Dalam Amuk Badai
Arimbi terngiang percakapannya dengan Sugi beberapa waktu silam. ”Seperti apa kau memandang badai?” ”Seperti batas kemarahan yang ambrol.” ”Seperti apa batas kemarahan yang ambrol?” ”Seperti badai yang mengamuk.”
Kompas/Cahyo Heryunanto
Arimbi terngiang percakapannya dengan Sugi beberapa waktu silam.
”Seperti apa kau memandang badai?”
”Seperti batas kemarahan yang ambrol.”
”Seperti apa batas kemarahan yang ambrol?”
”Seperti badai yang mengamuk.”
Dari balik jendela berterali itu, di kejauhan, Arimbi melihat angin berpusing dan melambungkan atap-atap seng di pasar pelelangan ikan. Ia tersenyum penuh kesumat, sedang kedua matanya berair. Mulutnya seperti merapal mantra. Wahai sang badai, datanglah kemari, datanglah kemari....
Arimbi berharap angin berpusing itu mendekat, dan menggiring rumah gedong yang ia tinggali itu sampai ke laut. Membuatnya melayang di permukaan laut. Lalu dikremus badai beliung, ditapuk ombak yang bergulung, dan setiap puing dari rumah itu karam ke lambung laut. Menjadi makanan bagi sang laut. Tak bersisa. Termasuk segenap penghuninya. Termasuk Arimbi sendiri—yang tengah meringkuk di balik jendela berterali.
Ya. Sepertinya dosa-dosa yang melekat di rumah ini hanya bisa dibersihkan oleh badai. Hanya badai.
Arimbi lupa, kapan pertama kali membenci keluarganya sendiri, terutama bapaknya. Mungkin semenjak mengenal Sugi. Tapi mungkin tidak. Sebab, bapak Arimbi menjadi juragan di pelelangan ikan jauh sebelum ia mengenal Sugi. Dan hati kecil Arimbi tak pernah rela bapaknya menjadi juragan di pelelangan ikan. Sebab, sejak Arimbi bisa memikirkan sesuatu secara benar, ia bisa segera melihat betapa banyak dosa berseliweran di sepanjang pantai, di lepas laut, di pasar lelang ikan, hingga berujung ke halaman rumah gedongnya.
Arimbi melihat lalu lalang itu setiap waktu, para lelaki pesisir dengan wajah legam ditaburi asin laut, mengembara dengan perahu kayu dan sarung, kadang sampai berhari-hari meninggalkan sanak keluarga. Arimbi melihat, bahu-bahu telanjang menghitam itu memanggul ikan-ikan yang kadang nyaris busuk.
Arimbi melihat perempuan-perempuan tangguh itu berjajar di tepi pantai, sambil menggendong bayinya di satu sisi, lantas mengangkut sekeranjang ikan di sisi lain, kadang menyunggi di atas kepala. Semuanya terjadi di bawah matahari, diliputi udara panas dan bau amis. Sementara di seberang ruang yang lain, di balik ruangan berpendingin dan beraroma jeruk, bapaknya duduk menyeruput kopi sambil menghitung keuntungan.
Kadang Arimbi melihat bapaknya seperti seekor ikan raksasa tak bernama, dengan mulut menganga lebar sepanjang waktu, menelan ikan-ikan kecil sampai tak bersisa. Bapaknya punya banyak uang, sejarah itu turun-temurun dari kakeknya. Di masa silam, mereka membeli area kosong milik orang-orang, membuat pasar pelelangan ikan yang disewakan kepada orang-orang. Tak lupa membuat perahu-perahu yang jumlahnya puluhan, atau bahkan ratusan, lalu disewakan pula kepada orang-orang. Dengan harga sewa yang seolah murah.
Lalu bapak membiarkan orang-orang itu berlayar ke jantung laut, mengumpulkan ikan-ikan. Lalu menumpahkannya di pasar pelelangan. Lalu bapak membeli ikan-ikan itu dengan harga teramat murah. Lalu menjualnya ke tempat yang jauh dengan harga berlipat-lipat.
Semua orang tahu, begitulah lintang-pukang di pesisir ini, begitulah dosa-dosa itu bekerja. Dan tak seorang pun berniat ujuk bicara, menyumpal mulut ikan raksasa tak bernama itu sampai rapat. Tak ada yang kuasa. Arimbi pernah mencobanya, mengingatkan bapaknya perihal keringat-keringat para nelayan yang tak dibayar secara adil itu. Dan bapak Arimbi menjadi muntab.
