Perjalanan Kota Bandung tidak terpisahkan dari kemajemukan warganya. Sejak ratusan tahun lalu, warga hidup rukun berdampingan di tengah perbedaan.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Perjalanan Kota Bandung tidak terpisahkan dari kemajemukan warganya. Sejak ratusan tahun lalu, warga berbagai agama, suku, dan budaya hidup rukun berdampingan. Kini, memasuki usia kota yang ke-209, warga memanjatkan doa bersama, mensyukuri nikmat persaudaraan dalam perbedaan. Memohon kepada Sang Pencipta agar toleransi di ”Kota Kembang” tetap terjaga.
Pagi yang cerah mengiringi langkah jemaat memasuki Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Bandung, Jawa Barat, Minggu (22/9/2019). Satu per satu kursi gereja di Jalan Kebonjati itu mulai terisi. Kebaktian dimulai pukul 07.00. Lagu-lagu pujian disenandungkan. Ayat-ayat Alkitab pun dibacakan.
Pendeta Albert Naibaho naik ke mimbar untuk menyampaikan khotbah. Seusai berkhotbah, ia tidak langsung memimpin doa penutup, seperti kebaktian Minggu biasanya. Dia mengajak jemaat berdoa syafaat untuk menyambut hari jadi ke-209 Kota Bandung pada 25 September mendatang.
Dalam doanya, Albert bersyukur karena Indonesia mempunyai Pancasila sebagai fondasi kemajemukan rakyatnya. ”Kami memohon kepada-Mu untuk menjaga kerukunan di Kota Bandung. Bersama dengan gereja dan agama lainnya, kami dapat bersatu hati dan tinggal dengan damai di kota ini,” ujarnya.
Albert juga mendoakan pejabat Pemerintah Kota Bandung diberikan hikmat kebijaksanaan dalam mengelola kota. Dia berdoa agar pemimpin bekerja untuk menyejahterakan rakyat.
”Ketika menjadi pemimpin, hakikatnya mereka pelayan bagi semua warga. Bukan untuk melayani kepentingan pribadi, golongan, atau partai tertentu,” ucapnya.
Beberapa jam sebelum kebaktian di GKP Jemaat Bandung dimulai, ribuan umat Islam melaksanakan shalat Subuh di Masjid Raya Bandung. Seusai shalat, umat juga berdoa untuk ketenteraman dan kemajuan ibu kota Jabar tersebut.
Membeludaknya jemaah membuat tak semuanya tertampung di masjid. Sebagian warga menunaikan shalat di Taman Alun-alun Kota Bandung yang terletak di depan masjid.
Kini, memasuki usia kota yang ke-209, warga memanjatkan doa bersama, mensyukuri nikmat persaudaraan dalam perbedaan. Memohon kepada Sang Pencipta agar toleransi di ”Kota Kembang” tetap terjaga.
Salah satunya Erwin (30), warga Kelurahan Ciateul. Dia mengatakan, warga mulai berdatangan sejak pukul 03.30. Dia berharap, dengan bertambah usianya Kota Bandung, warganya bertambah rukun dan pembangunan semakin pesat.
”Ternyata umat agama lain juga menggelar doa bersama. Jadi, warga Bandung kompak mendoakan kebaikan untuk kotanya,” ujarnya.
Warga Buddha juga tak ketinggalan mendoakan agar kerukunan di Kota Bandung berumur panjang. Belasan anggota jemaat di Wihara Karuna Mukti khusyuk berdoa agar semangat persaudaraan antarumat beragama terus digelorakan.
Eko Supeno (59), warga Buddha, mengaku nyaman tinggal di Bandung. Sebab, meskipun umat Buddha bukan mayoritas di Bandung, dia tidak pernah didiskriminasi dalam mengakses layanan pemerintah ataupun kehidupan bermasyarakat.
”Saya tidak pernah dikucilkan. Semoga kemajemukan dan persaudaraan ini tidak berubah,” ujarnya.
