Menutup Cerobong Polusi Udara Nusantara
Polusi udara membawa dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Kualitas udara yang ditunjukkan dari pengukuran kandungan PM 2,5 di Indonesia pun semakin buruk, naik 171 persen sepanjang 1998-2016.
Polusi udara masih menjadi masalah global sebagai salah satu akibat aktivitas manusia. Mengingat dampak negatifnya bagi kesehatan manusia, tidak ada pilihan lain untuk mencegah peningkatan polusi udara. Setiap orang diundang berpartisipasi untuk menyelamatkan bumi.
Polusi udara membawa dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pada tingkat pencemaran tertentu, zat-zat pencemar udara dapat berakibat langsung pada kesehatan, mulai dari iritasi, alergi kulit, hingga gangguan saluran pernapasan dan paru-paru.
Bahaya polusi udara mulai tercatat dan disadari manusia sejak era revolusi industri. Jepang mengalami isu polusi udara besar-besaran sejak munculnya pabrik-pabrik besar selama periode 1870-1880-an. Osaka yang menjadi kota industri pernah mendapat julukan ”Smoke Capital”.
Di Amerika Serikat, bencana polutan Donorapada 1948 yang menewaskan 20 orang dan 7.000 orang sakit karena polusi udara pabrik baja menyadarkan pemerintah bahwa polusi udara merupakan isu penting nasional.
Indonesia baru mengangkat isu polusi udara jauh setelah beberapa peristiwa dunia tersebut terjadi. Tepatnya saat industrialisasi dan penggunaan transportasi modern marak di negeri ini.
Kompas mencatat pada sejak 1966 polusi udara telah muncul sebagai isu lingkungan yang diberitakan. Pada 1969, isu pencemaran udara muncul di DKI Jakarta. Dinas Kesehatan DKI Jakarta menerangkan bahwa asap pekat yang dihasilkan oleh kendaraan umum diesel di Ibu Kota sudah menjadi permasalahan yang mereka amati (Kompas, 22-11-1969).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian menindaklanjuti penanganan pencemaran udara dengan menempatkan proyek industri dan memindahkan semua pabrik ke bagian utara dan timur. Langkah tersebut diambil dengan harapan asap pabrik akan terbawa angin ke arah laut dan tidak berdampak ke penduduk.
Baku mutu
Sementara pemerintah nasional pun melalui Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan mulai membuat program penanggulangan pencemaran pada 1955. Saat itu, pencemaran udara identik dengan gas CO atau karbon monoksida yang banyak berasal dari kendaraan.
Nilai ambang batas (NAB) gas CO digunakan sebagai standar pedoman pengendalian pencemaran udara dari gas CO. Selain itu, pencemaran udara baru terdeteksi di kota-kota besar saja.
Artinya sejak itu, masyarakat dan pemerintah telah menyadari adanya ancaman polusi udara. Namun, jika dibandingkan dengan kondisi Amerika Serikat dan Jepang yang sudah lebih dulu menggerakkan pencegahan pencemaran udara, kualitas udara di Indonesia dianggap masih belum berbahaya.
10 daerah dengan tingkat polusi tertinggi berada di Sumatera (Ogan Komering Ilir, Siak, Palembang, Ogan Komering Ulu Timur, Tulang Bawang, Dumai, Bengkalis, Pelalawan, dan Banyuasin) dan Kalimantan (Pulang Pisau).
Baru pada 1997, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian menjadi dasar Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Di dalam aturan ini tertulis Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang menjadi standar pengukuran kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu.
Angka ISPU digunakan sebagai pengambilan keputusan pemerintah daerah untuk melakukan rencana pengendalian pencemaran udara. Pengendalian pencemaran udara di daerah juga dikuatkan oleh Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 12/2010 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah.
Saat ini, pemerintah sedang menyiapkan revisi peraturan untuk memperbaiki kualitas udara, termasuk baku mutu udara ambien nasional. Dalam revisi Peraturan Pemerintah No 41/1999, standar baku mutu udara PM 2,5 diturunkan dari 65 mg/m3 menjadi 60 mg/m3.
Kualitas udara
Meskipun pemerintah terus memperbarui aturan pengendalian pencemaran udara, tapi kualitas udara tak kunjung membaik. Kota-kota di Indonesia tumbuh dengan pembangunan besar-besaran. Industri menggeser lahan hijau. Kendaraan bertambah pesat di jalan-jalan. Kualitas udara di Indonesia pun semakin buruk, tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga hampir di semua daerah.
