Mengapa Sebagian Orang Selalu Memikirkan Kematian
Memiliki sedikit kecemasan tentang kematian sebenarnya wajar pada manusia. Namun, pada sebagian orang, memikirkan kematian dan proses menuju kematian atau sekarat bisa menimbulkan kecemasan dan ketakutan yang besar.
Hidup adalah anugerah yang indah. Dengan hidup, berbagai keindahan dunia bisa dinikmati.
Meski demikian, bagi sebagian orang, keindahan hidup itu sulit dirasakan. Pikiran tentang kematian senantiasa berputar-putar di otak, bukan tentang keinginan untuk bunuh diri, melainkan ketakutan akan datangnya kematian. Sering kali, pikiran akan kematian itu menimbulkan kecemasan yang berdampak besar bagi kesehatan fisik dan mental.
Ketakutan akan kematian itu disebut tanatofobia. Istilah ini diambil dari bahasa Yunani, thanatos yang berarti kematian dan phobos yang berarti ketakutan. Tanatofobia berbeda dengan nekrofobia yang merupakan ketakutan dengan sesuatu yang mati, seperti mayat, keranda, peti mati, batu nisan, atau kuburan.
Memiliki sedikit kecemasan tentang kematian sebenarnya adalah hal yang wajar pada manusia. Namun, pada sebagian orang, seperti ditulis di Medicalnewstoday.com, 25 Mei 2018, memikirkan kematian dan proses menuju kematian atau sekarat bisa menimbulkan kecemasan dan ketakutan yang besar.
Pada sebagian orang, memikirkan kematian dan proses menuju kematian atau sekarat bisa menimbulkan kecemasan dan ketakutan yang besar.
Mereka yang memiliki kecemasan dan ketakutan ekstrem itu umumnya menganggap kematian itu tak bisa dihindari. Selain itu, mereka juga takut menghadapi perpisahan dengan seseorang, takut mengalami kerugian, atau khawatir meninggalkan seseorang.
Tertanamnya rasa takut itu di pikiran hingga beberapa bulan bisa mengganggu aktivitas sehari-hari. Jika itu terjadi, ketakutan yang semula merupakan hal wajar akan berubah menjadi tanatofobia.
Fobia itu bisa membuat penderitanya mengisolasi diri, menghindari kontak dengan teman atau anggota keluarga, bahkan enggan melakukan kegiatan sehari-hari. Namun, dalam sejumlah kasus, penderita tanatofobia justru kabur dari rumah karena khawatir bersentuhan dengan hal-hal yang dinilai bisa memicu kematian.
Kecemasan
Ketakutan terhadap kematian itu sering kali dipicu oleh peristiwa yang dialami penderitanya di masa lalu meski sering kali mereka tidak ingat kejadian apa itu. Fobia ini juga bisa muncul akibat mengalami pengalaman yang hampir menyebabkan kematian atau kematian orang yang dicintai.
Dokter spesliasi kesehatan jiwa dengan bidang kekhususan psikosomatik medis, Andri, dalam kolom konsultasinya di Kompas.com, 13 Mei 2011, menyebutkan, ketakutan terhadap kematian umumnya dialami orang-orang yang mengalami kecemasan. Ketakutan akan kematian yang dialami itu berbeda dengan keinginan untuk mati yang dialami pasien penderita depresi.
Ketakutan terhadap kematian umumnya dialami orang-orang yang mengalami kecemasan.
”Keluhan cemas bisa timbul karena ada faktor stres yang akut (mendadak dan cepat memburuk) atau stres yang bersifat kronis (berkepanjangan),” tulisnya.
Cemas sejatinya adalah respons adaptasi tubuh untuk menghadapi ancaman yang datang. Namun, pada sebagian orang, respons terhadap potensi bahaya itu menjadi berlebihan, bahkan saat ancaman bahaya itu tidak nyata. Kondisi itu terjadi karena melemahnya mekanisme pertahanan dan adaptasi dalam tubuh.
Alarm yang salah dalam tubuh itu terjadi karena perubahan struktur otak akibat stres yang lama dan berkepanjangan. Namun, stres itu sering kali tidak disadari karena berlangsung sehari-hari.
Tanatofobia juga bisa muncul pada orang yang menderita penyakit tertentu. Ketakutan atau kecemasan itu biasanya muncul akibat tekanan psikologis dari penyakit yang dideritanya.
Peter J Helm dkk dalam publikasinya di Journal of Research in Personality, Oktober 2019, menunjukkan, orang yang memiliki perasaan terisoloasi secara ekstensial, terasing dari sekitar, atau tidak ada yang memedulikan lebih berpeluang memiliki pikiran tentang kematian atau proses menuju kematian. Perasaan terisolasi itulah yang memunculkan ketakutan terhadap kematian.
