Sekaten, Tradisi Syiar, dan Mimbar Rakyat Penembus Sekat
Tradisi Sekaten digelar di Yogyakarta dan Solo selama ratusan tahun. Seiring roda waktu, semarak pasar malam Sekaten seperti menjadi kuali lebur antara keraton dan rakyatnya. Penembus sekat yang kini terancam lenyap.
Bermula ratusan tahun silam di era Kerajaan Demak, tradisi Sekaten terus dilaksanakan di Yogyakarta dan Solo. Seiring roda waktu, semarak pasar malam Sekaten seperti menjadi kuali lebur antara keraton dan rakyatnya. Mimbar rakyat penembus sekat yang kini terancam lenyap.
Rumor ihwal peniadaan pasar malam Sekaten di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, sebenarnya sudah beredar sejak beberapa waktu terakhir. Namun, rumor tersebut baru terkonfirmasi kebenarannya setelah ada pernyataan dari perwakilan Keraton Yogyakarta, Kamis (3/10/2019) petang. Hari itu, Keraton Yogyakarta menggelar konferensi pers tentang pameran yang digelar untuk memeriahkan pelaksanaan Sekaten.
Dalam acara itu, hadir Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Kridhamardawa Keraton Yogyakarta Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro serta Wakil Penghageng I KHP Nitya Budaya Keraton Yogyakarta Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara. Momen konferensi pers itu kemudian dimanfaatkan wartawan untuk bertanya ihwal penyelenggaraan pasar malam yang biasanya digelar memeriahkan Sekaten.
Pernyataan mengejutkan pun didapat. KPH Notonegoro dan GKR Bendara membenarkan pasar malam Sekaten di Yogyakarta tidak akan digelar tahun ini. Oleh karena itu, pelaksanaan Sekaten di Yogyakarta yang tahun ini digelar pada 3-9 November mendatang tak akan dimeriahkan dengan ingar-bingar pasar malam.
Peniadaan pasar malam itu disebut sebagai perintah langsung dari Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono (HB) X, yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. ”Itu (peniadaan pasar malam) merupakan dhawuh Dalem (perintah Sultan HB X),” kata KPH Notonegoro yang juga merupakan menantu Sultan HB X.
Baca juga: Pasar Malam Sekaten Yogyakarta Ditiadakan Tahun Ini
Menurut Notonegoro, ada sejumlah alasan kenapa penyelenggaraan Sekaten tahun ini tak diikuti pasar malam. Salah satunya adalah mengembalikan semangat dan makna Sekaten sebagai tradisi yang memiliki nilai-nilai luhur. Apalagi, dalam pelaksanaan pasar malam, kadang juga ada acara yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai Sekaten.
”Pasar malam itu bukan bagian dari Sekaten. Jadi, kami coba untuk mengembalikan semangat Sekaten seperti awalnya,” kata Notonegoro.
Notonegoro menyebut, peniadaan pasar malam itu juga untuk menjaga kondisi Alun-alun Utara Yogyakarta yang menjadi tempat pasar malam Sekaten. Menurut Notonegoro, setiap seusai pelaksanaan pasar malam Sekaten, kondisi Alun-alun Utara Yogyakarta biasanya sangat memprihatinkan karena rumputnya rusak dan banyak sampah bertebaran.
”Ngarsa Dalem (Sultan HB X) memang sempat dhawuh, Alun-alun Utara itu kalau setiap tahun dipakai pasar malam tidak akan pernah bisa bagus. Karena setiap kali habis dipakai pasar malam, Alun-alun Utara itu pasti kondisinya enggak karu-karuan,” ungkap Notonegoro.
Notonegoro memaparkan, untuk menjaga kondisi Alun-alun Utara Yogyakarta, sempat muncul wacana pasar malam Sekaten digelar dua tahun sekali. Namun, dia belum bisa memastikan apakah wacana itu akan dijalankan. Oleh karena itu, belum bisa dipastikan apakah peniadaan pasar malam tersebut hanya dilakukan tahun ini atau untuk selamanya.
