logo Kompas.id
Pesan Kuat dari Kerusuhan...
Iklan

Pesan Kuat dari Kerusuhan Wamena

Upaya melawan hoaks tidak akan efektif dengan pendekatan represif pemerintah pascakasus. Literasi kepada masyarakat tentang kualitas informasi dan cara mengendalikan hoaks menjadi strategis.

Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO
· 7 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/vZUG-drFc34sD3oVSmEJLwa8gJQ=/1024x497/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F7ca396e1-3788-4bdf-b156-e74d5f4a64f6_jpg.jpg
KOMPAS/FABIO MARIA LOPES COSTA

Ratusan pengungsi dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya, yang tiba di Pangkalan Udara Silas Papare, Jayapura, Jumat (27/9/2019).

Hingga 1 Oktober 2019, sebanyak 33 orang tewas, 21.106 orang mengungsi, 6.472 orang dievakuasi ke luar kota Wamena, dan ribuan orang lainnya masih antre agar bisa diangkut pesawat Hercules tujuan Jayapura, Timika, dan Merauke. Semua ini karena kerusuhan yang dipicu kabar bohong atau hoaks sepekan sebelumnya.

Seriusnya dampak kerusuhan di Papua tersebut dikutip Kompas (2/9/2019) dari Pemerintah Kabupaten Jayawijaya dan Detasemen Pangkalan TNI Angkatan Udara Wamena. Kasus ini menambah panjang daftar kerusuhan dan perpecahan sosial yang diakibatkan hoaks di negeri ini.

Upaya melawan hoaks tidak akan efektif dengan pendekatan represif pemerintah pascakasus. Literasi kepada masyarakat tentang kualitas informasi dan cara mengendalikan hoaks menjadi strategis, terutama terkait informasi digital.

Sayangnya, Indonesia masih dinilai lemah dalam hal ini karena masyarakat masih bisa disebut gagap digital. Sebagai solusi jangka panjang, literasi digital perlu dimasukkan dalam mata pelajaran di berbagai jenjang pendidikan formal.

Salah satu kiblat yang layak dipilih sebagai tempat belajar adalah Finlandia.

Finlandia telah menyiapkan warganya sejak 2014 melalui edukasi literasi digital atau kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi melalui beragam sumber digital.

Sebagai salah satu negara Eropa yang memiliki pendidikan maju, Finlandia kini dinilai mampu memerangi hoaks. Kuncinya, program literasi yang tepat sasaran, baik dari sisi konten maupun penerimanya.

https://cdn-assetd.kompas.id/YGLQmysQxUQjeXSPvAnQ7ATeV4k=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F03%2F20190305_135206_1551790546.jpg
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR

Duta Besar Finlandia untuk Indonesia Jari Sinkari (kedua dari kiri) dalam acara diskusi mengenai isu pendidikan di Indonesia dan Finlandia bersama wartawan di Jakarta, Selasa (5/3/2019).

Finlandia telah menyiapkan warganya sejak 2014 melalui edukasi literasi digital atau kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi melalui beragam sumber digital. Bahkan, program ini bukan hanya menyasar anak-anak di sekolah, melainkan juga ke pihak-pihak kunci dalam arus informasi, seperti masyarakat sipil, jurnalis, dan politisi.

Usaha yang dilakukan oleh Finlandia terlihat efektif meski memang harus menempuh waktu yang cukup lama. Efektifnya usaha ini juga ditopang oleh latar belakang masyarakat yang memiliki tradisi membaca literatur konvensional seperti buku. Sebagai gambaran, dalam setahun rata-rata 5,5 juta orang warga Finlandia yang meminjam buku di perpustakaan nasional (Helsinki Central Library Oodi) dengan total hampir 68 juta buku.

https://cdn-assetd.kompas.id/qdLb_LZcfdJIQR-3MolBBa1CnM0=/1024x951/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F20190925-NSW-Riset-Peringkat-Literasi-Negara-mumed_1569412564.jpg

Berdasarkan laporan dari Central Connecticut State University (CCSU) yang merilis peringkat literasi negara di dunia pada 2016, Finlandia menduduki posisi pertama dari 61 negara yang diteliti. CCSU merangkai data dari lembaga-lembaga PBB untuk menilai 5 kategori (sistem pendidikan, perpustakaan, surat kabar, dan hasil uji peserta didik) yang kemudian dirata-rata menjadi skor akhir penilaian literasi.

