Isu impor ikan kembali hangat seiring kasus suap jatah impor ikan yang menyeret BUMN Perikanan, yakni Perum Perindo, yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Kasus suap terkait impor ikan terjadi di tengah program pemerintah yang gencar memasyarakatkan ”Gerakan Makan Ikan” dan mendorong ekspor.
Impor ikan, selain untuk bahan baku dan bahan penolong industri, juga diperuntukkan bagi usaha pindang, umpan, konsumsi hotel, restoran, katering, pasar modern, bahan pengayaan makanan, serta bahan produk olahan berbasis daging lumatan.
Pemberian izin impor di luar peruntukan bahan baku dan bahan penolong industri mengacu pada rekomendasi impor ikan yang diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ikan yang boleh diimpor antara lain jenis ikan yang tidak dihasilkan di dalam negeri.
Rekomendasi impor juga diberikan terhadap jenis ikan yang bisa dihasilkan di dalam negeri, tetapi ikan yang dibutuhan industri pengolahan secara rutin itu tidak selalu tersedia pada musim tangkap.
Berdasarkan data KKP, tren impor ikan naik setiap tahun. Pada semester I tahun 2015-2019, volume dan nilai impor masing-masing tumbuh 4,37 persen per tahun dan 5,02 persen per tahun. Laju volume dan nilai impor tersebut melebihi laju volume dan nilai ekspor yang masing-masing sebesar 1,06 persen per tahun dan 3,12 persen per tahun.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 58 Tahun 2018 tentang Rekomendasi Pemasukan Hasil Perikanan selain sebagai Bahan baku dan Bahan Penolong Industri menyebutkan, perusahaan yang mengajukan kuota impor ikan wajib memiliki rencana usaha selama satu tahun. Rencana ini meliputi kapasitas gudang penyimpanan, ketersediaan sarana pengangkutan, kapasitas terpasang, kebutuhan ikan, target produksi, dan pemasaran, serta lokasi rencana distribusi.
Adapun penetapan jenis, volume, dan waktu pemasukan impor ikan wajib memperhatikan, antara lain, kebutuhan dan ketersediaan pasokan atau produksi ikan, baik dari hasil penangkapan maupun hasil budidaya. Selain itu, disebutkan juga soal konsumsi ikan dan lokasi tujuan distribusi.
Dengan ketentuan itu, pengawasan terhadap mekanisme impor ikan seharusnya dapat dioptimalkan, mulai dari penggunaan kuota impor, proses impor, distribusi, hingga peruntukannya. Laporan dari perusahaan yang memperoleh rekomendasi impor jangan sekadar menjadi berkas formalitas, tetapi mestinya bisa jadi dasar pengawasan.
Kasus arus impor yang dikotori praktik suap dan rente menunjukkan mekanisme pengawasan terhadap impor yang masih lemah. Praktik rente tidak hanya merugikan negara, tetapi juga membuat harga ikan di masyarakat menjadi lebih mahal dan sektor perikanan kehilangan daya saing.
Transparansi dan pengawasan impor diperlukan agar arus impor ikan tidak menjadi bumerang yang memukul usaha perikanan dalam negeri. Dengan stok ikan nasional yang diklaim pemerintah terus meningkat, sudah saatnya armada nasional diperkuat untuk memanfaatkan sumber daya ikan. Dengan cara itu, ketergantungan terhadap bahan baku impor juga dapat ditekan. (BM LUKITA GRAHADYARINI)