Sementara itu, ketika diwawancarai pada Jumat (4/10/2019), Sultan HB X menyatakan, pasar malam di Sekaten akan digelar dua tahun sekali. Menurut Sultan, hal itu sudah menjadi kesepakatan dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta selaku penyelenggara pasar malam di Selaten. ”Untuk pasar malam itu dua tahun sekali,” katanya.
Untuk menjaga kondisi Alun-alun Utara Yogyakarta, sempat muncul wacana pasar malam Sekaten digelar dua tahun sekali. Namun, dia belum bisa memastikan apakah wacana itu akan dijalankan.
Ratusan tahun
Sekaten merupakan tradisi yang digelar untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad. Penyelenggaraan Sekaten sudah dimulai pada era Kerajaan Demak (1475-1554) sehingga tradisi tersebut sudah berusia ratusan tahun. Penyelenggaraan Sekaten merupakan bentuk syiar keagamaan yang dibungkus unsur kultural agar mudah diterima masyarakat.
Dalam buku Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1991, disebutkan sejumlah pendapat mengenai asal nama Sekaten. Setidaknya ada enam pendapat yang berbeda, tetapi ada dua pendapat yang paling dikenal berkait asal mula nama Sekaten.
Pertama, pendapat bahwa nama Sekaten berasal dari kata Sekati, yakni nama perangkat gamelan yang dimiliki Kerajaan Demak dan dipercaya berasal dari era Kerajaan Majapahit. Kedua, nama Sekaten disebut berasal dari istilah Syahdatain atau dua kalimat Syahadat yang dikenal dalam agama Islam.
Baca juga:Indikator ”Kompas”: Pasar Sekaten, Masih Diminati Kendati Tak Lagi Dinanti
Setelah digelar pertama kali di era Kerajaan Demak, penyelenggaraan Sekaten yang bertujuan untuk syiar keagamaan kepada masyarakat luas itu kemudian diteruskan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, seperti Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram Islam. Sampai sekarang, Sekaten masih rutin digelar oleh Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta yang merupakan penerus Kerajaan Mataram Islam.
Di Yogyakarta, Sekaten digelar setiap tanggal 5 sampai 12 bulan Mulud atau Rabiul Awal dalam penanggalan Jawa. Berdasarkan informasi di website resmi Keraton Yogyakarta, rangkaian acara Sekaten diawali dengan dikeluarkannya dua perangkat gamelan milik keraton, yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga, dari ruang penyimpanan ke Bangsal Pancaniti. Dua perangkat gamelan ini dikeluarkan pada sore hari tanggal 6 Mulud.
Setelah itu, dua perangkat gamelan itu akan dibunyikan oleh abdi dalem KHP Kridhamardawa di Bangsal Pancaniti. Saat gamelan mulai dibunyikan, Raja Keraton Yogyakarta akan mengirim utusannya untuk menyebarkan udhik-udhik berupa biji-bijian dan uang logam di Bangsal Pancaniti. Udhik-udhik—yang merupakan simbol sedekah serta doa keselamatan dan kesejahteraan dari raja—dibagikan pada abdi dalem dan masyarakat yang hadir.
Rangkaian acara Sekaten diawali dengan dikeluarkannya dua perangkat gamelan milik keraton, yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga, dari ruang penyimpanan ke Bangsal Pancaniti.
Pada malam hari, jelang tengah malam, dua perangkat gamelan itu akan dibawa ke Masjid Gedhe Kauman. Dikeluarkannya dua perangkat gamelan itu dikenal dengan nama upacara Miyos Gangsa. Kedua gamelan kemudian ditempatkan di dua bangunan di halaman Masjid Gedhe yang disebut Pagongan Kidul dan Pagongan Lor.
Kanjeng Kiai Gunturmadu ditempatkan di Pagongan Kidul, sementara Kanjeng Kiai Nagawilaga ditempatkan di Pagongan Lor. Setelah itu, dua perangkat gamelan tersebut akan ditabuh tiga kali sehari dari tanggal 6 hingga 11 Mulud.