Tingkat literasi Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Tingkat literasi negara kita masuk papan bawah pemeringkatan global tersebut. Bahkan, Indonesia berada di posisi kedua terbawah sebelum Botswana.

Dari kelima kategori penilaian Indonesia paling buruk di aspek teknologi (60) disusul kemudian ketersediaan surat kabar (55) dan sistem pendidikan (54). Sementara itu, untuk kategori hasil ujian peserta didik ada di peringkat ke-45 dan perpustakaan di peringkat ke-37.

Temuan ini penting untuk melihat posisi Indonesia dalam literasi konvensional yang menjadi pijakan sebelum melangkah ke literasi digital. Pijakan ini diperoleh dari kebiasaan membaca secara mendetail, menganalisis, dan membandingkan literatur yang satu dengan yang lainnya. Dengan pola kebiasaan yang kuat dalam literatur konvensional, penerapannya di literasi digital akan dirasa lebih ringan.

https://cdn-assetd.kompas.id/sU0lwt6grwqAYtLH2JUtW2p8XD0=/1024x693/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2F0fc78834-9c2e-4e7a-b080-ebf08b701c97_jpg.jpg
Kompas/Hendra A Setyawan

Doni menggambar mural bertema budaya literasi di perpustakaan SDN Pondok Pucung 2, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (13/9/2019). Pihak sekolah menyulap ruang perpustakaan menjadi lebih berwarna dengan mural untuk merangsang anak-anak betah membaca buku di perpustakaan. Indonesia masih menghadapi tantangan dalam soal minat baca di kalangan pelajar. Berdasarkan tes Program Asesmen Siswa Internasional (PISA), siswa Indonesia masih lemah dalam kemampuan membaca. Akibatnya, mereka sulit memahami dan menganalisis teks yang serius serta padat informasi.

Persoalan muncul karena masyarakat Indonesia dengan tingkat literasi yang masih rendah langsung berhadapan dengan media digital. Sebuah budaya baru telah lahir bersama teknologi digital.

Budaya yang dimaksud berupa selalu terhubung (always online), budaya komentar (comment culture), dan kecenderungan untuk selalu berbagi (sharing). Pernyataan ini disampaikan oleh Karlina Supeli dalam Pidato Kebudayaan ”Kebudayaan dan Kegagapan Kita” hampir enam tahun yang lalu.

Kegagapan ketika berhadapan dengan media digital pun dirasakan dan terlihat nyata dalam keriuhan media sosial. ”Kita menciptakan budaya berkomunikasi yang justru mengurangi waktu kita untuk berpikir tanpa tersela... di bawah godaan untuk segera melontarkan komentar... kita tidak lagi punya cukup waktu untuk memikirkan problem-problem yang rumit.” Begitulah yang dituliskan peneliti media sosial Sherry Turkle dalam karyanya Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (2011).

Literasi digital diyakini banyak pihak sebagai salah satu cara untuk mengatasi gap yang ada.

Maka, kelemahan dalam literasi dan tantangan media digital saat ini membutuhkan jalan keluarnya. Literasi digital diyakini banyak pihak sebagai salah satu cara untuk mengatasi gap yang ada.

https://cdn-assetd.kompas.id/gxQw5mwxVb8xpa8BlT1_9WRjN4Q=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20171002DD0801.jpeg
PRAYOGI DWI SULISTYO untuk KOMPAS

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara (kedua dari kanan) mendukung gerakan nasional literasi digital #SiBerkreasi dalam mengatasi masalah penyebaran konten negatif di media digital saat peluncuran gerakan #SiBerkreasi di Jakarta, Senin (2/10/2017).

