Dua tahun setelah Usain Bolt pensiun, belum ada sprinter putra Jamaika yang mampu menyamai prestasinya.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, Jamaika pada dalam Kejuaraan Dunia Atletik tanpa Usain Bolt. Dua tahun setelah sang bintang meninggalkan lintasan, belum ada tanda-tanda kelahiran penerusnya. Bolt pun khawatir.
Kekhawatiran dari pemegang rekor dunia 100 dan 200 meter putra itu, salah satunya, tergambar pada final 100 meter di Stadion Internasional Khalifa, Qatar, Sabtu (28/9/2019) malam waktu setempat. Hanya ada Yohan Blake di antara delapan finalis dan akhirnya finis pada urutan kelima.
Blake, juara dunia 100 meter di Daegu 2011 (ketika Bolt didiskualifikasi karena kesalahan start), kalah bersaing dengan dua sprinter AS yang finis pertama dan kedua, Christian Coleman dan Justin Gatlin. Juga Andre de Grasse (Kanada) dan Akani Simbine (Afrika Selatan) yang berada di posisi ketiga dan keempat.
Hasil itu lebih buruk dibandingkan dengan saat Jamaika terakhir kalinya menempatkan satu finalis 100 meter putra di Osaka 2007. Ketika itu, Asafa Powell masih bisa meraih perunggu, berada di belakang Tyson Gay (AS/emas) dan Derrick Atkins (Bahama/perak).
Pada kejuaraan dua tahunan ini, setelah itu, Jamaika selalu menempatkan minimal dua pelari putra pada final 100 meter. Puncaknya terjadi di Moskwa 2013, ketika negara pulau di Karibia itu menempatkan empat finalis, atau setengah dari jumlah pelari yang tampil di final! Jika saja tak ada Gatlin yang finis kedua, Jamaika menempatkan semua finalisnya pada posisi empat teratas.
Tanpa Bolt, dominasi lari cepat putra Jamaika pun berakhir. Meski masih ada nomor 200 meter, yang finalnya akan berlangsung Selasa (1/10/2019) malam waktu setempat, Jamaika tampaknya sulit untuk melewati kebangkitan AS. Negara tersebut memiliki bintang baru, Noah Lyles, pada nomor tersebut. Si penggemar Bolt itu menjadi pelari tercepat 200 meter pada 2019 dengan catatan waktu 19,50 detik.
Bolt menilai, kondisi ini terjadi karena atlet-atlet muda Jamaika terlalu dimudahkan oleh berbagai faktor hingga mereka tak berniat bekerja keras untuk mencapai level tertinggi. ”Segala hal, saat ini, sangat mudah bagi mereka. Ini berbeda dengan era kami karena kami harus bekerja keras sejak awal,” katanya.
Atas berbagai kemudahan itu, salah satunya kontrak besar setelah lulus sekolah menengah atas, Bolt pun meragukan motivasi mereka untuk selalu meningkatkan kemampuan. Padahal, menurut dia, Jamaika tak kekurangan atlet muda.
Negara itu memiliki Kejuaraan Nasional Atletik untuk atlet-atlet SMA, dikenal dengan nama ”The Champs”, yang digelar setiap tahun. Dari ajang inilah, atlet-atlet top dunia negara tersebut lahir, salah satunya Bolt.
Kejuaraan ini tak hanya menjadi ajang pencarian bibit klub-klub atletik setempat, tetapi juga menjadi ajang pencarian bakat universitas di Amerika Serikat yang ingin memberi beasiswa hingga calon-calon sponsor.
”Mereka sudah puas dengan yang didapat saat memasuki level senior sehingga tak punya motivasi untuk bekerja keras agar menyamai atau melewati senior-senior mereka. Jadi, ini masalah motivasi,” kata Bolt.
Bolt bercerita, ketika muda, dia memiliki target untuk setara atau lebih baik dari idolanya, Michael Johnson. Itu mendorongnya untuk bekerja keras.
”Atlet-atlet muda harus punya standar juga, misalnya ingin menyamai, atau bahkan lebih baik dari saya. Mereka harus berpikir, ’Saya harus lebih cepat dari Usain Bolt’. Itu penting bagi mereka, punya target,” katanya pada Sports Illustrated, Juli 2019.
Kondisi lebih baik ada bagian putri. Jamaika masih punya Shelly-Ann Fraser Pryce dan Elaine Thompson serta penerus mereka, Jonielle Smith (23) yang tampil pada final 100 meter putri, Senin (30/9/2019) dini hari WIB. Fraser-Pryce bahkan menjadi pelari pertama (putra-putri), yang empat kali menjadi juara dunia 100 meter dengan menjadi pelari tercepat di Doha.
Jamaika juga masih memiliki sprinter masa depan, Briana Williams, yang masih berusia 17 tahun. Williams bisa diharapkan menjadi penerus Fraser-Pryce setelah menjadi juara dunia 100 dan 200 meter yunior pada 2018.
”Menurut saya, atlet muda tak boleh terbebani dengan pensiunnya Usain Bolt, tak usah berpikir harus seperti dia. Apa yang dilakukan Bolt luar biasa, atlet-atlet muda hanya harus berbuat yang terbaik,” kata Fraser-Pryce. (AFP)