Sebagian pabrik masih membuang limbah ke Sungai Citarum tanpa izin dan tak memenuhi baku mutu lingkungan. Kondisi ini rentan mengancam keberhasilan pembenahan sungai lewat Program Citarum Harum.
Oleh
Samuel Oktora
·3 menit baca
SOREANG, KOMPAS — Sebagian pabrik masih membuang limbah ke Sungai Citarum tanpa izin dan tak memenuhi baku mutu lingkungan. Kondisi ini rentan mengancam keberhasilan pembenahan sungai lewat Program Citarum Harum.
Program Citarum Harum diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. Dimulai Februari 2018, Program ini ditargetkan rampung tujuh tahun ke depan. Upaya pemulihan itu dibagi dalam 22 sektor atau satuan tugas. Setiap satuan tugas dipimpin perwira berpangkat kolonel dari Komando Daerah Militer III/Siliwangi.
Saat ini, setidaknya ada 3.000 pabrik di tepi sungai sepanjang 297 kilometer ini. Sekitar 1.500 industri di antaranya berada di sekitar cekungan Bandung dan memproduksi limbah hingga 2.800 ton per hari yang kerap langsung dibuang ke sungai. Limbah itu mengandung zat berbahaya, seperti kadmium, tembaga, nikel, timbal, dan arsenik.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, saat ini ada sekitar 1.000 perusahaan dan sekitar 600 perusahaan di antaranya bergerak di bidang tekstil. Sebagian besar masih membuang limbah tanpa izin dan tak memenuhi baku mutu lingkungan hidup. Periode Januari-19 September 2019, tercatat 24 perusahaan terkena sanksi administrasi.
Terakhir, sanksi diberikan pada PT Artostex yang berada di Kelurahan Pasawahan, Kecamatan Dayeuhkolot, Kamis (19/9/2019). Perusahaan itu masih saja membuang air limbah berbahaya ke Sungai Cisuminta, anak Sungai Citarum.
Pemberian sanksi administrasi ini sebagai peringatan. Jika masih tidak dipatuhi, akan dikenai sanksi hukum. Satuan Tugas Citarum Harum sudah menekankan, tahun ini adalah masa penegakan hukum.
”Pemberian sanksi administrasi ini sebagai peringatan. Jika masih tidak dipatuhi, akan dikenai sanksi hukum. Satuan Tugas Citarum Harum sudah menekankan, tahun ini adalah masa penegakan hukum,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Asep Kusumah.
Pemberian sanksi ini adalah tindak lanjut kegiatan Satgas Citarum Harum Sektor 7 yang menutup 11 saluran pembuangan limbah, salah satunya milik PT Artostex, pada 5 September 2019, di Sungai Cisuminta. Sungai selebar 4 meter itu kerap menjadi buangan saluran pembuangan limbah pabrik di sekitarnya. Air sungai berwarna hitam dan berbau tidak sedap. Penutupan saluran di sana mengerahkan delapan penyelam karena kedalaman sungai mencapai 3 meter.
Manajer Humas PT Artostex Agus Budi Waluyo menjelaskan, pihaknya membuang limbah itu ke sungai karena instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal Mitra Citarum Air Biru yang biasa mereka gunakan tengah rusak dan tidak berfungsi.
”Kami lalu memutuskan membuat IPAL darurat. Namun, karena butuh waktu setahun untuk membuatnya, untuk sementara limbahnya dibuang ke sungai. Kini, karena IPAL komunal sudah diperbaiki, kami akan membuang limbah ke sana lagi. Sanksi ini jadi peringatan,” kata Agus.
Komandan Sektor 7 Citarum Harum Kolonel Purwadi mengatakan akan terus mengawasi aktivitas pembuangan limbah ilegal di Sungai Citarum. Sejauh ini, Purwadi mengatakan telah mengumpulkan 60 pengusaha di Sektor 7 Dayeuhkolot. Mereka, kata Purwadi, diberi sosialisasi dan imbauan penutupan saluran limbah ilegal di sepanjang Sungai Cisuminta. Kini, 23 pabrik, kata Purwadi, sudah memfungsikan IPAL. Wilayah sektor 7 meliputi Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot, Margahayu, dan Kecamatan Ciparay.
”Kami juga meminta pihak kepolisian dan DLH Kabupaten Bandung untuk terus mengungkap pabrik nakal mana saja yang membuang limbah ke saluran ini,” ujar Purwadi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Kevin Hartanto mengatakan, pemilik pabrik di sepanjang Citarum meminta waktu dua tahun untuk membenahi membenahi IPAL-nya. Banyak hal yang harus dilakukan industri, misalnya mencari teknologi yang tepat. Bahkan, ada pula industri yang harus meminjam bank karena biaya IPAL relatif besar.
Terkait IPAL, kata Kevin, industri tekstil di DAS Citarum teridentifikasi dalam lima kelompok, yakni perusahaan tanpa IPAL, perusahaan dengan IPAL seadanya, dan perusahaan mempunyai IPAL, tetapi masih membuang air limbah melalui saluran tak resmi. Kelompok lain adalah perusahaan dengan IPAL berkapasitas kurang dan perusahaan dengan IPAL yang baik.
”Dari lebih kurang 200 pabrik tekstil anggota API di Jabar, umumnya masuk kategori keempat. Perusahaan sudah memiliki IPAL, tetapi kapasitasnya kurang sehingga fungsinya kurang ideal,” ujarnya.