Seperti yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dengan menggalang Gerakan SiBerkreasi. Masalahnya, gerakan literasi digital ini masih belum diketahui banyak orang sehingga manfaatnya belum terlihat nyata.

Iklan

Kurikulum pendidikan

Seperti permasalahan besar lainnya, pendidikan memegang peranan kunci sebagai solusi jangka panjang, tak terkecuali dalam memerangi hoaks. Dalam berbagai sosialisasi ke masyarakat, Kemkominfo turut mendorong dimasukkannya materi literasi digital ke dalam kurikulum formal. Upaya ini masih perlu diperkuat dengan dukungan dari berbagai aspek pendidikan.

Literasi digital sebagai materi pendukung dalam pelajaran sudah dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak 2017. Di dalamnya, terdapat rumusan gerakan literasi digital di lingkungan pendidikan utama seorang anak, yakni di sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Akan tetapi, dari rumusan ini belum ditemukan turunan yang nyata seperti kebijakan atau keputusan lembaga kementerian dalam mewajibkan pendidikan literasi digital, setidaknya di tingkat sekolah dasar.

https://cdn-assetd.kompas.id/EnRE930PBTyIF8L-3kXyRuxtZlI=/1024x1492/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20190924-ARJ-Riset-perkembangan-kurikulum-mumed_1569320568.jpg

Salah satu upaya untuk mendekati kebutuhan ini sebenarnya ada dalam rumusan Kurikulum 2013. Di dalamnya, pendidikan dasar menekankan pada empat aspek, yakni pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku. Terlepas dari pro dan kontra serta kendala di lapangannya, pelajaran literasi digital memiliki peluang besar jika menyesuaikan dengan kurikulum ini.

Bukan berarti kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tidak memberikan ruang. Dalam penjelasan KTSP, sekolah atau satuan pendidikan dapat mengembangkan sendiri silabus dan penilaian sesuai dengan kondisi sekolah dan kekhasan daerahnya.

Jika celah ini dimanfaatkan pelajaran literasi digital pun dapat mulai diterapkan terutama di sekolah-sekolah di perkotaan (urban) mengingat besarnya penetrasi digital dibandingkan dengan di daerah perdesaan (rural).

https://cdn-assetd.kompas.id/LTkIPvoKzQh6MEMfIDC2FRHL500=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F03%2F20180926_BULAN-LITERASI_B_web_1537936655.jpg
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Siswa hadir bersama-sama dengan membawa dan membaca beragam buku dalam memeriahkan bulan literasi di SMP Negeri 3, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (24/9/2018). Kemajuan teknologi digital dengan perangkat gawainya membuat minat membaca buku di generasi muda mulai menurun.

Mengacu pada hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2018, penetrasi internet di lingkungan urban sudah mencapai 74,1 persen, sedangkan di rural atau desa, jumlahnya lebih kecil, yakni 61,6 persen. Artinya, pelajaran literasi digital paling tepat jika dimulai dari sekolah-sekolah yang berada di perkotaan, baru kemudian dapat menjadi cetak biru di daerah lainnya.

Peluang edukasi literasi digital di bangku sekolah juga didukung dengan penetrasi pengguna internet di kalangan pelajar. Dari laporan yang sama, pengguna internet di umur 10-14 tahun (kelas IV SD sampai kelas II SMP) mencapai 66,2 persen.

Angka yang lebih tinggi lagi untuk umur 15-19 tahun (kelas III SMP sampai lulus SMA) yang mencapai 91 persen. Hasil ini merupakan penetrasi internet tertinggi dibandingkan dengan segmen umur lainnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/4R900B2IgLLGaCRx50bLUmrJYzA=/1024x1115/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2F20190528-H11-DMS-Pengguna-Internet-mumed_1559055840.jpg

Di samping potensi, kesiapan sarana prasarana literasi digital perlu diupayakan oleh Kemdikbud dan lembaga pendidikan formal. Mengacu pada Ikhtisar Data Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2017/2018, total ada 545.545 ruang kelas di semua jenjang pendidikan.

