Unjuk rasa mahasiswa di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, 24 September 2019, seperti mengulang Tragedi Semanggi II yang terjadi 20 tahun silam, persisnya 24 September 1999. Penguasa abai dengan suara publik.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
Penguasa negeri ini seperti tak pernah belajar dari sejarah. Unjuk rasa mahasiswa pada 24 September lalu mengulang peristiwa yang memicu Tragedi Semanggi II yang terjadi 20 tahun silam. Pemerintah dan DPR 20 tahun lalu, dan kini, sama-sama mengabaikan suara publik saat menyusun undang-undang.
Dua dekade lalu, tepatnya 24 September 1999, menjadi catatan kelam bagi bangsa Indonesia. Saat itu, mahasiswa turun ke jalan yang kemudian berakhir rusuh hingga menyebabkan sejumlah orang tewas. Kelak, peristiwa tersebut dikenal sebagai Tragedi Semanggi II.
Berdasarkan catatan Kompas, unjuk rasa dipicu Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) yang disetujui disahkan pemerintah bersama dengan DPR.
Selain mahasiswa, para buruh, aktivis partai politik, lembaga non-pemerintah, dan profesi serentak bergerak menuju Gedung MPR/DPR untuk melakukan penolakan. Penolakan pengesahan RUU PKB dilakukan karena terdapat poin dalam aturan ini yang menimbulkan kontroversi.
Banyak kalangan waktu itu memandang, UU PKB akan dijadikan dasar hukum bagi TNI untuk memudahkan operasi militer. Selain itu, penolakan muncul karena UU dinilai berpotensi melumpuhkan gerakan masyarakat sipil.
Tekanan demonstran yang begitu tinggi dan sengit untuk menolak RUU itu mengakibatkan bentrokan dengan aparat keamanan. Bentrokan berujung pada tewasnya enam orang, beberapa di antaranya mahasiswa. Selain itu, tragedi yang berlangsung selama dua hari itu juga menyebabkan lebih dari 100 orang luka-luka.
Kini, 20 tahun berlalu setelah Semanggi II, peristiwa itu seperti terulang. Pada 24 September 2019, massa mahasiswa di banyak daerah, termasuk Ibu Kota, berunjuk rasa. Mereka menolak pengesahan empat RUU, yaitu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pemasyarakatan, Pertanahan, dan Minerba, karena banyak materi di dalamnya merugikan masyarakat.
Selain itu, mereka juga menentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai bakal melumpuhkan KPK.
Unjuk rasa terpaksa digelar karena masukan dan kritik publik atas produk-produk hukum itu tidak pernah digubris DPR ataupun pemerintah. Penguasa menganggap suara publik seperti angin lalu.
Khusus di Jakarta, massa mahasiswa dari berbagai kampus se-Jabodetabek mengepung Kompleks Parlemen. Unjuk rasa yang semula tertib kemudian ricuh menjelang sore hari. Tidak ada korban meninggal akibat peristiwa itu. Namun, korban luka ringan hingga berat tak terelakkan, baik di pihak demonstran maupun aparat keamanan.
Syarat demokrasi
Jika disimak kembali, kesamaan pemicu peristiwa Semanggi II dengan 24 September 2019 adalah pemerintah dan DPR sama-sama mengabaikan suara publik saat menyusun undang-undang.
Padahal, demokrasi mensyaratkan partisipasi publik, termasuk dalam penyusunan undang-undang. Apalagi aturan dalam produk hukum itu kelak akan mengikat publik pula.
Jurgen Habermas, filsuf dan sosiolog asal Jerman, pernah pula mengingatkan salah satu hal penting terwujudnya demokrasi deliberatif adalah partisipasi warga negara. Intensitas partisipasi warga ini agar kebijakan yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan dari pihak yang diperintah.
Berangkat dari kesamaan itu, aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019), sengaja berfokus untuk mengenang peristiwa tragedi Semanggi II dan merefleksikan kejadian itu dengan kondisi kekinian, terutama unjuk rasa di sejumlah daerah pada 24 September 2019.
Aksi Kamisan merupakan aksi damai yang dilakukan oleh korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang digelar rutin setiap Kamis di depan Istana Merdeka.
Pada aksi Kamisan yang telah memasuki aksi ke-603 tersebut, sejumlah peserta aksi berorasi dan berefleksi, salah satu di antaranya masih seorang pelajar SMA.
Maria Catarina Sumarsih, salah satu keluarga korban Tragedi Semanggi I yang ikut dalam aksi Kamisan, menyayangkan terulangnya kembali kejadian 20 tahun silam. Tak hanya karena pemicunya yang mirip, tetapi juga karena kekerasan dikedepankan dalam mengatasi kericuhan.
Dia sangat berharap pola pendekatan aparat keamanan dalam mengatasi unjuk rasa diubah supaya apa yang menimpa anaknya saat Tragedi Semanggi I tak terulang. Sumarsih merupakan ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya, Jakarta, yang tewas saat Semanggi I.
Komedian Arie Kriting yang turut mengikuti aksi Kamisan juga memberikan refleksi. Selain merefleksikan kembali sejumlah kasus dan tragedi pelanggaran hak asasi manusia berat, Arie juga menyampaikan pandangannya terhadap kondisi bangsa dan negara yang ada saat ini.
Arie memandang kinerja pemerintah dan DPR saat ini semakin buruk. Secara satir, Arie juga menyatakan bahwa anggota DPR jauh lebih baik tidur daripada bekerja. Sebab, ketika bekerja, produk legislasi yang dihasilkan malah jauh dari kata sempurna.
Jadi, pepatah Perancis, L’Histoire se repete, yang berarti ’sejarah akan berulang’, benar adanya. Sejarah masa lalu akan berulang di hari ini, dalam wajah, bentuk, dan nama-nama yang berbeda, tetapi lakonnya sama. Sang lakon bisa jadi lupa sejarah atau sengaja melupakan apa yang terjadi di masa lalu.