Agar Kita Tidak Digantikan Mesin
Era otomasi tidak hanya menuntut penguasaan teknologi, tetapi juga kemampuan sosial, emosional, dan kognitif. Meninjau ulang model pendidikan diperlukan untuk mempersiapkan pemuda menghadapi era baru ini.
Era otomasi tidak hanya menuntut penguasaan teknologi, tetapi juga kemampuan sosial, emosional, dan kognitif. Meninjau ulang model pendidikan diperlukan untuk mempersiapkan pemuda menghadapi era baru ini.
Robot telah datang dan jutaan lapangan kerja dipastikan akan diambil alih mereka, sekalipun demikian peluang baru juga terbuka lebar. Untuk beradaptasi pada era otomasi ini, para pekerja di Indonesia dituntut meningkatkan diri dan memiliki keahlian spesifik yang tak bisa dilakukan mesin pintar.
Kini, hampir tak ada pekerjaan yang tak tak bisa dilakukan mesin, mulai dari mengepel lantai, membedah pasien di rumah sakit, hingga menemani orang-orang lanjut usia yang kesepian. Bahkan, pekerjaan menulis berita pun bisa digantikan robot.
Kantor berita Associated Press telah menggunakan mesin untuk meliput 10.000 pertandingan liga bisbol di Amerika setiap tahun, selain untuk menghasilkan cerita tentang pendapatan perusahaan. Contoh lain, sistem algoritma bernama Quakebot bisa menerbitkan cerita tentang gempa bumi Kalifornia tahun 2014 di laman Los Angeles Times dalam waktu tiga menit setelah guncangan itu berhenti.
Kehadiran Sophie, robot canggih buatan Hanson Robotic dalam Dialog Global Centre for Strategic and International Studies (CSIS), di Jakarta, Senin (16/9/2019), mengukuhkan kedigdayaan mesin. Robot ini diciptakan untuk meniru perilaku sosial manusia, termasuk emosinya. Memiliki 60 ekspresi wajah, Sophie dapat berinteraksi dan mengikuti percakapan sederhana.
Alarm tentang datangnya era otomasi ini telah disampaikan Carl Benedikt Frey dan Michael A Osborne dari Universitas Oxford pada 2013, yang dalam papernya memperkirakan, 47 persen pekerjaan di Amerika Serikat dapat digantikan oleh komputer dan kecerdasan buatan (artificial inteligent/AI). Mesin yang dilengkapi AI dianggap bukan hanya lebih efisien, tetapi juga tidak gampang bosan dan tidak akan menolak sekalipun dibebani pekerjaan berulang dan berisiko.
Kajian McKinsey Global Institute pada 2017 menunjukkan, sekitar 50 persen aktivitas manusia dalam pekerjaan global dengan nilai ekonomi hampir 15 triliun dollar AS bisa digantikan mesin. Bagi sejumlah perusahaan, penggantian orang dengan mesin ini akan meningkatkan performa mereka.
Kajian McKinsey Global Institute pada 2017 menunjukkan, sekitar 50 persen aktivitas manusia dalam pekerjaan global dengan nilai ekonomi hampir 15 triliun dollar AS bisa digantikan mesin.
Misalnya, perusahaan marketing akan meningkat performanya hingga 90 persen dengan mengganti 10 persen karyawannya dengan mesin. Sementara perusahaan otomotif akan meningkat performanya hingga 84 persen dengan mengotomasi 14 persen pekerjaan.
Tak hanya melanda negara maju, otomasi juga menderas di negara berkembang, termasuk Indonesia. Riset dari McKinsey Global Intsitute yang dirilis di Jakarta pada Rabu (25/9) menyebutkan, otomasi akan mengubah struktur ekonomi dan tenaga kerja di Indonesia.
”Pada prinsipnya hampir semua aktivitas bisa tergantikan otomasi, bahkan sebagian tugas CEO juga bisa diotomasi. Namun, beberapa jenis aktivitas lebih rentan, lainnya lebih sulit tergusur,” kata Phillia Wibowo, Presiden Direktur PT McKinsey Indonesia.
