Mereka juga mengingatkan para investor agar tidak terjebak ke dalam valuasi, tetapi juga pada model bisnis yang dapat berkelanjutan.
Oleh
Andreas Maryoto
·3 menit baca
Tak mengherankan jika para pendiri usaha rintisan ingin mencapai valuasi tinggi. Unicorn adalah predikat yang menjadi salah satu puncak keinginan mereka. Akan tetapi, dengan berbagai kasus yang menimpa beberapa usaha rintisan di Amerika Serikat, sejumlah kalangan mulai mewaspadai jebakan mendapat predikat unicorn. Cara-cara valuasi sehingga menghasilkan angka yang terlalu tinggi mulai dipertanyakan. Nafsu menjadi unicorn juga diduga membuat mereka tidak fokus pada bisnis.
Sebenarnya sudah ada beberapa kasus yang dilakukan pendiri usaha rintisan. Kasus yang fenomenal adalah Theranos yang sempat diliput media, tetapi ternyata teknologinya tak berjalan. Beberapa penawaran saham perdana (IPO), seperti Uber, Lyft, dan Peleton, yang tak sukses juga jadi pembahasan.
Perbincangan makin hangat ketika dua pekan lalu usaha rintisan persewaan ruang kantor, WeWork, disorot media setelah rencana IPO mereka dibatalkan. Publik menyoroti valuasi WeWork yang sangat besar.
Minat investor pasar uang terhadap saham WeWork sangat rendah ketika eksekutif WeWork bertemu beberapa investor dan kalangan bank sebelum IPO. Valuasi WeWork yang mencapai 47 miliar dollar AS dipertanyakan. Begitu juga soal kelangsungan model bisnis, pengelolaan beban jangka panjang, dan penerimaan jangka pendek. Jawaban tak memuaskan membuat investor ragu-ragu.
Induk perusahaan, The We Company, langsung menurunkan valuasi WeWork menjadi 10 miliar dollar AS-20 miliar dollar AS. CEO WeWork Adam Neumann diminta mengundurkan diri. Istrinya, Rebekah, juga dilarang untuk menggantikannya secara permanen karena tekanan investor. Beberapa hari lalu, Adam mengundurkan diri.
Perbincangan makin tajam pascakasus itu. Publik mengulik cara-cara valuasi yang dilakukan usaha rintisan. Publik mengkritisi ukuran yang digunakan dan mengingatkan prinsip bahwa ujung dari bisnis adalah keuntungan. Laman Nikkei Asian Review melaporkan, dua pekan lalu investor bertemu di Singapura dan membahas persoalan mereka karena dana besar sudah digelontorkan di Asia Tenggara.
Mereka membahas tren dan tantangan usaha rintisan di wilayah itu. Salah satu persoalan adalah tentang valuasi. Banyak uang masuk ke Asia Tenggara yang meningkatkan valuasi usaha rintisan. Salah satu investor mengingatkan, apa yang terjadi jika kasus Uber dan WeWork muncul di kawasan Asia Tenggara?
Mereka juga mulai mengingatkan valuasi gila-gilaan yang dilakukan usaha rintisan setelah menerima pendanaan dalam jumlah besar. Analis meminta investor berhati-hati dalam berinvestasi besar-besaran di perusahaan yang belum teruji.
Analis lain mengatakan, valuasi usaha rintisan di Asia Tenggara dan India dinilai terlalu cepat membesar sehingga pada masa depan investor perlu lebih memilih-milih usaha rintisan untuk berinvestasi. Mereka juga mengingatkan para investor agar tidak terjebak ke dalam valuasi, tetapi juga pada model bisnis yang dapat berkelanjutan.
Mereka juga mengingatkan para investor agar tidak terjebak ke dalam valuasi, tetapi juga pada model bisnis yang dapat berkelanjutan.
Jebakan sangat mungkin muncul dari nafsu besar investor awal agar usaha rintisan cepat-cepat bernilai di atas satu miliar dollar AS atau menjadi unicorn. Mereka tentu bermimpi mendapat imbal hasil dalam jumlah besar secepatnya.
Untuk itu, pendiri usaha rintisan diminta tak perlu buru-buru menjadi unicorn. Lebih baik mereka fokus menjalankan bisnis inti usaha rintisan. Predikat itu juga tak perlu membuat publik terkagum-kagum karena pada ujungnya bisnis yang menghasilkan profit yang dinilai sehat dan memberikan harapan pada masa depan.
Beberapa pengamat di Indonesia juga menyoroti perilaku pendiri usaha rintisan yang bisa menjadi cerminan dalam mengelola usaha rintisan. Mereka perlu tetap mengadopsi nilai-nilai luhur yang menjadi patokan masyarakat. Menjadi rendah hati dan tak tergoda mencari cara cepat menjadi besar rupanya masih diakui sebagai kunci sukses usaha rintisan. (ANDREAS MARYOTO)