Detoks Digital demi Melihat Babirusa di Belantara Sulawesi
›
Detoks Digital demi Melihat...
Iklan
Detoks Digital demi Melihat Babirusa di Belantara Sulawesi
Perjalanan memasuki lebatnya hutan penuh tantangan. Hujan membuat tanah menjadi berlumpur dan penuh genangan. Detoks digital demi babirusa semakin mengasikkan. Simak kisahnya.
Oleh
Kristian Oka Prasetyadi
·5 menit baca
Definisi bekerja, belajar, dan jalan-jalan sering kali tertukar bagi para wartawan. Perasaan itulah yang muncul saat Kompas bertandang ke Suaka Margasatwa Nantu Boliyohuto di bagian Kabupaten Boalemo, Gorontalo, 22-23 Juni 2019, untuk liputan Ekspedisi Wallacea.
Alam Sulawesi memang tak pernah kehabisan cara untuk memukau setiap insan yang ingin menyingkap rahasianya. Naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, telah lebih dulu mengungkap keindahan serta kekayaan fauna Sulawesi yang unik dalam Kepulauan Nusantara (1869). Buku itu diterbitkannya 150 tahun lalu setelah 8 tahun menjelajah Nusantara dan kami ingin menilik kembali apa yang telah disaksikannya.
Bersama tiga wartawan Kompas dengan kantong penuh pengalaman, yaitu Aris Prasetyo, M Final Daeng, serta fotografer Iwan Setiawan, saya berkesempatan melihat sendiri babirusa (Babyrousa babyrussa), salah satu hewan endemik yang menarik perhatian Wallace di Sulawesi. Di Suaka Margasatwa (SM) Nantu Boliyohuto, babirusa mudah ditemui di suatu kubangan lumpur yang mengandung mineral bernama Adudu.
Babirusa adalah eksotisme, hanya ditemukan di Sulawesi, Kepulauan Sula (Maluku Utara), dan Pulau Buru (Maluku). Satwa liar ini pun dilestarikan secara in situ di area suaka margasatwa yang jalur aksesnya sangat terbatas. Karena itu, perjalanan menuju Kubangan Adudu lebih seru dan menantang dari yang dibayangkan sebelumnya.
Perjalanan dimulai dari kantor SM Nantu Boliyohuto di Desa Sari Tani, Kecamatan Wonosari, Boalemo, sekira 120 kilometer dari Kota Gorontalo. Daerah ini tak terjangkau sinyal internet. Lagi pula, jalur menuju Kubangan Adudu tak terlihat di aplikasi peta. Beruntung, kami dipandu dua petugas SM Nantu Boliyohuto, Kadir Inji dan Rikardjo Usman.
Kami harus berjalan melewati jalan setapak yang becek dan berlumpur sepanjang lebih kurang 3 kilometer di tengah ladang jagung yang lebat dan tinggi. Jalan berliku tak jadi masalah untuk Kadir dan Kardjo yang melewatinya sehari-hari.
Perjalanan terhenti sebentar di tepi Sungai Paguyaman yang dangkal. Kami melepas alas kaki, lalu berjalan dengan arah melintang memotong arus sungai ke seberang. Sesampainya di seberang, tak perlu buang banyak waktu. Kami meletakkan barang-barang di pos pengamanan SM, lalu segera menuju Kubangan Adudu.
Lagi-lagi, perjalanan memasuki lebatnya hutan penuh tantangan. Hujan membuat tanah menjadi berlumpur dan penuh genangan. Tidak bisa sembarang berpegangan pada tumbuh-tumbuhan di sekitar karena kebanyakan adalah sejenis palma berduri.
Rasa penasaran untuk melihat babirusa yang endemik itu terpuaskan setibanya di pondok pengamatan, tepat di tepi hamparan kubangan lumpur Adudu. Pondok dari kayu dan pelepah daun palma berduri itu hanya cukup untuk tiga orang. Di dalam, sudah dibuat celah bagi teropong atau lensa kamera.
Kubangan Adudu adalah tempat berkubang favorit babirusa dan hewan endemik lainnya, seperti anoa (Bubalus depressicornis). Pengamatan satwa hanya bisa dilakukan dari pondok secara diam-diam agar hewan-hewan tersebut tidak merasa terancam. Kemungkinannya, mereka akan melarikan diri masuk ke hutan lagi atau malah menyerang.