Orang yang memiliki perasaan terisoloasi secara ekstensial, terasing dari sekitar, atau tidak ada yang memedulikan lebih berpeluang memiliki pikiran tentang kematian atau proses menuju kematian.
Isolasi ekstensial memiliki hubungan dengan perasaan kesepian, tetapi keduanya merupakan hal berbeda. Isolasi ekstensial terjadi saat seseorang merasa orang lain tidak memahami dirinya.
Sementara kesepian adalah rasa yang muncul akibat kurang terhubung dengan orang lain.
”Seseorang yang sudah bersosialisasi, tetapi pada saat bersamaan juga mengalami isolasi ekstensial bisa mengalami dampak yang lebih buruk,” kata Helm, seperti dikutip Live Science, Senin (16/9/2019).
Studi Brian A Primack dkk di American Journal of Preventive Medicine, Juli 2017, menunjukkan, mereka yang aktif di media sosial lebih berpeluang mengalami isolasi sosial, yaitu kurangnya rasa memiliki, lemahnya ikatan sosial dengan orang lain, dan rendahnya makna dari relasi yang dimiliki.
Memang belum ada studi yang menunjukkan bahwa isolasi sosial bisa memicu isolasi ekstensial. Meski demikian, isolasi sosial memiliki keterkaitan dengan isolasi ekstensial, yaitu kurangnya relasi sosial yang bermakna.
Mereka yang memiliki harga diri tinggi, kesehatan yang baik, serta yakin telah menjalani kehidupan dengan memuaskan dan penuh syukur umumnya lebih jarang mengalami ketakutan terhadap kematian. Dalam sejumlah kasus, orang-orang introver lebih cenderung mengalami tanatofobia dibandingkan dengan orang ekstrover.
Sementara itu, terkait dengan pengalaman tentang kecemasan atau ketakutan terhadap kematian, studi Lisa Iverach dkk di Clinical Psychology Review, November 2014, menunjukkan, perempuan lebih cenderung takut pada kematian dari orang yang dicintai atau konsekuensi dari kematian itu dibandingkan laki-laki.
Perempuan lebih cenderung takut pada kematian dari orang yang dicintai atau konsekuensi dari kematian itu dibandingkan laki-laki.
Publikasi Gary Sinoff di Frontiers Medicine, 27 Februari 2017, menyebut, orang tua lebih mengkhawatirkan tentang proses sekarat atau menuju kematian. Sementara orang yang lebih muda lebih mengkhawatirkan tentang kematian itu sendiri.
Gangguan mental
Ketakutan terhadap kematian itu umumnya tidak berdiri sendiri, tetapi muncul bersamaan dengan datangnya gangguan kesehatan mental lain. Kondisi itu membuat tanatofobia biasanya juga terjadi pada orang yang mengalami gangguan panik, gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan gangguan kecemasan menderita penyakit serius (sebelumnya disebut hipokondriasis atau hipokondria).
Pada mereka yang memiliki gangguan panik, saat serangan panik datang, mereka akan merasa kehilangan atas kendali diri. Mereka juga akan merasakan ketakutan yang sangat kuat terhadap kematian atau kehancuran yang akan datang meski ancaman itu sebenarnya tidak nyata.
Adapun mereka yang memiliki kecemasan karena penyakit yang dideritanya akan menjadi terlalu mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka. Dalam banyak kasus, kekhawatiran tetap muncul meski dokter ataupun hasil berbagai uji dan tes laboratorium menunjukkan mereka baik-baik saja.
Mereka yang memiliki fobia khusus juga rentan mengalami tanatofobia, terutama fobia terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan bahaya atau kematian, seperti takut ular, laba-laba, pesawat, ataupun ketinggian.
Di Indonesia, ketakutan terhadap kematian ini mudah dijumpai pada penderita GERD (gastroesophageal reflux disease) yang disertai dengan kecemasan dan psikosomatis. Munculnya ketakutan terhadap kematian itu secara nyata telah memengaruhi produktivitas penderitanya karena menjadi takut keluar rumah, bepergian, dan berada di keramaian.
Di Indonesia, ketakutan terhadap kematian ini mudah dijumpai pada penderita GERD (gastroesophageal reflux disease) yang disertai dengan kecemasan dan psikosomatis.
