, dalam dua tahun setelah ajakan tersebut, Desa Pelalawan berhasil mengurangi karhutla di wilayahnya.
Kolaborasi kepala desa serta organisasi kelompok tani yang peduli lingkungan sebagai local hero menjadi kunci keberhasilan ini. Selain itu, dukungan kerja sama dengan perusahaan yang mendukung pencegahan dengan cara pemberian hadiah (rewarding) dapat menjadi contoh bahwa karhutla dapat kita tangani.
Mencermati pola kebakaran hutan dan lahan yang terjadi, dapat diketahui kapan dan di mana sebaran titik panas terjadi. Agustus dan September merupakan periode panas kebakaran hutan dan lahan. Terdapat lima provinsi dengan area kebakaran hutan dan lahan terluas sepanjang 2014-2019.
Dari data ini, pencegahan karhutla dapat dimulai. Komitmen mencegah kebakaran hutan melalui sistem pencegahan, pemberian penghargaan, serta sanksi hukum diperlukan untuk memadamkan karhutla. Dengan kejadian karhutla yang selalu berulang, patutlah peribahasa ”lebih baik mencegah daripada mengobati” menjadi pengingat semua pihak dalam upaya pencegahan karhutla untuk menjaga hutan Indonesia tetap lestari. (LITBANG KOMPAS)