Bagi Noah Lyle, atletik adalah obat ketika dirinya semasa kecil menghadapi berbagai masalah hingga depresi. Atletik pula yang membawanya menjadi juara dunia.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Noah Lyles menjuarai lari 200 meter putra pada partisipasi pertamanya dalam Kejuaraan Dunia Atletik. Lyles pun disebut ”The Next Usain Bolt”. Namun, baginya, atletik lebih dari sekedar arena yang membuatnya menjadi juara dunia.
Lyles, atlet Amerika Serikat kelahiran 18 Juli 1997, menjadi yang tercepat pada final 200 m di Stadion Internasional Khalifa, Doha, Qatar, Rabu (2/10/2019) dinihari WIB. Catatan waktu 19,83 detik menjadikannya yang tercepat, di depan Andre de Grasse (Kanada), Alex Guinonez (Ekuador), dan lima sprinter lain
Gelar ini didapat setelah Lyles gagal tampil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 dan Kejuaraan Dunia Atletik London 2017. Dia menulis targetnya itu dalam telepon genggam sebagai alat pengingat. Dia juga sering bergumam menjadi juara dunia saat mengendarai mobil.
”Rasanya luar biasa saat akhirnya target itu tercapai. Menjelang akhir musim, saya memenangi momen besar. Saya tak tahu berapa orang yang menjadi juara saat pertama kali tampil pada Kejuaraan Dunia, yang jelas, saya melakukannya,” kata Lyles, yang merayakan kemenangan itu dengan berlutut dan mencium trek, serta memeluk ibunya, Keisha di tribune.
Lyles seolah menahan emosi—biasanya merayakan kemenangan dengan menari—untuk momen yang lebih besar, Olimpiade Tokyo 2020. Pada ajang itu, dia berencana tampil pada 100, 200, dan estafet 4x100 m seperti yang selalu dilakukan Usain Bolt, idolanya.
Sakit dan depresi
Medali emas di Stadion Khalifa tak hanya menjadi prestasi terbaik Lyles sejak terjun ke arena atletik profesional pada 2016, dalam usia 19 tahun. Itu menjadi wujud cintanya pada dunia yang telah mengeluarkannya dari berbagai masalah sejak anak-anak.
Pada usia 4-12 tahun, Lyles menderita asma dan berbagai alergi. Dia pun masih ingat ketika pada satu malam dilarikan ke rumah sakit karena kesulitan bernafas.
Perceraian orang tuanya saat Lyles berusia 13 tahun berpengaruh pada kondisi psikologisnya. Pada saat hampir bersamaan, Lyles didiagnosis mengalami attention deficit disorder (ADD), atau gangguan pemusatan perhatian. Ini menambah gangguan lain yang dialami, yaitu disleksia (gangguan dalam membaca).
Di sekolah, dia pun dianggap bodoh dan tak asing dengan perundungan. Lyles muda pun terkena depresi. ”Saya harus menjalani pengobatan untuk asma, lalu ADD. Saya merasa, kepribadian saya yang periang tercerabut. Obat untuk menyembuhkan penyakit itu menenggelamkan emosi saya. Saya juga harus menjalani terapi untuk depresi,” katanya.
Akhirnya, atletik menjadi jawaban atas semua masalah Lyles. Kebetulan, ayah dan ibunya adalah mantan atlet atletik. Lyles, dan adiknya, Josephus, dikenalkan pada dunia itu oleh orang tuanya. Lyles pun mulai serius berlari pada usia 12 tahun.
”Trek telah menyelamatkan saya. Saya menyukainya sejak mengenal atletik. Saya selalu merasa bahagia saat berada di trek,” kata Lyles.
Lyles, yang awalnya ingin menjadi juara loncat tinggi Olimpiade, meraih emas ketika mewakili AS dalam Olimpiade Remaja Nanjing 2014. Dia mencapai prestasi yang sama, pada 100 dan 4x100m, ketika tampil Kejuaraan Dunia Atletik U-20 di Polandia.
Kepercayaan diri atas kemampuannya terlihat dalam perbincangan dengan pelatihnya, Lance Brauman, pada 2016. Saat itu, Lyles masih bersekolah di SMA dan menerima tawaran beasiswa dari Universitas Florida.
Di AS, atlet-atlet muda potensial biasanya mendapat tawaran beasiswa dari universitas dan mewakili universitas tersebut dalam berbagai kejuaraan, salah satunya NCAA. ”Saya bertanya pada pelatih, ‘Ketika rekor dunia 100 m pecah di Olimpiade 2008, berapa usia Bolt saat itu? Dia menjawab, sekitar 22 atau 23. Saya pun berhitung di dalam kepala. ‘Saat Olimpiade 2020, usia saya 23 tahun dan saya ingin membuat rekor dunia,’” katanya.
Selain pelatih, Lyles mendapat dukungan dari ibunya, Keisha. ”Saya menangis karena takut harus meninggalkan atletik untuk kuliah. Tetapi, ibu mengizinkan saya untuk terjun ke arena profesional,” tutur Lyles yang menandatangani kontrak jangka panjang dengan Adidas sejak 2016.
Penuh gaya
Meski dinilai sebagai penerus Bolt, Lyles baru sekali bertemu atlet kharismatik itu. Pertemuan itu pun terjadi di ruang tunggu praktik dokter di Jerman, pada 2017, ketika mereka menjalani terapi.
Lyles, yang selesai menjalani terapi hamstring terlebih dulu, memberanikan diri menghampiri Bolt dan memperkenalkan diri. ”Hai, apa yang kamu lakukan di atletik sangat luar biasa,” katanya. Bolt pun merespons dengan ramah.
Setelah itu, ”pertemuan” antara mereka terjadi melalui video-video Bolt yang ditonton Lyles. Bukan hanya mempelajari gerakan Bolt saat berlari cepat melewati lintasan, juga gaya menari dan Bolt merayakan kemenangan.
“Saya senang dengan caranya membuat orang tertarik untuk menonton olahraga. Saya belajar itu darinya,” kata Lyles yang tampil di Doha dengan rambut warna perak dengan potongan seperti karakter Goku dalam anime Dragon Ball-Z. Dia juga terbiasa bergaya sebelum start dan merayakan kemenangan dengan menari.
Di luar lintasan, Lyles adalah musisi yang berencana mengeluarkan album hip hop sebelum Tokyo 2020. Dia juga tertarik pada bidang mode dengan menjadi desainer dan pernah tampil sebagai model pada Pekan Mode Paris.
Lyles percaya prinsip yang dipegang Bolt, bahwa seorang atlet harus memperlihatkan kepribadian, di samping prestasi, pada publik. ”Saya bisa menjadi pelari tercepat dan peraih medali terbanyak, tetapi, apakah orang-orang akan ingat tentang itu? Saya rasa tidak karena akan ada atlet lain melakukan hal yang sama. Tetapi, orang-orang sudah pasti akan mengingat kepribadian Bolt,” tutur Lyles. (AP/AFP)