Rangkaian Sekaten kemudian dilanjutkan dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad di Masjid Gedhe pada tanggal 11 Mulud malam hari. Acara ini bisa dibilang istimewa karena selalu dihadiri Raja Keraton Yogyakarta. Sebelum mengikuti pembacaan riwayat Nabi Muhammad itu, Sultan akan menyebarkan udhik-udhik di sejumlah lokasi.
Sesudah pembacaan riwayat selesai, Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga akan dibawa kembali ke dalam Keraton Yogyakarta. Prosesi yang dikenal dengan nama Kondur Gangsa itu sekaligus mengakhiri rangkaian upacara Sekaten. Keesokan harinya, pada tanggal 12 Mulud, Keraton Yogyakarta menggelar upacara Grebeg Mulud berupa pembagian gunungan yang berisi hasil bumi pada masyarakat.
Baca juga:Kisah ”Laron-laron” Sekaten
Pasar malam
Seiring waktu, pelaksanaan Sekaten kemudian dimeriahkan dengan penyelenggaraan pasar malam yang menjadi sarana hiburan bagi masyarakat luas. Pasar malam Sekaten biasanya menjual aneka jenis barang, dari makanan, mainan, hingga pakaian bekas atau kerap disebut warga setempat awul-awul. Dalam pasar malam itu, juga dijual sejumlah makanan tradisional khas Sekaten, misalnya sego (nasi) gurih, endog abang atau telur merah, serta aneka jajanan pasar.
Selain itu, dijual pula sejumlah jenis mainan tradisional khas, misalnya kincir gasing, kapal othok-othok, serta berbagai produk gerabah, seperti celengan dan tiruan alat masak. Di pasar malam Sekaten juga terdapat juga aneka jenis wahana permainan, misalnya bianglala, kora-kora, ombak banyu, rumah hantu, dan bumper car atau sering disebut bombom car. Ada pula pertunjukan atraksi sepeda motor yang disebut tong stand atau tong setan.
Belum diketahui pasti sejak kapan pasar malam digelar untuk menyemarakkan Sekaten. Namun, pasar malam itu diperkirakan sudah ada sejak masa kolonial Hindia Belanda. KPH Notonegoro menyebut, dilihat dari sejarah awalnya, pasar malam yang menyertai Sekaten sebenarnya digelar oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menyaingi tradisi Sekaten yang digelar keraton. Sebab, Sekaten pada masa itu juga kerap dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan perjuangan melawan penjajah.
Pada masa awal pendudukan Jepang tahun 1942, Sekaten sudah dimeriahkan keramaian pasar malam. Pada 1950-an, pasar malam di Sekaten kian semarak.
Kondisi itu membuat pemerintah kolonial tidak suka sehingga mereka kemudian menggelar pasar malam untuk menyaingi Sekaten. Dengan adanya pasar malam itu, masyarakat diharapkan tak hadir di Sekaten, tapi justru datang ke arena pasar malam. ”Jadi, ceritanya, dulu itu Belanda mengadakan pasar malam untuk memecah perhatian rakyat,” ujar Notonegoro.
Dalam tesisnya di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang berjudul Keramaian (dan) Sekaten Yogyakarta 1938-2005, Izatun Ni’mah mengatakan, pada masa awal pendudukan Jepang tahun 1942, Sekaten sudah dimeriahkan keramaian pasar malam. Pada 1950-an, pasar malam di Sekaten kian semarak. Durasi pasar malam yang awalnya hanya 6-7 hari kemudian berubah menjadi 30 hari atau satu bulan.
Baca juga: Konsep Sekaten Lemah dan Tanpa Inovasi
Selain itu, Izatun juga mencatat, pada 1973, penyelenggaraan pasar malam di Sekaten mulai dialihkan tanggung jawabnya dari Keraton Yogyakarta kepada Pemkot Yogyakarta. Hingga sekarang, pasar malam Sekaten di Yogyakarta dikenal dengan nama resmi Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS). Secara resmi, penyelenggara kegiatan PMPS adalah Pemkot Yogyakarta.
Dalam pelaksanannya, pasar malam Sekaten di Yogyakarta juga pernah mendapat kritikan. Pada tahun 1980-an, misalnya, muncul kritikan terhadap pentas musik dangdut yang digelar di pasar malam Sekaten. Hal ini karena pentas musik dangdut itu dinilai menghadirkan goyangan yang terlalu erotis sehingga dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai Sekaten.
