RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan Jadi Kado Pahit Petani
›
RUU Sistem Budidaya Pertanian ...
Iklan
RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan Jadi Kado Pahit Petani
Rancangan Undang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan akhirnya disahkan DPR tepat pada peringatan Hari Tani, Selasa (25/9/2019). Undang-undang ini menjadi ancaman bagi petani, terutama petani pemulia benih.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan akhirnya disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada peringatan Hari Tani, Selasa (24/9/2019). Pengesahan ini dilakukan di tengah unjuk rasa mahasiswa di luar gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Peraturan ini menjadi salah satu dari beberapa peraturan perundangan terkait sumber daya alam yang dibahas DPR dan dikritik publik karena dinilai tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Sebelumnya, DPR juga telah mengesahkan RUU tentang Sumber Daya Air pada pekan lalu. Meski demikian, RUU Pertanahan akhirnya ditunda, demikian juga RUU Mineral dan Batubara.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa mengatakan, UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB) menjadi ancaman bagi petani, terutama petani pemulia benih. ”Terdapat pasal-pasal yang mengancam pengembangan varietas yang dihasilkan petani kecil. Ini tidak ada bedanya dengan UU Sistem Budidaya Tanaman (SBT) tahun 1992,” katanya.
Undang-Undang SBPB merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang SBT yang telah diajukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh koalisi lembaga swadaya masyarakat karena beberapa kali terjadi kasus kriminalisasi petani pemulia benih.
MK kemudian mengabulkan permohonan dengan putusan Nomor 99/PUU-X/2012 yang menyatakan Pasal 9 Ayat (3) dan Pasal 12 Ayat (1) UU SBT bertentangan dengan UUD 1945 karena dinilai diskriminatif dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan petani pemulia tanaman dalam melakukan pencarian, mengumpulkan, dan mengedarkan benih.
M Rifai dari Koalisi Kedaulatan Benih Petani dan Pangan menyebutkan, disahkannya RUU SBPB tersebut memberi jalan bagi korporasi benih dan pertanian untuk menguasai sumber genetik dan benih yang masih ada di tangan petani kecil. Hal ini juga akan membuat petani tidak berdaulat di tanahnya sendiri.
Disahkannya RUU SBPB tersebut memberi jalan bagi korporasi benih dan pertanian untuk menguasai sumber genetik dan benih yang masih ada ditangan petani kecil.
Menurut Riai, koalisi juga mencatat adanya 22 pasal kontroversial dalam RUU SBPB. Di antaranya, Pasal 27 Ayat (3) yang menyebutkan, petani kecil yang melakukan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) harus melaporkan kepada pemerintah. Hal ini karena budaya pertanian Indonesia, utamanya masyarakat adat, selama ini mandiri benih dan mandiri dalam mengembangkan benih-benih unggulnya.
Selain itu, Pasal 29 Ayat (3) menyebutkan, varietas hasil pemuliaan petani kecil dalam negeri sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) hanya dapat diedarkan secara terbatas dalam satu wilayah kabupaten/kota. Pembatasan ini dinilai bertentangan dengan putusan MK Nomor 99/PUU-X/2012 atas Uji Materi UU SBT, yang memperbolehkan peredaran benih oleh petani kecil di seluruh wilayah hukum Indonesia.
Manajer Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) Puji Sumedi mengatakan, UU SBPB ini akan kembali membuka peluang kriminalisasi petani, terutama masyarakat adat yang turun-temurun mengumpulkan dan memuliakan benih. ”RUU SBPB ini merupakan satu paket dengan RUU Pertanahan yang juga berpotensi mengancam petani kecil. RUU ini berkaitan erat dengan petani sebagai subyek pemilik tanah,” ujarnya.
Undang-Undang SBPB ini akan kembali membuka peluang kriminalisasi petani, terutama masyarakat adat, yang turun-temurun mengumpulkan dan memuliakan benih.
Kritik juga disampaikan Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), pengesahan RUU SBPB tepat pada peringatan Hari Tani Nasional merupakan bentuk ketidakpedulian DPR dan pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan dan kemuliaan petani. ”Betul bahwa pada undang-undang ini ada pengecualian bagi petani kecil, tetapi pada bagian lain justru membatasi petani kecil,” ucapnya.
Menurut Said, penyusunan undang-undang ini seharusnya melibatkan dan mengakomodasi sebanyak mungkin suara serta masukan petani, tetapi hal ini tidak dilakukan. Berbagai masukan dari para pihak, terutama masyarakat sipil dan perwakilan organisasi tani, juga tidak diakomodasi dalam undang-undang ini.
”Isu krusial yang justru bisa melemahkan kedaulatan petani masih ada dan tak berubah sekalipun mendapat masukan. Persoalan akses terhadap sumber daya genetik, benih, dan penggunaan lahan adalah beberapa hal yang sebelumnya sudah kami kritisi,” tuturnya.
Misalnya, ada pasal tentang kewajiban petani untuk melapor ke pemerintah tentang tanaman yang dibudidayakan. Ini dianggap kontradiksi dan bentuk lain pelemahan kedaulatan petani.
Selain itu, perlindungan dan pemanfaatan sumber daya genetik lokal untuk kemajuan petani juga tidak ada. Sebaliknya, dengan undang-undang ini pemasukan dan penggunaan benih dari luar termasuk benih rekayasa genetik dimungkinkan terjadi dan diberi perlindungan dengan baik.
”Padahal, kekuatan pertanian dan petani indonesia terletak pada keragaman dan lokalitas sebagai kekayaan,” ucapnya.