Asap Kendaraan dan Kebakaran Hutan Sampai ke Janin
›
Asap Kendaraan dan Kebakaran...
Iklan
Asap Kendaraan dan Kebakaran Hutan Sampai ke Janin
Untuk pertama kali, riset membuktikan jelaga atau karbon hitam yang terhirup ibu hamil bisa menembus hingga plasenta.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk pertama kali, riset membuktikan jelaga atau karbon hitam yang terhirup ibu hamil bisa menembus hingga plasenta. Temuan yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature Communication pada 17 September 2019 ini menguatkan tentang bahaya polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil dan kebakaran hutan terhadap risiko kelahiran prematur dan bayi dengan berat di bawah normal.
Untuk membuktikan keberadaan karbon hitam dalam janin, para peneliti dari Universitas Hasselt dan Universitas Katolik Leuven, Belgia, tersebut memeriksa keberadaan partikel karbon pada plasenta dari dua puluh perempuan di Belgia Timur. Mereka juga memeriksa plasenta yang mengalami keguguran.
Para peneliti menggunakan laser yang bisa berdenyut sangat cepat atau femtosecond untuk menguji keberadaan jelaga dalam jaringan. Semburan laser yang sangat cepat, masing-masing seperempat miliar detik bisa membangkitkan elektron dalam jaringan, yang kemudian memancarkan cahaya tertentu. Jaringan yang berbeda diketahui menghasilkan warna tertentu, seperti merah untuk kolagen dan hijau untuk sel-sel plasenta. Karbon hitam melepaskan cahaya putih.
Tim menemukan, semua jaringan plasenta yang diperiksa memiliki kandungan ribuan partikel karbon hitam per meter kubik. Partikel berbahaya pada plasenta itu dipastikan berasal dari ibu yang selama kehamilannya terpapar karbon hitam.
Semua jaringan plasenta yang diperiksa memiliki kandungan ribuan partikel karbon hitam per meter kubik.
Semakin tinggi paparan polusinya, kandungan karbon hitam dalam plasenta semakin tinggi. Tim menemukan, sepuluh perempuan yang terpapar polusi lebih sedikit memiliki rata-rata 9.500 partikel per milimeter kubik, sedangkan wanita yang terpapar polusi lebih tinggi memiliki rata-rata 20.900 partikel per milimeter kubik pada plasentanya.
Sementara dari perempuan yang mengalami keguguran saat masih berusia 12 minggu telah ditemukan ada partikel karbon. Itu menunjukkan, masuknya partikel karbon ke plasenta bisa terjadi sejak fase awal kehamilan.
Tim Nawrot dari Universitas Hasselt yang memimpin penelitian ini, seperti dikutip The Guardian, mengatakan, ”Janin adalah periode kehidupan yang paling rentan. Semua sistem organ dalam pengembangan. Untuk melindungi generasi masa depan, kita harus mengurangi paparan polusi udara.”
Kaitan antara paparan polusi udara dan meningkatnya risiko kelahiran prematur serta bayi lahir dengan berat badan di bawah normal telah banyak dipublikasikan di jurnal ilmiah, misalnya oleh David M Stieb (2012) dan Lamichhane (2015). Sebelumnya, penjelasannya adalah polusi udara memicu peradangan ibu hamil, yang lalu memengaruhi janin. Namun, riset terbaru dari Nawrot dan tim ini memberi bukti bahwa partikel pencemar dalam jelaga itu sendiri bisa berkontribusi langsung terhadap kesehatan janin.
Dalam kajian-kajian ini disebutkan, karbon hitam yang berbahaya bagi kesehatan janin ini bisa berasal dari pembakaran bakan bakar fosil, seperti dari transportasi dan batubara. Selain itu, hal ini juga bisa dihasilkan dari kebakaran hutan.
Polusi udara
Polusi udara telah mendapat banyak sorotan karena dampaknya terhadap kesehatan manusia. Bahkan, dalam laporan Global Environment Outlook (GEO), yang dipaparkan di Sidang Ke-4 Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan (UNEA) di Nairobi pada Juli 2019 disebutkan, polusi udara menduduki peringkat pertama penyebab kematian global dengan rata-rata 7 juta orang per tahun.
Indonesia disebut berkontribusi besar pada memburuknya mutu udara global, terutama dari kebakaran hutan dan lahan. Disebutkan, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada 2015 memicu kabut asap (termasuk yang terparah) dan diperkirakan menyumbang bagi 100.000 kematian dini. Kebakaran hutan saat itu juga disebut memicu migrasi kelelawar yang menyebarkan virus nipah.
Kajian dari Miriam E Marlier dari Universitas Columbia, Amerika Serikat, dan tim dalam jurnal GeoHealth yang terbit Juli 2019, paparan asap dari kebakaran hutan di kawasan Asia Tenggara dapat menyebabkan 36.000 kematian prematur per tahun di seluruh Indonesia, Singapura, dan Malaysia selama beberapa dekade mendatang.
Padahal, kebakaran hutan kini kembali melanda wilayah Indonesia dan berpotensi meluas di Kalimantan dan Sumatera. Menurut Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto, musim kekering masih akan berlangsung selama September ini. Minimnya awan hujan menyebabkan upaya hujan buatan sulit dilakukan.
Berdasarkan data pantauan udara BMKG pada Rabu (18/9/2019), jumlah partikel pencemar PM 10 di sejumlah kota di Kalimantan dan Sumatera rata-rata sudah melebihi ambang batas aman. Contohnya, di Pekanbaru rata-rata konsentrasi PM 10 mencapai 300 mikrogram per meter kubik, padahal udara disebut bermutu baik jika konsentrasi PM 10 maksimal 50 mikrogram per meter kubik. Sementara di Sampit, konsentrasi PM 10 sempat mencapai 528 mikrogram per meter kubik pada pukul 8.00 WIB dan rata-rata hariannya 200 mikrogram per meter kubik.