”Tahu apa kau bocah kencur! Sudahlah, jangan mencoba menceramahi orang tua. Kau pikir dari mana beras yang kau makan selama ini, sampai kau tumbuh besar dan jadi gadis tak tahu diuntung seperti ini. Coba kau tengok tubuh bongsormu itu. Kau pikir dari mana kau bisa pergi kuliah, beli buku-buku mahal. Dari mana pakaian-pakaian yang kau pakai itu, dari mana kalung gelang yang menghiasi tubuhmu itu, dari mana kau bisa beli bedak dan jadi cantik seperti itu? Semua dari kerja keras bapakmu ini. Lalu kau berbicara soal keadilan? Sudah bagus bapakmu ini membuat lapangan pekerjaan buat mereka. Dari tahun ke tahun, tak ada yang mempersoalkan. Sebab apa? Sebab mereka tahu diri, mereka tahu terima kasih.”
”Sudah. Kalau kau belum bisa cari uang sendiri, tidak usah menceramahi orang tua. Kalau masih merasa pingin jadi malaikat, jangan lagi makan makanan yang ada di rumah ini, lepas juga semua yang kau pakai itu. Itu semua hasil dari jualan ikan. Yang kau makan, yang kau pakai, semua itu hasil dari jualan ikan. Ada banyak keringat nelayan yang menempel di makanan yang kau makan setiap hari itu. Ada banyak daki nelayan yang melekat di benda-benda yang kau kenakan itu. Dasar bocah geblek, tak tahu diuntung.”
Setelah perang mulut dengan bapaknya, Arimbi menangis semalam suntuk. Ia tahu bapaknya tak pernah semarah itu. Dan ia juga tahu, dirinya tak pernah semarah itu. Semua omongan bapaknya melekat erat dalam kepala Arimbi. Bagai terus diulang-ulang. Hingga ia benar-benar melepas setiap perhiasan yang menempel di tubuhnya. Dan sejak itu, ia berjanji, tak akan makan makanan yang ada di rumah itu, tak akan lagi memakai pakaian yang dibeli dari duit bapaknya.
Ibu Arimbi sangat mencemaskan itu. Berkali-kali ia mendekati Arimbi, memintanya berdamai, dan meminta maaf kepada bapaknya. Tapi Arimbi sudah kadung marah. Arimbi sangat menghormati dan menyayangi bapaknya, tapi di sisi lain, ia sangat mengutuk ikan raksasa tak bernama dengan mulut menganga yang menguasai diri bapaknya.
Ibu Arimbi tak bisa berbuat banyak. Nyatanya, sudah sejak lama ibu Arimbi mendukung ikan raksasa tak bernama di tubuh bapaknya itu untuk terus berenang, dengan mulut menganga dan terus menelan ikan-ikan kecil. Ibu Arimbi juga tak henti-henti membujuk bapak agar tak terlalu serius dengan ucapan Arimbi. Dan bapak Arimbi tak peduli. Ia cuma bergumam santai, ”Kita lihat saja, sampai mana anak gadismu yang keras kepala itu bakal bertahan.”
Semenjak perang dingin dengan bapaknya berlangsung, Arimbi kerap menghabiskan waktu luang di luar rumah. Berkumpul dengan kawan sebaya. Ia mencoba memenuhi kebutuhannya sendiri dengan caranya sendiri. Sebab, kata-kata bapaknya yang terus mengiang itu berubah bunyi di kuping Arimbi, menjadi kata-kata pengusiran secara lembut. Dan itu sangat menyakiti hati Arimbi.
Hingga kemudian, Arimbi mengenal Sugi, lelaki tiga puluh tahun, si pembangkang yang lembut hati. Sugi pergi ke laut dengan perahu sendiri, membawa sekawanan pemuda yang ia gaji sendiri dengan layak. Lalu Sugi menjual ikan itu sendiri, di pasar lelang ikan kecil-kecilan yang ia gelar di pinggir jalan.
Beberapa pikap langganan bapak Arimbi mulai tak kembali, sebab berhenti di pasar lelang ikan di tepi jalan itu. Melihat titik terang itu, Arimbi bergegas ke pasar lelang ikan di pinggir jalan itu. Dan di sanalah pertama kali ia mengenal Sugi. Lelaki berkulit legam, tapi berwajah lembut.
Sepanjang tinggal di pesisir itu, Arimbi tak pernah melihat cahaya seterang cahaya yang menyorong dari mata Sugi. Arimbi menyebutnya harapan. Arimbi mulai sering menghabiskan waktu bersama Sugi dan kawan-kawannya, turut mengambil bagian pada bisnis kecil yang dirancang Sugi, hingga tanpa sadar, tak butuh waktu lama, hati Arimbi terpaut pada lelaki itu.
Lambat laun, bapak Arimbi menyadari kejanggalan itu. Penjualan ikan yang tersendat, beberapa nelayan yang menghilang, berkeranjang-keranjang ikan mulai membusuk sebab beberapa pikap tak lagi datang....