Kontroversi ihwal musik dangdut di Sekaten itu tergambar jelas dalam arsip pemberitaan harian Kompas. Pada kurun 1984-1986, Kompas menerbitkan tiga berita yang membahas tentang kontroversi dangdut di pasar malam Sekaten.
Dalam tulisan berjudul ”Kalau Goyangannya Slow, Duitnya Juga Slow” yang dimuat Kompas pada 18 November 1984 disebutkan, muncul kecaman terhadap pentas dangdut yang digelar di pasar malam Sekaten. Namun, pentas dangdut itu pun juga tetap digelar dan dipenuhi penonton meski harus dijaga polisi berseragam. Berita itu juga memuat pernyataan pimpinan kelompok orkes dangdut yang menyebut goyangan penyanyi dangdut sangat penting untuk menarik penonton.
Baca juga: Pengabdian Lewat Gamelan Sekaten
Saat diwawancarai media, Kamis kemarin, KPH Notonegoro juga sempat menyinggung soal pentas musik dangdut di arena pasar malam Sekaten. Menurut Notonegoro, hiburan dangdut yang sempat digelar di arena pasar malam itu tidak cocok dengan semangat Sekaten sebagai syiar keagamaan.
”Zaman dulu, hiburan di Sekaten itu adalah gamelan Sekaten itu sendiri. Kalau kemudian berkembang dan sempat ada dangdut dan sebagainya, menurut saya itu bukan perkembangan yang harus dipertahankan. Saya tidak ada masalah dengan dangdut, tetapi itu, kan, tidak cocok dengan tema Sekaten,” ujar Notonegoro.
Pada 2018, pasar malam Sekaten lagi-lagi mendapat sorotan karena adanya wahana permainan bianglala di sana yang mengalami insiden yang membuat beberapa kabin atau tempat penumpang terbalik. Meski tidak ada korban jiwa, insiden tersebut menghebohkan masyarakat sehingga bianglala di arena pasar malam itu sempat dilarang beroperasi.
Sementara itu, pada 1989, muncul informasi bahwa sejumlah pemusik dangdut dilarang manggung di arena pasar malam Sekaten Yogyakarta karena dinilai berpenampilan seronok. Informasi itu dimuat dalam berita berjudul ”Musik Dangdut yang Tampil Seronok, Dilarang Manggung” yang terbit di Kompas pada 27 September 1989.
Baca juga: Alami Masalah, Bianglala di Sekaten Yogyakarta Dilarang Beroperasi
Disayangkan
Meski sempat mendapat berbagai macam sorotan, pasar malam di Sekaten tetap digelar selama bertahun-tahun dan telah menjadi sarana hiburan rakyat luas. Hiburan rakyat kecil dan juga wisatawan. Oleh karena itu, rencana peniadaan pasar malam itu disayangkan sejumlah pihak.
Sekretaris Komunitas Pelaku Usaha Pasar Malam DIY Alia Rachman Isnandi mengatakan, pihaknya merasa kecewa jika pasar malam dalam perayaan Sekaten ditiadakan. Sebab, peniadaan pasar itu akan membuat banyak pelaku usaha kehilangan salah satu sumber ekonomi. Apalagi, pemberitahuan tentang informasi tersebut cukup mendadak.
”Ini event yang besar dan sudah berlangsung bertahun-tahun. Sudah menjadi semacam sumber ekonomi yang bisa dikatakan mirip dengan Lebaran bagi pedagang,” tutur Isnandi.
Isnandi mengatakan, sebagai sebuah perhelatan besar, pasar malam Sekaten dipersiapkan sejak jauh-jauh hari sebelumnya oleh para pelaku usaha tersebut. Paling tidak pedagang sudah bersiap-siap sejak 2-3 bulan sebelum perayaan itu dihelat.
