Penangkapan Dandhy Dwi Laksono Pembungkaman bagi Pegiat Informasi
›
Penangkapan Dandhy Dwi Laksono...
Iklan
Penangkapan Dandhy Dwi Laksono Pembungkaman bagi Pegiat Informasi
Selama ini Dandhy Dwi Laksono kerap membela dan menyuarakan berita-berita tentang Papua. Hal yang dilakukan Dandhy ini adalah bentuk upaya memperbaiki kondisi HAM dan demokrasi.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polda Metro Jaya menangkap Dandhy Dwi Laksono, pendiri WatchdoC, sutradara, dan pengurus nasional Aliansi Jurnalis Independen. Dandhy ditangkap di rumahnya di Pondokgede, Bekasi, Kamis, 26 September 2019 pukul 22.45.
Berdasarkan kronologi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Dandhy tiba di rumahnya pada Kamis (26/9/2019) sekitar pukul 22.30. Selang 15 menit, tiba-tiba datang polisi menggedor-gedor rumahnya sembari membawa surat penangkapan.
Pukul 22.45, polisi menangkap Dhandy dengan tuduhan Pasal 28 Ayat (2) serta Pasal 45 A Ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 14 dan Pasal 15 Kitab Undang-undang Hukum Pidana karena alasan status/unggahan di media Twitter mengenai Papua. Dari rumahnya, Dandhy kemudian dibawa empat polisi ke kantor Polda Metro Jaya dengan mobil Fortuner berpelat nomor D 216 CC sekitar pukul 23.05. Penangkapan tersebut disaksikan oleh dua petugas satpam RT setempat. Dandhy kemudian dibebaskan, tetapi ditetapkan sebagai tersangka.
Selama ini Dandhy kerap membela dan menyuarakan berita-berita tentang Papua. Hal yang dilakukan Dandhy ini adalah bentuk upaya memperbaiki kondisi HAM dan demokrasi. Dari pemberitaan-pemberitaannya, Dandhy berupaya memastikan bahwa masyarakat dan publik luas bisa mendapatkan informasi yang berimbang.
Selama ini Dandhy kerap membela dan menyuarakan berita-berita tentang Papua.
Bersama mantan Pemimpin Redaksi Kantor Berita Radio Voice of Human Rights Andhy Panca Kurniawan, Dandhy merintis rumah produksi audio-visual WatchdoC tahun 2009. ”Semua kami mulai dari nol,” kata Dandhy dalam wawancara khusus bersama dua wartawan Kompas, Maria Hartiningsih dan Budi Suwarna, 7 Januari 2014.
”Kami tak pinjam bank karena tak ada jaminan, tak ada lagi gaji bulanan. Kami beli kamera dari hasil mengajar dan ngamen (menjadi narasumber). Kami menolak investor karena dalam logika investor, pola relasi kuasanya sama saja. Pernah tahun 2010 kami tidak bergaji sama sekali. Uang masuk untuk gaji karyawan, untung istri saya bekerja,” ungkapnya.
Berbekal uang tabungan, pada 2015-2017 Dandhy Dwi Laksono bersama rekannya, Ucok Suparta, menghabiskan waktu dua tahun keliling Indonesia naik motor untuk menemui, merekam, dan hidup bersama dengan rakyat-rakyat kecil yang tertindas. Ia benar-benar menggali informasi A1 dari lapangan dengan segala risikonya, bukan sekadar mengutip omongan orang. Segudang data dan pengalamannya keliling Indonesia membuahkan hasil peliputan sekuel Indonesia Biru yang luar biasa.
Dalam perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru, Dandhy bersama timnya menelurkan tujuh film dokumenter dari sejumlah tempat yang ia kunjungi, mulai Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua. Beberapa film dokumenter yang dihasilkan antara lain Sexy Killers, THE MAHUZEs, Asimetris, Lewa di Lembata, Kala Benoa, dan Samin VS Semen.
Kebebasan berekspresi
Menyikapi penangkapan ini, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen Revolusi Riza mendesak Polda Metro Jaya membebaskan Dandhy dari segala tuntutan hukum. Dandhy dibebaskan, tetapi ditetapkan sebagai tersangka. ”Penangkapan terhadap Dandhy ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi Indonesia,” ujarnya.
Desakan juga disampaikan pengacara LBH Jakarta Alghiffari Aqsa. Menurut dia, penangkapan ini menunjukkan perilaku reaktif Kepolisian Republik Indonesia untuk isu Papua dan sangat berbahaya bagi perlindungan dan kebebasan informasi yang dijamin penuh oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. ”Penangkapan ini merupakan bentuk pembungkaman bagi pegiat informasi dan teror bagi pembela hak asasi manusia,” ujarnya.
Penangkapan ini menunjukkan perilaku reaktif Polri untuk isu Papua dan sangat berbahaya bagi perlindungan dan kebebasan informasi.
Sebagaimana diberitakan, pelanggaran HAM di Papua terus terjadi tanpa ada sanksi bagi aparat dan media/jurnalis pun dihalang-halangi serta tak bebas menjalankan tugas jurnalis di Papua. Orang-orang yang menyuarakan informasi dari Papua seperti Dandhy justru ditangkap dan dijadikan tersangka.
Tadi malam Dandhy diperiksa dan didampingi oleh Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, KontraS, Imparsial, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Partai Hijau Indonesia, Amnesty Internasional Indonesia, dan AMAR Lawfirm.
”Kami mendesak agar penyidik Polda Metro Jaya menghentikan penyidikan Saudara Dandhy Dwi Laksono. Kami juga mendesak agar kepolisian menghargai hak asasi manusia yang sepenuhnya dijamin konstitusi RI dan tidak reaktif serta brutal dalam menghadapi tuntutan demokrasi,” katanya.