Hal ini ditunjukkan dari pengukuran kandungan PM 2,5 di udara. PM 2,5 merupakan partikel halus (particulate matter/PM) berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron per meter kubik. Partikel ini dianggap menjadi komponen paling berbahaya di udara sebab partikel ini dapat menembus jauh ke dalam paru-paru serta memasuki sistem darah.
Paparan partikel halus PM 2,5 dalam jangka panjang memicu gangguan paru dan penyakit pernapasan serta meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, seperti penyakit jantung iskemik dan stroke.
Baca juga: Mencegah Polutan Terbang Bebas di Udara
Kandungan konsentrat PM 2,5 di Indonesia meningkat. Dari negara yang didaulat menjadi paru-paru dunia dan sempat menyandang julukan negara yang memiliki udara bersih, Indonesia (khususnya Jakarta) dinobatkan menjadi kota dengan kualitas terburuk nomor tiga di dunia menurut Program Lingkungan PBB (UNEP).
Data dari Laporan Air Quality Life Index (AQLI) menyebutkan, pada 1998, rata-rata kandungan PM 2,5 tahunan di udara adalah 7,95 mikrogram per meter kubik. Adapun pada 2016, kandungannya meningkat menjadi 21,6 mikrogram per meter kubik. Artinya, terdapat peningkatan kandungan PM 2,5 di udara Indonesia sebesar 171 persen.
AQLI juga memaparkan bahayanya polusi ini dari pengukuran PM 2,5 yang dikaitkan dengan ancaman kehilangan angka harapan hidup penduduk yang terpapar. Semakin tinggi kandungan PM 2,5 di udara, potensi kehilangan angka harapan hidup semakin besar.
Dengan kandungan PM 2,5 yang sama dengan hasil pengukuran partikel tahun 2016, penduduk Indonesia terancam kehilangan 1,2 tahun harapan hidup. Sementara pada 1998, potensi ancaman ini tidak sebesar tahun 2016. Potensi kehilangan harapan hidup akibat polusi udara berdasarkan kandungan PM 2,5 hanya 0,2 tahun saja.
Sumber polutan
Juli 2019, DKI Jakarta kembali disorot karena menjadi kota dengan polusi udara paling tinggi sedunia menurut Air Visual. Tingkat kualitas udara Jakarta berdasarkan parameter PM 2,5 mencapai 160 mikrogram per meter kubik. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang batas PM 2,5 di udara dalam kurun 24 jam sebesar 25 mikrogram per meter kubik.
Transportasi menjadi salah satu sumber polutan terbesar yang berkontribusi terhadap turunnya kualitas udara beberapa tahun ini. Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat, sebelum tahun 2010, sektor transportasi menyumbang sekitar 70 persen polusi udara di Jakarta.
Namun, tahun ini, kontribusinya meningkat menjadi 75 persen. Kenaikan ini setara dengan peningkatan jumlah kendaraan yang mencapai 7-9 persen per tahun.
Baru pada 1997, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian menjadi dasar Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Menurunnya kualitas udara juga tidak hanya terjadi di Jakarta saja. Setidaknya, pada 2016, terdapat 155 daerah dari 256 daerah titik pengamatan yang memiliki rata-rata kandungan PM 2,5 di atas standar WHO sebesar 10 mikrogram per meter kubik. Artinya, daerah-daerah lain juga terdampak pencemaran udara.
Jika dilihat dari sebaran wilayahnya, daerah-daerah dengan tingkat polusi udara di atas standar WHO mayoritas berdasarkan pengukuran PM 2,5 oleh AQLI pada 2016 berada di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Dari ketiga provinsi tersebut, 10 daerah dengan tingkat polusi tertinggi berada di Sumatera (Ogan Komering Ilir, Siak, Palembang, Ogan Komering Ulu Timur, Tulang Bawang, Dumai, Bengkalis, Pelalawan, dan Banyuasin) dan Kalimantan (Pulang Pisau).
Tingginya polutan PM 2,5 di daerah-daerah tersebut disebabkan karena kebakaran hutan dan lahan. Daerah-daerah tersebut ditutupi lahan gambut cukup luas sehingga sangat rawan kebakaran.