Selain itu, tidak sedikit pula yang sudah mengajukan pinjaman ke bank sebagai modal usaha untuk acara itu. Bagi pedagang pakaian misalnya, pinjaman yang diajukan bisa berkisar Rp 50 juta-Rp 100 juta. Menurut penghitungan Komunitas Pelaku Pasar Malam DIY, ada sedikitnya 700 pedagang yang berjualan di pasar malam tersebut. Adapun rata-rata perputaran uang yang terjadi bisa mencapai Rp 1 miliar per hari.
Baca juga:Sekaten Beri Ruang Luas Usaha Kecil
Seniman Djaduk Ferianto mengatakan, kabar ditiadakannya pasar malam dalam perayaan Sekaten cukup mengejutkan. Oleh karena itu, dia menyebut, harus ada penjelasan komprehensif mengenai alasan mendasar keputusan tersebut. Sebab, selama ini, perayaan Sekaten selalu diasosiasikan pula dengan ingar-bingar pasar malam yang menyertainya.
Djaduk mengakui, dari tahun ke tahun, pasar malam Sekaten itu mengalami pergeseran makna. Oleh karena itu, muncul kesan bahwa acara itu lebih menonjolkan aktivitas ekonomi dibanding unsur budaya.
Namun, Djaduk juga mengingatkan, pasar malam itu adalah ruang publik yang mempertemukan rakyat dan keraton. Di ruang tersebut, terjalin hubungan antara kedua belah pihak.
”Itu ruang publiknya rakyat. Di sana, rakyat bisa mempresentasikan kreativitasnya. Jika terjadi pergeseran makna, mungkin memang harus didesain ulang tanpa meninggalkan semangatnya. Bagaimana Sekaten juga menjadi ruang kegembiraan bagi rakyat,” kata Djaduk.
Peniadaan pasar malam dalam Sekaten juga menyisakan rasa kehilangan bagi para warga. Tiara Afriani (26), warga Ngampilan, Yogyakarta, mengatakan, pasar malam menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat untuk datang ke perayaan Sekaten. Keberadaan pasar malam itu juga dinilainya sudah amat lekat dengan perayaan tahunan tersebut. Apalagi, ada banyak jajanan khas yang pastinya akan dirindukan jika pasar malam itu sama sekali diputuskan tidak ada lagi.
”Pasar malam sudah telanjur melekat ke Sekaten. Karena, event seperti itu yang ada di Kota Yogyakarta sangat jarang,” kata Tiara.
Namun, Tiara menyadari, keberadaan pasar malam itu seolah menutup hajatan utama dari Keraton Yogyakarta, yakni Sekaten. Para pengunjung, termasuk dirinya, justru tenggelam dalam hiruk pikuk pasar malam, bukan Sekaten sebagai sebuah upacara.
”Orang-orang lebih banyak yang belanja daripada nonton gamelan. Lebih memilih jajan saja daripada tahu makna Sekaten itu sendiri apa. Mungkin, penyelenggara bisa lebih mengurasi isi pasar malam. Jadi, tetap memungkinkan nostalgia ketika berkunjung ke Sekaten, tetapi tidak mengalahkan acara utama perayaan,” ujarnya.
Baca juga:Sekaten 2010 Raih Pendapatan Rp 1,4 Miliar
Anggota DPRD Kota Yogyakarta, Krisnadi Setyawan, berharap ada dialog di antara pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan masalah penyelenggaraan pasar malam Sekaten. Dia menyebut, apabila ada hal yang kurang pas dalam pelaksanaan pasar malam Sekaten, hal itu bisa diperbaiki secara teknis.
Oleh karena itu, pasar malam tersebut bisa tetap digelar tanpa harus bertentangan dengan nilai-nilai Sekaten. ”Saya berharap Pemkot Yogyakarta bisa memfasilitasi dialog tentang hal ini,” kata Krisnadi yang berasal dari Partai Gerindra.
Celah dialog mesti tetap dibuka menyelesaikan perbedaan pandangan terkait Pasar Malam Sekaten di Yogyakarta. Tradisi dan nilai-nilai adat istiadat keraton memang mesti dirawat maknanya. Namun, jangan kesampingkan peran lain Sekaten yang telah melekat sebagai ruang publik dan ekonomi rakyat.