Tidak sampai 50 persen dari jumlah ruang kelas yang ada dalam kondisi baik. Di jenjang SD, bahkan hanya sekitar 26 persen dalam kondisi baik dan di jenjang SMP hanya sekitar 29 persen ruang kelas.

Dalam rumusan Kemdikbud, penerapan teknologi dan kemudahan siswa dalam mengakses informasi secara daring menjadi salah satu indikator berjalannya literasi digital.

Baca juga: Layanan Publik di Wamena Masih Terpukul

Namun, jika dihadapkan pada data kelayakan bangunan sekolah saja, tampaknya pengadaan sarana-prasarana literasi digital masih memerlukan persiapan yang panjang. Perbaikan ruang kelas yang rusak tetap perlu menjadi prioritas setelah itu barulah sarana-prasarana literasi digital dapat diselenggarakan.

https://cdn-assetd.kompas.id/lLcRmshsvKnoluhZ1ZACO3dfVIg=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F318894a3-41fb-4028-ba7b-4b81367d83d1_jpg.jpg
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Kondisi ruang kelas VI SDN Kalianyar II, Desa Kalianyar, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Jumat (6/9/2019). Ruangan ini tidak bisa digunakan karena kondisinya membahayakan siswa.

Selain itu, elemen lainnya yang perlu diperhatikan ialah kesediaan dan kemampuan pengajar atau guru. Kendati survei APJII 2019 menemukan bahwa semua guru telah menggunakan internet sebagai pendukung dalam pekerjaannya, bukan berarti sudah 100 persen pula yang menguasai literasi digital.

Perbaikan ruang kelas yang rusak tetap perlu menjadi prioritas setelah itu barulah sarana-prasarana literasi digital dapat diselenggarakan.

Setidaknya seorang pengajar literasi digital harus memiliki kemampuan dalam dua aspek. Pertama, kemampuan dalam melakukan pendekatan konseptual yang berfokus pada pengembangan kognitif dan sosial emosional peserta didik. Kedua, kemampuan operasional yang fokusnya pada hal-hal teknis penggunaan media digital tersebut.

Kedua pendekatan itu merupakan aspek penting untuk dapat menempuh tingkatan-tingkatan dalam literasi digital. Kemdikbud menggunakan teori Mayes dan Fowler dalam buku Information and Technology Literacy: Concepts, Methodologies, Tools, and Applications (2006). Mayes dan Fowler membagi literasi digital dalam tiga tingkatan.

https://cdn-assetd.kompas.id/vDgb-JntexMIgtSeOfLJ9kYJc6Y=/1024x1057/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F03%2F20181125-mkp-Siberkreasi-Indonesia-mumed_1543136853.jpg

Pertama, kompetensi digital yang meliputi keterampilan, konsep, pendekatan, dan perilaku. Kedua, penggunaan digital yang merujuk pada pengaplikasian kompetensi digital yang berhubungan dengan konteks tertentu. Ketiga, transformasi digital yang membutuhkan kreativitas dan inovasi pada dunia digital.

Dalam praktiknya, seorang guru yang sudah mampu menguasai literasi digital secara kognitif dan sosial emosional belum tentu menguasai media digital secara teknis. Di sisi lain, seorang murid dapat dengan lincah mengakses media digital tetapi belum tentu siap dalam menerima informasi yang ia dapatkan dari dunia maya. Karena itu, pendidikan emansipatoris, di mana guru dan murid saling belajar, dapat menjadi model yang diterapkan dalam proses literasi digital.

Melihat tahapan panjang yang harus ditempuh untuk membentuk masyarakat melek digital memang terasa berat. Namun, langkah menuju ke kondisi tersebut harus segera diambil oleh pemerintah dan semua elemen bangsa. Tentu saja kita tidak ingin ada lagi korban yang berjatuhan karena hasutan kabar bohong. (LITBANG KOMPAS/YOHANES MEGA HENDARTO/SUGIHANDARI)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000