Menurut Pandita Wihara Karuna Mukti, Suyanto, Bandung menjadi rumah yang nyaman bagi umat berbagai agama, suku, dan kepercayaan. Oleh sebab itu, dia berdoa agar Bandung dipenuhi pesan-pesan damai dan kasih terhadap sesama manusia. Wihara itu berada di seberang Masjid Jami Assalam. Tak sampai 50 meter dari wihara juga terdapat Gereja Kristen Kalam Kudus Pasundan.
”Kami bertetangga dengan masjid dan gereja. Semua menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan dan masih tetap berbagi di setiap hari-hari besar keagamaan,” ujarnya.
Di Gereja Katedral Santo Petrus, Bandung, Pastor Leo van Beurden tak hanya mendoakan warga Kota Bandung agar terus memperteguh persaudaraan. Dia juga mengajak umat Katolik ikut berkontribusi membenahi Bandung.
Dalam khotbahnya, Leo mengingatkan ancaman banjir pada musim hujan. Dia mengajak jemaat lebih peduli lingkungan, salah satunya dengan tidak membuang sampah sembarangan.
”Semestinya kita ikut menjaga Bandung. Sebab, sampah bisa membuat banyak orang menderita. Jangan memikirkan diri sendiri,” ucapnya.
Sementara itu, umat Hindu menggelar sembahyang di Pura Satya Dharma dipimpin oleh Pinandita I Gusti Made Wirta, Ujungberung. Umat berdoa agar Kota Bandung semakin maju dan agamis serta menjaga nilai-nilai toleransi.
Lantunan kidung memecah keheningan di Kelenteng Kong Miao, Bandung. Bau dupa menyeruak di lantai dua bangunan kelenteng. Pemimpin doa membakar dupa dan meletakkannya di hadapan patung Nabi Khonghucu. Di belakangnya terdapat belasan anggota jemaat yang memejamkan mata sedang berdoa.
Mereka mendoakan kerukunan antarumat beragama di Bandung semakin erat. Kerukunan yang selama ini telah mereka rasakan. Tak pernah diganggu saat beribadah dan berhubungan baik dengan umat agama lain.
”Bahkan, saat menyalakan dupa di rumah, tidak ada keluhan dari tetangga. Mereka tetap ramah menyapa,” ujar Momon (75), salah seorang anggota jemaat.
Ketua Majelis Agama Khonghucu Indonesia Bandung Din Bijaksana menuturkan, sekitar 200 warga Khonghucu di Bandung tidak pernah merasakan diskriminasi saat beribadah. Letak Kelenteng Kong Miao di Jalan Cibadak juga menjadi simbol toleransi di kota itu.
Lokasinya berdekatan dengan Wihara Iswari dan Masjid Miftahul Huda. Selama 10 tahun berdiri, keberadaan kelenteng itu tidak pernah diprotes oleh masyarakat penganut agama lain.
Din mengatakan, agamanya juga mengajarkan toleransi dan kerukunan. Dia menjelaskan, Khonghucu memaknai seluruh makhluk sama dan bersaudara. Perbedaan menjadi warna untuk menjalani hidup dengan lebih indah.
Perbedaan menjadi warna untuk menjalani hidup dengan lebih indah
”Kitab suci kami menyatakan, empat penjuru lautan, semuanya bersaudara. Jadi, meskipun berbeda, kalau atas nama makhluk hidup, tetap bersaudara,” ujarnya.
Din mengatakan, keberagaman masyarakat bisa menjadi harmoni jika menerima perbedaan itu dan saling terjalin. Dia mengibaratkannya seperti alunan musik yang dihasilkan dari perpaduan berbagai instrumen.
”Suara gitar berbeda dengan piano. Tidak bisa dipaksakan sama. Namun, saat dilantunkan sesuai irama, menjadi nada yang indah. Masyarakat juga akan hidup rukun berdampingan asalkan menerima dan menghormati perbedaan,” ujarnya.
Ditempa waktu, keberagaman tetap menjadi kekuatan di Bandung, si ”Kota Kembang”. Warna-warninya bakal terus menghidupi. Harumnya tetap menginspirasi.