Dan bapak Arimbi menelusuri itu dengan cepat. Biang kerok dari semua kerugian itu adalah Sugi, yang tak lain juga merupakan pacar anak gadisnya. Bapak Arimbi begitu marah dengan persekongkolan itu, hingga ia menyangka bahwa Sugilah yang sudah meracuni pikiran anak gadisnya. Bapak Arimbi bersumpah akan membuat lelaki itu menyesal atas semua tindakannya.
Jelang petang itu, ketika Arimbi dan Sugi bercakap ringan perihal badai, bapak Arimbi turun dari mobil pikap tepat di pinggir jalan di mana biasanya Sugi dan kawan-kawannya nongkrong menggelar dagangan. Tanpa banyak omong, bapak Arimbi menyeret Arimbi ke dalam pikap, lalu membawa Arimbi pulang. Melempar Arimbi ke kamar, dan menguncinya dari luar. Arimbi dipingit dalam rumah sendiri. Seperti kucing piaraan dalam kandang. Makan dan minum diantar, tapi kudu bersikap manis.
Berkali-kali Arimbi berpikir soal melarikan diri. Tapi ruangan itu terlalu sempurna sebagai sebuah penjara. Dalam arti sesungguhnya. Sebenarnya jendela kamar Arimbi terbuka, tapi dipagari terali. Dan tenaga Arimbi tak cukup kuat untuk menjebol terali terkutuk itu.
Mendekam berhari-hari dalam terali membuat Arimbi nyaris putus asa. Satu-satunya orang yang ia pikirkan dan ia harapkan kedatangannya hanyalah Sugi. Namun, setelah lewat hitungan pekan, Sugi tak juga datang. Melainkan sebuah kabar, bahwa perahu yang dibawa Sugi dan kawan-kawannya berlayar tak pernah kembali ke lepas pantai. Beberapa selentingan membeberkan bahwa perahu Sugi karam diraup badai di tengah laut.
Arimbi tak pernah yakin dengan kabar badai itu. Namun, Arimbi hampir yakin bahwa perahu Sugi dan segenap awaknya lenyap ditelan ikan raksasa tak bernama. Ikan yang begitu rakus dan tak pernah kenyang menelan apa saja. Arimbi mengerti betul seperti apa tabiat ikan raksasa tak bernama itu. Dan satu-satunya harapan Arimbi adalah badai. Ia terus berdoa, ia terus berharap, agar badai beliung di luar sana datang menghampiri rumahnya. Itu sebabnya, Arimbi membuka jendela lebar-lebar. Ia mengundang badai itu datang.
Arimbi berpikir bahwa semua yang ada di rumah ini, semua yang melekat pada diri penghuni rumah ini, adalah utang. Utang atas keringat-keringat para nelayan, utang atas kecurangan-kecurangan yang menjalar selama bertahun-tahun. Utang yang tak terhitung banyaknya. Dan hanya badai yang sanggup melunasi semuanya. Hanya badai.
Ibu Arimbi memekik dan membuka lebar-lebar pintu kamar Arimbi yang beberapa waktu terakhir tak pernah dibuka. ”Ayo kita pergi, Arimbi, ayo kita pergi! Di pasar lelang ada badai mengamuk, dan sepertinya angin mulai beranjak kemari. Ayo kita pergi!”
Tapi Arimbi tak berkutik. Ia melihat badai di kejauhan bagai melihat sosok Sugi yang marah, sosok Sugi yang berjalan mendekat. Bapak Arimbi datang dan berusaha menyeret Arimbi. Tapi tangan Arimbi bagai menempel di terali. Tak hendak lepas.
Dari balik jendela itu, bapak dan ibu Arimbi turut melihat bagaimana angin di kejauhan terus berpusing meloloskan pohon-pohon ketapang tanggung yang baru saja ditanam.
”Bocah edan, mau cari mati!” umpat bapak Arimbi sambil terus berusaha menyeret anak gadisnya pergi.
”Seperti apa kau memandang badai?” balas Arimbi seperti menggumam.
Sayup-sayup di antara gemerisik angin, Arimbi seperti mendengar suara Sugi.
”Seperti batas kemarahan yang ambrol.”
”Seperti apa batas kemarahan yang ambrol?”
Seperti ini. Dan mata badai itu menatap lebih cepat dari yang disadari siapa pun. Wajah-wajah nelayan bertubuh legam itu berkelebat dalam kepala Arimbi. Tubuh ikan-ikan yang menggelepar dalam keranjang berlesatan dalam benak Arimbi. Dalam amuk badai itu, Arimbi seperti melihat sosok Sugi menghampirinya. Dengan sepasang mata terang menyala. Lalu mendekap tubuhnya. Erat sekali. Sampai segalanya menjadi sunyi.
________________________
Mashdar Zainal, lahir di Madiun, 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Tulisannya tepercik di berbagai media. Buku terbarunya, Sawitri dan Tujuh Pohon Kelahiran, 2018. Kini bermukim di Malang.