Di Singapura, selain angkutan umum yang mudah dan nyaman, jalur pejalan kaki yang aman, teduh, dan lebar sangat mendukung perjalanan.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
Begitu menjejakkan kaki di Singapura, yang langsung bisa dilihat dan dialami selain angkutan umum yang mudah dan nyaman adalah akses bagi pejalan kaki. Ke mana pun hendak pergi, terlihat jalur pejalan kaki yang nyaman, teduh, dan lebar sangat mendukung perjalanan.
Begitu pentingnya peran trotoar atau jalur pejalan kaki bagi kemudahan mobilitas warga, penting untuk mendorong lebih banyak pengguna angkutan umum. Pemerintah Singapura secara detail merencanakan jalur pejalan kaki ini.
Tidak hanya di kanan dan di kiri jalan-jalan utama, jalur pejalan kaki ini ada dan melengkapi kawasan permukiman di seluruh negeri berluas 720 km persegi itu. Dengan begitu, berjalan kaki, baik untuk bekerja atau bersekolah atau sekadar berjalan di sekitar rumah, menjadi lebih nyaman.
Seperti yang Kompas alami, Minggu (8/9/2019). Berada di Singapura bersama 15 jurnalis penerima Asia Journalism Fellowship (AJF) 2019, program yang diselenggarakan Lee Kuan Yew School of Public Policy, Institute Policy Studies, National University of Singapore, bekerja sama dengan Temasek Foundation, Kompas diberi kesempatan menjajal pengalaman itu.
Dimulai dari kawasan permukiman di Jalan Clementi, perjalanan Minggu pagi itu sudah mudah. Begitu keluar dari apartemen, jalur pejalan kaki menuju halte bus terdekat sudah terbentang.
Pohon-pohon besar yang ditanam di sisi kanan dan di sisi kiri jalan masuk/keluar kawasan permukiman meneduhkan jalur pejalan kaki itu. Begitu sampai halte bus, tinggal menunggu bus sesuai dengan jadwal, perjalanan lancar.
Melewati sejumlah kawasan permukiman di sisi lain jalan Clementi, pemandangan orang bergerak di jalur pejalan kaki terlihat. Tak ketinggalan, para pengendara sepeda juga sesekali terlihat melintas.
Tiba di kawasan permukiman di bagian kota Singapura lama, yaitu di kawasan pecinan lama di Tiong Bahru, jalur pejalan kaki terbentang bukan hanya di pinggir jalan besar, melainkan juga di dalam kawasan permukiman. Sudah tertata, tak terlihat adanya pedagang kaki lima mangkal di atas trotoar atau di jalur pejalan kaki itu. Jalur betul-betul rapi, resik, dan membuat kawasan tertata.
”Kalau sedang tidak membawa mobil, saya suka berjalan kaki dari rumah ke mana pun. Teduh meski cuaca panas,” ujar Lee Suan (47), warga Singapura.
Bagi Lee Suan, jalan kaki juga menjadi pengganti berolahraga di gym. Apalagi, Pemerintah Singapura dalam beberapa tahun terakhir gencar mengajak warga ”Negari Singa” itu untuk bergerak demi kesehatan, demi mengantisipasi risiko terkena diabetes.
”Minimal target 10.000 langkah sehari bisa tercapai,” ucap Lee Suan sambil menunjukkan aplikasi sehat di telepon genggam miliknya.
Namun, ada hal menarik dari jalur pejalan kaki di negara yang juga dikenal sebagai titik merah kecil (little red dot) itu. Ada bagian-bagian tertentu jalur pejalan kaki itu yang beratap, khususnya di sekitar kawasan permukiman juga kawasan stasiun MRT dan LRT.
Dalam laman resmi Land and Transport Authority (LTA), badan pemerintah yang mengelola dan mengatur pertanahan dan transportasi di Singapura, berjalan kaki menjadi cara warga mengakses berbagai fasilitas umum. Fasilitas itu mulai dari sekolah, kantor, hingga angkutan umum.
Untuk mendukung perjalanan kian aman dan nyaman, jalur pejalan kaki yang sudah ada di semua kawasan permukiman, kawasan perkantoran, juga kawasan angkutan umum ditingkatkan kualitasnya. Jalur trotoar itu diberi atap peneduh sehingga di waktu panas warga terlindung dari terik matahari, pada waktu hujan warga terlindung dari basah air hujan.
Desain atau rancangan jalur pejalan kaki beratap itu diatur dibuat dalam radius 400 meter di sekitar stasiun MRT dan di radius 200 meter di sekitar stasiun LRT dan terminal bus.
Dengan begitu, warga dimudahkan dan dibuat nyaman saat menuju halte bus, stasiun MRT, juga saat menuju fasilitas umum di sekitar kawasan permukiman, seperti layanan kesehatan, sekolah, ataupun pasar.
Program peningkatan jalur pejalan kaki itu dimulai 2013 melalui program Walk2Ride, yaitu program untuk meningkatkan konektivitas para pengguna angkutan umum melalui perjalanan yang cepat, aman, dan nyaman.
Sebelum tahun 2013, jalur pejalan kaki yang tertutup barulah di radius 200 meter dari titik angkutan umum menuju sekolah ataupun pusat layanan kesehatan. Dengan program Walk2Ride itu, jalur pejalan kaki yang beratap diperluas radiusnya. Badan pemerintah setempat menyebutkan, melalui program itu tak kurang dari 200 km jalur pejalan kaki akan diberi atap.
Belum lagi, berdasarkan data badan pemerintah yang mengurusi taman dan pepohonan, di seluruh Singapura ada 2 juta pohon yang ditanam di sepanjang jalan besar ataupun jalan utama, taman-taman, ataupun di tanah-tanah milik negara. Terletak di wilayah tropis yang panas dan lembab, pepohonan itu sungguh meneduhkan.
”Negara kami dirancang supaya warga berjalan kaki. Saya sangat merasakan mudahnya berjalan kaki di sekitar perumahan, saat menuju mal, ataupun halte bus. Semuanya dekat karena jalur pejalan kaki nyaman. Tinggal berjalan kaki lalu disambung angkutan umum MRT atau bus, sampai di lokasi tujuan. Saya tidak pusing untuk cari parkir mobil karena memang tidak perlu membawa mobil,” tutur Choonwei (40), warga Tiong Bahru.
Bagi Jakarta yang juga tengah sibuk memperbaiki trotoar, aspek hijau atau pepohonan serta aneka larangan dan tanda-tanda juga perlu diperhatikan. Jangan sampai agenda revitalisasi trotoar malah memberi tempat bagi pedagang kaki lima atau ojek. Kalau begitu, bagaimana warga bisa bergerak dengan mudah dari dan ke titik angkutan umum dan rumah?