Presiden Joko Widodo diingatkan terkait putusan Mahkamah Agung mengabulkan gugatan warga negara masyarakat Kalimantan Tengah terkait kebakaran hutan dan lahan.
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Presiden Joko Widodo diingatkan terkait putusan Mahkamah Agung mengabulkan gugatan warga negara masyarakat Kalimantan Tengah terkait kebakaran hutan dan lahan. Gugatan itu berisi sejumlah tuntutan agar Presiden melengkapi instrumen peraturan, membangun sistem infrastruktur dan sarana prasarana, peninjauan ulang perizinan, dan penegakan hukum, terkait pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Tuntutan dalam gugatan warga negara (CLS) itu membantu memberi arahan detil bagi pemerintah untuk memperbaiki upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Namun alih-alih menjalankan putusan pengadilan tersebut, pemerintah mengajukan peninjauan kembali (PK) atas kasus ini.
“ Seandainya Presiden dan jajarannya tidak ngotot untuk banding dan kasasi serta melaksanakan putusan PN (Pengadilan Negeri) Palangkaraya, setidaknya kita bisa meminimalkan risiko,” kata Deputi Direktur Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Raynaldo Sembiring, Rabu (18/9/2019) di Jakarta.
Sebagai contoh, putusan memerintahkan adanya peninjauan ulang perizinan, penegakan hukum, dan peta jalan terkait penanggulangan dan pemulihan lahan atau hutan pascakebakaran. Bila itu berjalan, karhutla yang saat ini sebagian besar terjadi di konsesi perusahaan, sumber kebakaran hutan dan lahan bisa ditekan dengan peninjauan ulang perizinan dan penegakan hukum.
Karena itu, menengok pengantar Presiden Joko Widodo saat memimpin ratas karhutla di Pekanbaru, Riau, yang juga menyebutkan penegakan hukum, tinggal ditagih saat putusan CLS dilaksanakan pemerintah. Dengan kata lain, pencegahan dampak karhutla bisa dilakukan maksimal karena penegakan hukum telah dijalankan.
Pengabaian putusan
Ia menegaskan, putusan pengadilan atas gugatan warga negara di PN Palangkaraya bukan hanya berlaku untuk diterapkan di Palangkaraya maupun Kalimantan Tengah. Putusan pengadilan tersebut memberi perintah bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang berlaku untuk umum.
“Jadi, pengabaian terhadap putusan ini juga pengabaian terhadap kewajiban pengendalian karhutla secara nasional,” ungkapnya. Itu termasuk menyusun sejumlah Peraturan Pemerintah yang menjadi landasan aparat penegak hukum untuk menyeret pelaku karhutla ke meja hijau.
Jadi, pengabaian terhadap putusan ini juga pengabaian terhadap kewajiban pengendalian karhutla secara nasional.
Terkait penegakan hukum ini, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan telah menyegel 48 perusahaan sawit dan kehutanan serta satu lahan perseorangan. Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware meminta agar penegakan hukum dilakukan tegas.
“Perusahaan yang terbukti membakar hutan dan lahan jangan sampai lolos dari tuntutan. Seharusnya pemerintah dan aparat keamanan menindak tegas semua perusahaan yang terbukti melakukan aktivitas pembakaran hutan dan lahan. Pemerintah tidak boleh kalah dengan korporasi atau perusahaan dan buktikan bahwa pemerintah berpihak kepada masyarakat bukan kepada perusahan besar saja,” katanya.
Ia pun menunjukkan sejumlah perusahaan sawit yang konsesinya terbakar mengantongi sertifikat keberlanjutan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Lembaga sertifikasi ini diminta mengevaluasi dan mencabut sertifikat kepada perusahaan yang terbukti terbakar.