Apalagi, pada 2015, terjadi kebakaran hutan dan lahan besar-besaran yang berdampak terhadap hangusnya 2,6 juta hektar lahan di seluruh Indonesia, yang sebagian besar terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan merupakan salah satu bagian dari deforestasi yang menyebabkan hilangnya tutupan area hijau di daratan.
Global Forest Watch mencatat, dari tahun 2001-2015, sebanyak 89 persen tutupan pohon hilang di area yang terdampak deforestasi. Setidaknya, 61 persen tutupan pohon yang hilang pada periode tersebut karena deforestasi di wilayah Riau, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Alhasil, tak heran jika daerah di Sumatera dan Kalimantan menurun kualitas udaranya. Bahkan, berdasarkan data AQLI, penduduk di 10 daerah dengan tingkat PM 2,5 tertinggi berpotensi kehilangan 5 tahun usia harapan hidupnya.
Tingginya polusi udara di suatu daerah tidak hanya disebabkan oleh faktor antropogenik dan bencana alam saja. Kondisi alam, seperti topografi dan meteorologi, juga turut berkontribusi terhadap siklus persebaran polutan di udara.
Topografi wilayah berbentuk cekungan, seperti di Wilayah Cekungan Bandung, menyebabkan terjadinya inversi kuat. Lapisan inversi terjadi apabila kondisi udara amat sangat stabil (ekstrem stabil).
Sumaryati dalam jurnal berjudul Polusi Udara di Kawasan Cekungan Bandung(2011) menjelaskan, inversi menyebabkan pengendapan polutan apabila sumber pencemaran udara berada di tempat yang rendah. Dinding topografi menghambat penjalaran polutan ke arah horizontal sehingga polutan terperangkap di cekungan dan menghasilkan konsentrasi pekat.
Sementara di wilayah dengan topografi datar, seperti wilayah pesisir, polutan dapat tersebar lebih bebas di udara. Penyebaran polutan di udara ini dipengaruhi oleh faktor meteorologi.
Kondisi meteorologi yang menentukan penyebaran polutan terdiri dari komponen arah, kecepatan angin, suhu, mixing height (batas atmosfer tempat tercampurnya udara tercemar dengan udara bersih di atasnya), dan stabilitas atmosfer.
Menurut LAPAN, angin kencang yang lebih bergejolak (turbulen) menyebabkan konsentrasi polutan menjadi lebih cepat encer. Adapun stabilitas atmosfer menentukan penyebaran secara horizontal atau vertikal. Atmosfer labil menyebabkan konsentrasi polutan berkurang, sedangkan atmosfer stabil meningkatkan konsentrasi polutan.
Tingkat kualitas udara juga memburuk saat musim kemarau. Ketiadaan hujan yang mengurangi pengendapan polutan di udara melalui proses rain washing tidak terjadi. Ketiadaan hujan, udara stagnan, cuaca cerah, lapisan inversi dengan kecepatan angin rendah memungkinkan polusi udara mengendap di suatu wilayah dengan konsentrasi tinggi.
Lingkup rumah tangga
Setiap orang berkontribusi dalam menambah zat polutan di udara. Penggunaan transportasi pribadi dan bahan bakar untuk memasak juga berpotensi menyumbang gas polutan ke udara yang dihirup.
WHO menyebut sumber polutan dari lingkup rumah tangga (household air pollution) sebagai salah satu sumber pencemar. Penggunaan kayu bakar, batubara, minyak tanah, dan teknologi tidak efisien dalam memasak dan untuk pemanas ruangan menghasilkan polutan yang berbahaya bagi kesehatan.
Bahaya dari polutan kegiatan rumah tangga ini tidak dapat dikesampingkan. Sekitar 3,8 juta di dunia meninggal akibat terpapar polusi udara dari aktivitas rumah tangga ini. Satu penyebab kematian adalah asap dari emisi pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar padat.
Udara menempati ruang dan bergerak bebas, perubahan-perubahan kandungannya hanya dapat terdeteksi manusia melalui warna dan bau. Kita tidak dapat menghindari udara kotor dan berbahaya yang kita hirup sehari-hari jika kandungan yang berbahaya tersebut tidak berwarna dan berbau.
Tidak ada pilihan lain untuk menghindari udara kotor selain mencegah peningkatan polusi udara. Dimulai dari penggunaan transportasi massal, ikut berpartisipasi dalam penghijauan dan mencegah kebakaran hutan/lahan, serta menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan. Setiap orang bisa ikut serta menjadi agen penyelamat bumi. (LITBANG KOMPAS)