Saat kecemasan akan kematian itu datang, penderita umumnya akan merasakan jantungnya berdebar lebih kencang, gemetar, berkeringat, napas pendek atau ada sensasi tercekik, nyeri dada, tidak nyaman di perut, hingga serasa mau pingsan atau tidak stabil. Terkadang, mereka juga merasa seperti kehilangan kendali atas diri mereka.
Kecemasan dan ketakutan terhadap kematian ini bisa disembuhkan. Namun, penanganan gangguan ini perlu dilakukan menyeluruh dengan menyentuh seluruh biopsikososial penderitanya, tidak cukup dengan hanya mengandalkan obat-obatan.
Penanganan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk mengatasi tanatofobia umumnya terfokus untuk mengatasi gangguan kecemasan, fobia, atau penyebab spesifik lain yang memicu ketakutan tersebut. Upaya yang dilakukan pun biasanya merupakan gabungan dari sejumlah terapi, mulai dari konsumsi obat-obatan, terapi bicara, hingga terapi perilaku.
Metode terapi yang diberikan pun beragam, mulai dari terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy/CBT) untuk membantu mengubah pola pikir dan perilaku seseorang, psikoterapi atau terapi bicara yang biasa digunakan untuk lebih mengendalikan rasa takut, hingga terapi pemaparan (exposure therapy) dengan mendorong seseorang menghadapi ketakutan yang datang secara terukur.
Cara lain yang biasa dilakukan adalah teknik relaksasi. Menghirup napas dalam-dalam selama beberapa kali, meditasi, yoga, atau olahraga pernapasan lain banyak disarankan dilakukan guna meredakan kecemasan yang bisa muncul tiba-tiba.
Memperbaiki gaya hidup juga bisa dilakukan. Konsumsi kafein dan alkohol sebaiknya dihindari karena keduanya bisa merangsang kecemasan. Tidur malam yang cukup, olahraga ringan, atau paparan sinar matahari juga bisa mengurangi kecemasan.
Dukungan sosial orang-orang di sekitar penderita penting mengingat mereka yang mengalami kecemasan dan ketakutan akan kematian umumnya tidak menunjukkan adanya perubahan fisik. Mereka yang juga mengalami GERD disertai kecemasan dan psikosomatis umumnya akan mengalami penurunan berat badan karena kecemasan yang muncul menyita energi, sedangkan asupan makanan terbatas.
Tidak adanya tanda-tanda perubahan fisik secara khusus itulah yang sering kali membuat orang-orang di sekitar sulit memercayai jika seseorang mengalami kecemasan dan ketakutan terhadap kematian. Tak jarang, penderita justru menjadi korban hinaan, tekanan, hingga intimidasi yang ujungnya justru bisa memperparah kondisi penderita.
Tidak adanya tanda-tanda perubahan fisik secara khusus itulah yang sering kali membuat orang-orang di sekitar sulit memercayai jika seseorang mengalami kecemasan dan ketakutan terhadap kematian.
Bagi sebagian orang, mendekatkan diri dengan ajaran agama bisa menjadi solusi untuk mengatasi kecemasan. Namun, pada sebagian orang, berdamai dengan kematian melalui ajaran agama justru bisa melanggengkan rasa takut akan kematian.
Hal lain yang juga penting dilakukan adalah memperbaiki hubungan sosial, baik dengan anggota keluarga maupun dengan masyarakat sekitar.
Salah satu tantangan terberat yang dialami orang dengan kecemasan atau ketakutan terhadap kematian adalah mengalami fobia sosial. Padahal, hubungan sosial yang baik bisa mendorong penderita untuk lebih tenang saat berhadapan dengan orang lain.
Cara lain yang disarankan bagi penderita kecemasan adalah menekuni hobi tertentu yang bisa menjadi sarana atau penyaluran stres yang dihadapi. Selain itu, penderita juga perlu menata kembali hidupnya hingga lebih fokus, terarah, dan memiliki tujuan hidup yang jelas.
Meski demikian, untuk mencapai derajat kesembuhan yang baik, terbebas dari segala kecemasan yang ada, semua terapi itu tidak bisa dilakukan dengan singkat. Terapi itu umumnya harus dilakukan selama berbulan-bulan, bahkan pada beberapa kasus hingga bertahun-tahun, tergantung tingkat keparahan kecemasan yang dihadapi.
Semua itu menuntut kesabaran penderita dan orang-orang di sekitar penderita. Karena itu, niat dan komitmen untuk sembuh harus terus dijaga. Ikhtiar tanpa kenal lelah dan tidak mudah bosan untuk melakukan berbagai terapi juga harus dijaga. Dengan keyakinan kuat, kecemasan dan ketakutan terhadap kematian akan bisa disembuhkan.