Sebagai orang yang lebih terbiasa dengan belantara gedung perkantoran di metropolitan, saya terkesima oleh keunikan babirusa.
Sayangnya, hanya babirusa yang muncul siang itu. Induk betina terlihat mendampingi anak-anaknya saat berendam dan menjilati lumpur mineral itu.
Sebagai orang yang lebih terbiasa dengan belantara gedung perkantoran di metropolitan, saya terkesima oleh keunikan babirusa. Secara umum, bentuknya seperti babi, tetapi kulitnya coklat pucat. Yang membuatnya menarik adalah adanya taring yang besar dan panjang pada rahang bawah. Ada pula tanduk yang melengkung hingga mendekati mata.
Fungsi taring dan tanduk babirusa juga menjadi teka-teki bagi Wallace. Dalam buku Kepulauan Nusantara, ia menduga tanduk melengkung itu berfungsi untuk melindungi mata dari duri saat babirusa mencari buah-buahan untuk makan. Dugaan lain Wallace, tanduk dan taring itu telah kehilangan fungsinya seiring perubahan lingkungan sekitarnya.
Terlepas dari itu, mengamati dan mengambil foto memiliki keasyikannya tersendiri. Iwan, fotografer kami, bolak-balik menyuruh kami tenang. Konsentrasinya seakan terpecah setiap ada srak srek yang kami buat. Babirusa memang cuma ada di Sulawesi, jadi jangan sampai pulang ke Jakarta dengan foto yang tidak memuaskan.
Target buruan
Karena keunikannya, babirusa menjadi target perburuan. Pada 2016, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan status rentan punah bagi babirusa. Jumlah individu dewasa hanya sekitar 10.000 ekor. Begitu pula anoa yang berstatus bahaya punah dengan populasi sekitar 2.500 ekor.
Karena itu, selama lebih dari 20 tahun terakhir, Hutan Nantu dijaga oleh Yayasan Adudu Nantu Internasional (YANI) yang dipelopori, salah satunya, oleh ilmuwan konservasi asal Inggris, Dr Lynn Clayton. Sehari-hari, tugas patroli hutan diemban oleh anggota staf lapangan YANI, James Komolontang.
Ia tak sendiri. Ada sekitar 10 anggota Brigade Mobil (Brimob) Polda Gorontalo yang ditugasi di sana. Semuanya laki-laki muda. Kelompok Brimob yang ada saat itu telah bertugas di Hutan Nantu sekitar 2 bulan.
Selepas mengambil foto babirusa, kami ikut merasakan apa yang mereka rasakan setiap hari. Waktu terasa sangat lambat. Hari sudah sore, tetapi matahari tak kunjung tenggelam. ”Mas, ada film action?” tanya salah satu anggota Brimob kepada saya setelah ia tuntas menyelesaikan nonton film di ponselnya. Saya menggeleng.
”Biasanya tiap bulan rolling, tetapi kami sudah dua bulan. Ini gara-gara rusuh pasca-pilpres kemarin. Sekarang kami enggak tahu ada apa di luar sana,” kata pemuda itu lagi.
Sejak demonstrasi ricuh pada 21-22 Mei setelah penetapan hasil pemilihan presiden, polda setiap provinsi memang mengirimkan pasukan ke Ibu Kota demi pengamanan maksimal. Kelompok pengganti mereka pun ikut dikirim sehingga mereka harus lebih lama menjaga hutan. Sisi positifnya, setidaknya mereka bisa menjalani detoks media sosial.
Di tengah hutan tanpa sinyal internet dan listrik yang byarpet tergantung solar genset tak banyak yang bisa dilakukan setelah patroli. Tanpa tahu jam ataupun tanggal yang pasti, kadang pasrah dalam gelap gulita, para anggota Brimob pun mengisi waktu dengan canda tawa dalam permainan kartu remi bersama James. Yang kalah harus main sambil berdiri di putaran berikutnya.
Kami berempat lebih banyak menonton sembari ikut tertawa. Selama semalam seolah berada di dimensi lain, tak mengetahui apa yang terjadi di dunia luar sana. Yang kami tahu, ada orang-orang yang rela mengorbankan waktu, tenaga, dan kesenangannya demi menjaga Hutan Nantu dan segala harta karun di dalamnya.