Penyesuaian tarif jalan tol jadi perhatian banyak pihak. Sebab, dengan bertambahnya jaringan tol, makin banyak pula penggunanya. Meski merupakan alternatif jalan nasional, jalan tol jadi ”hajat hidup” orang banyak.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Penyesuaian tarif jalan tol jadi perhatian banyak pihak. Sebab, dengan bertambahnya jaringan tol, makin banyak pula penggunanya. Meski merupakan alternatif jalan nasional, jalan tol jadi ”hajat hidup” orang banyak.
Sampai pertengahan tahun ini, tercatat 1.773 kilometer (km) jalan tol beroperasi, terbagi dalam 54 ruas tol. Setiap hari, 9,4 juta kendaraan melintas dan nilai transaksinya Rp 12 triliun per tahun.
Meski sudah dibangun sejak 1978, penambahan jalan tol secara signifikan baru pada empat tahun terakhir. Sejak 2015 sampai pertengahan 2019, terdapat 949 km jalan tol baru beroperasi. Dengan demikian, makin banyak daerah terjangkau jalan tol, makin banyak pula orang yang menaruh perhatian pada isu tarif tol.
Di sisi lain, meski merupakan jalan nasional, jalan tol dibangun dengan skema investasi. Di sini, tol Trans-Sumatera jadi pengecualian karena dibangun dengan skema penugasan pemerintah.
Tingkat pengembalian investasi diperhitungkan dengan memproyeksikan potensi lalu lintas kendaraan hingga kemampuan masyarakat dalam membayar tarif tol.
Selain itu, diperhitungkan pula penyesuaian (baca: kenaikan) tarif tol setiap dua tahun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2017 berdasarkan tarif lama yang disesuaikan dengan inflasi setiap daerah. Itu semua dituangkan ke rencana bisnis yang kemudian jadi perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) antara badan usaha dan pemerintah.
Dengan regulasi yang jelas dan terukur, industri jalan tol dinilai telah proinvestasi, sebagaimana terungkap dalam dialog ”CEO Kompas100 Update”, beberapa waktu lalu. Namun, modal yang diperlukan untuk membangun memang besar dan waktu pengembaliannya relatif panjang.
Sebagai catatan, saat ini tiap km tol yang dibangun di atas tanah (landed) perlu investasi Rp 100 miliar-Rp 150 miliar. Adapun tol layang (elevated) perlu investasi sekitar Rp 300 miliar per km.
Perhitungan tarif jadi lebih rumit ketika sistem penghitungannya berubah dari berbasis jarak menjadi sistem terbuka dengan tarif merata seperti di ruas Jakarta-Tangerang, Jagorawi, dan tol Semarang ABC. Meski bertujuan mengurangi kepadatan dan menyesuaikan pola lalu lintas, sebagian masyarakat tak bisa menerima kenyataan bahwa tarif jarak pendek justru jadi lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya.
Di sisi lain, penyederhanaan golongan dan rasionalisasi (baca: penurunan) tarif tol jarak jauh menjadi Rp 1.000 per km juga memengaruhi rencana bisnis investor. Kebijakan itu muncul karena pelaku logistik keberatan dengan tarif tol jarak jauh (Trans-Jawa) yang dinilai mahal.
Tarif dasar tol yang dibangun sejak 2015 sudah di atas Rp 1.000 per km. Meski pemerintah mengompensasi dengan memperpanjang masa konsesi menjadi 50 tahun, kebijakan itu dipertanyakan badan usaha karena berdampak pada pengembalian investasi.Tahun ini ada 13 ruas tol yang tarifnya dijadwalkan naik. Dalam konteks regulasi, hal ini bukan luar biasa karena setiap tahun pasti ada ruas tol yang disesuaikan tarifnya. Meski kenaikan tarif adalah hak operator jalan tol, keputusan akhir ada di tangan pemerintah.
Selain harus memenuhi standar pelayanan minimum (SPM), masukan atau keberatan pengguna bisa jadi pertimbangan. Sementara bagi badan usaha, kenaikan tarif bagian dari kepastian pengembalian investasi. Bagi pengguna, tarif yang murah sudah pasti jadi harapan.
Bisa jadi, era tarif tol murah, yakni di bawah Rp 1.000 per km, telah berakhir. Namun, jalan tol tetaplah jalan alternatif karena masyarakat dapat memilih untuk tidak lewat tol.
Biaya rendah memang jadi harapan semua pihak. Namun, mesti diingat bahwa pembangunan jalan tol merupakan investasi swasta, bukan pemerintah. Oleh karena itu, kepentingan tiap-tiap pihak perlu diperhitungkan secara matang. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR)