Nikmat rasa kopi tak pernah habis disesap. Di Malang, petani kopi mengenalkan lagi kopi-kopi lama lewat Malang Coffee Ethnic 2019. Di pendopo Kabupaten Malang, kopi-kopi lawas ini tampil lagi tanpa sembunyi-sembunyi.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Secangkir kopi panas yang disodorkan barista Gayu Wingestu (21) menjadi pembuktian soal kualitas kopi robusta Jambuwer. Lidah langsung mencecap rasa kopi yang pahit namun ada nuansa asam. Sebuah perpaduan rasa yang biasanya didapat dari percampuran robusta dan arabika.
Jambuwer merupakan sebuah desa di Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Berada di lereng selatan Gunung Kawi, kawasan yang memiliki elevasi sekitar 500 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini sudah lama memiliki tanaman kopi, khususnya robusta. Bahkan, kopi Jambuwer disebut-sebut telah ada lebih dulu dibanding daerah penghasil kopi lainnya di Jawa Timur.
Meski demikian, dalam perkembangannya, dibanding daerah lain, khususnya di Malang, pamor kopi asal Jambuwer belum setenar kopi dari daerah lain. Sebut saja kopi dari Dampit dan sekitarnya—yang berada di lereng selatan Gunung Semeru atau lazim disebut kopi Amstirdam—telah melenggang lebih dulu ke kancah lebih luas.
Baca juga : Petani Malang Didorong Kembangkan Kopi Organik
”Kenggulan kopi di wilayah kami ada rasa asamnya. Padahal, robusta kecenderungannya ada rasa strong. Semua muncul dari prosesnya, baik penanaman maupun pengolahan,” kata Gayu di sela-sela pameran kopi Malang Coffee Ethnic 2019 di pendopo Kabupaten Malang, Rabu (2/10/2019).
Hampir semua warga Jambuwer dikenal sebagai petani kopi. Selama ini mereka menjual kopi secara konvensional dalam wujud green bean. Pangsa pasarnya pun mencakup wilayah Malang dan sekitarnya. Petani setempat juga memasok kopi ke pabrik PT Asal Jaya di Dampit yang telah memiliki pangsa pasar ekspor kopi ke sejumlah negara.
Upaya pemasaran modern kopi Jambuwer baru dimulai tahun 2016. Sejak saat itu, cara-cara pertanian yang mengutamanan kualitas diterapkan, salah satunya petik merah. Kelompok tani setempat juga membuat produk olahan dengan merek ”Kopi Merah Jambuwer”. Tahun ini pemerintah desa ingin menjadikan kopi sebagai ikon dengan cara merintis desa wisata edukasi kopi.
Baca juga : Pohon-pohon Kopi Tua yang Masih Tersisa
”Semua ini ditujukan untuk mendongkrak harga kopi dan citarasa yang berbeda. Kualitas dan rasa kopi kami memang berbeda. Di deretan kopi robusta, harga kopi Jambuwer paling tinggi di Malang. Harga green bean mencapai 55.000 per kilogram (daerah lain hanya 32.000 per kg),” ucap Boari (48), anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Mekar Tani Desa Jambuwer.
Semua ini ditujukan untuk mendongkrak harga kopi dan citarasa yang berbeda. Kualitas dan rasa kopi kami memang berbeda. Di deretan kopi robusta, harga kopi Jambuwer paling tinggi di Malang.
Menurut Boari, pengolahan ”Kopi Merah Jambuwer” menggunakan metode fermentasi alam (semiwash). Begitu dipetik, biji kopi merah langsung dimasukkan ke dalam air lalu disortir. Biji kopi yang mengapung dipisah karena kualitasnya kurang bagus. Setelah itu, biji kopi dikupas dan dilakukan fermentasi 2 x 24 jam.
Baca juga : Minum Kopi Bikin Hati Gembira
Setelah fermentasi, biji kopi langsung dicuci guna membersihkan lendir yang masih menempel. Kopi lalu dijemur selama sepekan baru kemudian dikupas kulit tanduknya. ”Dengan cara ini, kadar air tinggal 12 persen lalu di-roasting. Rasa langu hilang dan kadar pahitnya berkurang, misalnya dari 90 persen menjadi tinggal 60 persen,” tutur Boari.
Petani kopi lain yang berupaya ”menapaki pamor” ada di lereng Gunung Bromo, tepatnya di Desa Taji, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, yang memiliki ketinggian wilayah 1.100-1.200 mdpl. Nama ”Kopitaji” pun disematkan sejak tahun 2017 sebagai salah satu dari dua merek, satu merek lainnya adalah Kopi ”Babinsa Taji”.
Kopi Taji mulai mengemuka sejak 2016. Berawal dari upaya seorang bintara pembina desa (babinsa) yang melakukan penghijauan dengan tanaman kopi. Saat ini, luas kebun kopi di Taji mencapai 80 hektar, yang mana 30 hektar kopi arabika dan 50 hektar robusta. Kopi tersebut milik Kelompok Tani Kartika II yang beranggotakan 43 orang.
”Dari 43 orang petani yang maksimal melakukan pola penanaman sesuai harapan, termasuk petik merah ada 10 orang,” kata Heri Purnomo, anggota babinsa, yang menggagas Kopi Taji.
Menurut Heri, kopi arabika Taji menjadi unggulan karena memiliki karakter rasa bunga dan asam jawa yang cukup tinggi. Kopi ini juga banyak peminatnya. Bahkan, produksinya belum bisa memenuhi permintaan. Akibatnya, pasokan arabika taji ke kedai-kedai kopi harus dijatah 5-10 kg per tahun.
Selain membuat kemasan produk, ada juga beberapa upaya lain untuk memperkenalkan kopi setempat, yakni melalui wisata kopi dan mengikuti pameran. ”Upaya untuk menarik konsumen ada wisata kopi Taji. Di dalamnya ada budidaya pascapanen dan cuping (merasakan) kopi. Pemandangannya juga bagus,” tuturnya.
Baca juga : Kopi yang Menghangatkan Hati
Malang Coffee Ethnic 2019 diharapkan menjadi media untuk kembali mengangkat budaya minum kopi tubruk yang kini mulai terpinggirkan oleh cara minum kopi dari luar. Ketua pameran sekaligus Koordinator Wilayah Area Jawa Timur Komunitas Kopi Nusantara, Rahmania Indika, mengatakan, saat ini sedang menjadi tren seseorang merasa bangga apabila minum kopi di tempat mewah.
Padahal, keberadaan kopi tubruk pula nilai tersendiri. ”Seorang master untuk uji rasa masih menggunakan manual browing tubruk. Pada tubruk juga dasar kita mencari aroma kopi dan rasa,” katanya. Pameran kali ini diikuti 50 stan berasal dari sejumlah daerah, seperti Banyuwangi, Lumajang, Jember, Surabaya, dan Semarang.
Malang Coffee Ethnic 2019 juga bertujuan memberikan edukasi kepada masyarakat, khususnya warung kopi untuk memakai kopi lokal. Selama ini ada kesan keberadaan kopi lokal sulit dijangkau oleh warung kopi biasa akibat harganya yang terlalu tinggi. Padahal, dalam kopi lokal terdapat tingkatan dari yang harganya tinggi sampai rendah.
Tentu saja, bagi para petani kopi, pergelaran semacam ini bisa menjadi tangga untuk meraih popularitas. Bagaimana mereka unjuk gigi, menampilkan kopi-kopi terbaik dari daerah mereka yang selama ini belum banyak dikenal publik. Sebab, di luar sana masih banyak orang yang bergantung pada kopi. Seperti kata almarhum pesohor Mbah Surip: ”Selain mengurangi tidur, banyak ngopi menjadi penjaga stamina....”