Mewujudkan kota cerdas merupakan upaya untuk membuat hidup penduduk di kota itu lebih berkualitas. Kuncinya bukan sekadar penerapan teknologi informasi, melainkan juga mesti dilandasi dengan tata ruang kota yang benar.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mewujudkan kota cerdas merupakan upaya untuk membuat hidup penduduk di kota tersebut lebih berkualitas. Kuncinya bukan sekadar penerapan teknologi informasi, melainkan juga mesti dilandasi dengan tata ruang kota yang benar. Ini yang jadi tantangan bagi DKI Jakarta.
Tata ruang bertujuan membuat kota lebih padu atau compact sehingga penduduk kota bisa beraktivitas secara efisien. Ahmad Safrudin dari Koalisi Pejalan Kaki menyebutkan, DKI masih jauh dari keterpaduan tersebut.
”Jakarta masih sangat rumit. Orang mau bepergian dari satu titik ke titik lain masih sulit, termasuk untuk berpindah dari satu moda transportasi ke moda lain,” ucap Ahmad atau akrab dipanggil Puput, Selasa (1/10/2019), di sela diskusi ”Smart Cities for All: The Foundation for Sustainable Business”. Acara ini diselenggarakan Kedutaan Besar Swedia untuk Indonesia, Business Sweden, dan Most Valued Business (MVB).
Karena ketidakefisienan tersebut, kendaraan pribadi masih jadi pilihan utama bagi banyak warga di Jakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah mobil penumpang pada 2012 sebanyak 2,74 juta, kemudian meningkat menjadi 3,52 juta pada 2016. Adapun jumlah sepeda motor tahun 2012 sebanyak 10,82 juta, lalu menjadi 13,31 juta pada 2016.
Masih rendahnya penggunaan angkutan umum merupakan salah satu dampak meluasnya lahan terbangun di Jakarta dan sekitarnya yang masuk area Jabodetabek, tetapi tidak diikuti dengan pembangunan infrastruktur dasar yang memadai, termasuk jaringan angkutan umum.
Hasil penelusuran Litbang Kompas yang, antara lain, bersumber dari Penelitian Penggunaan Lahan dan Evolusi Penggunaan Lahan di Provinsi DKI tahun 2012 menunjukkan, pada 2008 lahan 57.063 hektar atau 86,3 persen wilayah telah beralih fungsi menjadi permukiman. Hanya 893,2 hektar berupa sungai/waduk/telaga/situ, 3.234,8 hektar tanah kosong, dan sisanya masuk kategori nonurban seluas 4.934,7 hektar (Kompas, 8/8/2019).
Salah satu efeknya, tingginya tingkat polusi udara di Jakarta. Kualitas udara di Jakarta dalam beberapa bulan terakhir berstatus tidak sehat menurut versi AirVisual.
Puput menuturkan, salah satu kunci untuk membuat warga meminimalkan penggunaan kendaraan bermotor pribadi adalah menyediakan trotoar yang memadai. Ia pun memprotes rencana Pemerintah Provinsi DKI untuk membolehkan pedagang kaki lima tetap berjualan di trotoar setelah selesai direvitalisasi.
Ia mengusulkan agar pemprov membeli lahan kosong di berbagai titik untuk dijadikan lokasi PKL berjualan, sedangkan trotoar tetap diutamakan untuk pejalan kaki. Ia mengakui, mendapatkan lahan kosong tergolong sulit saat ini di Jakarta, tetapi jika dicek pada ruas-ruas yang ramai dilintasi warga, masih ada lahan kosong yang bisa dimanfaatkan.
Sebelumnya, pemerhati masalah perkotaan dari Universitas Trisakti, Jakarta, Nirwono Joga, sudah mengusulkan agar pemprov mendata lahan-lahan telantar di DKI. Namun, tujuannya untuk dijadikan tambahan ruang terbuka hijau, bukan lokasi PKL.
Sementara itu, Duta Besar Swedia untuk Indonesia Marina Berg menekankan, sebuah kota bukanlah kota cerdas jika tidak berkelanjutan. ”Berinvestasi pada pembangunan dan bisnis yang berkelanjutan adalah berinvestasi untuk masa depan,” ujarnya.
Duta Besar Swedia untuk Indonesia Marina Berg menekankan, sebuah kota bukanlah kota cerdas jika tidak berkelanjutan. Berinvestasi pada pembangunan dan bisnis yang berkelanjutan adalah berinvestasi untuk masa depan.
Berg menambahkan, kota-kota di dunia hanya menempati 3 persen daratan di bumi, tetapi berkontribusi pada 75 persen emisi karbon dan hampir 80 persen konsumsi seluruh energi. Upaya mewujudkan kota cerdas mesti mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu kuncinya yaitu melalui kolaborasi pemerintah dengan dunia usaha dan akademisi.
Namun, Manajer Kemitraan Smart City Universitas Indonesia Ahmad Gamal memandang konsep kolaborasi yang dikenal sebagai triple helix tersebut belum berjalan ideal di Indonesia. Akademisi hampir sepanjang waktu hanya berfungsi sebagai penasihat bagi pemerintah, menyajikan kajian ilmiah untuk sekadar memilih teknologi yang tepat atau perusahaan penyedia teknologi yang cocok guna melaksanakan suatu program.
Jadi, pelaku usaha hadir sudah dengan teknologi yang siap pakai. Amat jarang hasil penelitian akademisi digunakan untuk menambah keunggulan pada produk industri.