Dengan menganalisis sekitar 2.000 aktivitas dari 800 jenis pekerjaan di Indonesia, sekitar 16 persen aktivitas pekerjaan di Indonesia bakal diotomasi pada 2030. Jumlah ini setara dengan 23 juta pekerja yang bakal kehilangan pekerjaan.
Sekitar 16 persen aktivitas pekerjaan di Indonesia bakal diotomasi pada 2030. Jumlah ini setara dengan 23 juta pekerja yang bakal kehilangan pekerjaan.
Jenis pekerjaan paling rentan tergusur robot di antaranya yang mengandalkan aktivitas fisik berulang, berisiko tinggi, serta pengumpulan dan pemrosesan data. Sementara pekerjaan yang paling sulit diotomasi di antaranya manajerial, yang membutuhkan keahlian spesifik, dan interaksi dengan para pihak.
Peluang dan tantangan
Riset McKinsey Global Insitute menunjukkan, era otomasi juga membuka peluang pekerjaan baru. Hingga tahun 2030, di Indonesia diperkirakan bakal ada 27 juta pekerjaan baru, 9 juta pekerjaan tambahan lagi jika ada peningkatan di bidang infrastruktur dan konstruksi real estate, dan 10 juta jenis pekerjaan yang belum pernah ada sebelumnya.
”Secara keseluruhan Indonesia bisa mendapat keuntungan bersih antara 4 juta hingga 23 juta pekerjaan pada 2030,” kata Philia.
Peluang ini karena di Indonesia merupakan negara yang masih bertumbuh. Kebutuhan tenaga kerja di sektor konstruksi dan manufaktur akan terus meningkat, seperti halnya sektor akomodasi dan makanan, pendidikan, kesehatan, serta perdagangan ritel dan grosir.
”Di beberapa negara maju justru akan mengalami minus peluang kerjanya akibat otomasi,” katanya.
Laporan ini juga menyebutkan, Indonesia mendapatkan keuntungan karena sukses memanfaatkan revolusi digital. Misalnya, perusahaan-perusahaan seperti Gojek dan Grab terus bertumbuh dan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Pemasaran daring juga merupakan salah satu contoh bagaimana teknologi baru dapat menciptakan lapangan kerja di Indonesia. Pada 2022 diperkirakan pemasaran daring dapat secara langsung ataupun tidak langsung mendukung hingga 26 juta pekerjaan yang setara dengan pekerjaan purnawaktu.
Namun, lapangan pekerjaan baru ke depan, sangat mungkin berbeda dengan sekarang. Apa yang sekarang dipelajari anak-anak di sekolah, bisa jadi tidak akan mendukung mereka untuk mencari pekerjaan pada masa depan.
Apa yang sekarang dipelajari anak-anak di sekolah, bisa jadi tidak akan mendukung mereka untuk mencari pekerjaan pada masa depan.
Oleh karena itu, kita wajib meninjau ulang model pendidikan saat ini untuk mempersiapkan mereka menghadapi zaman baru. ”Tantangan terbesarnya memang transisi untuk mempersiapkan tenaga kerja kita agar bisa beradaptasi dengan perubahan ke depan,” kata Phillia.
Dari tingkat pendidikan, masyarakat dengan tingkat pendidikan menengah akan menghadapi perubahan terbesar dalam dunia pekerjaan. Peluang terbesar akan diraih oleh mereka yang memiliki pendidikan tinggi atau pendidikan lanjut dengan penguasaan teknologi lebih baik.
Sekalipun demikian, menurut Vivek Lath, Associate Partner McKinsey&Company, era otomasi tidak hanya menuntut penguasaan teknologi, tetapi juga kemampuan sosial, emosional, dan kognitif. Misalnya, kreativitas dan kemampuan pemecahan masalah yang kompleks.
”Selain itu, yang paling penting juga dibutuhkan meta skill yang menyangkut sikap mental dan pola pikir. Banyak situasi yang tidak terbayangkan sebelumnya, mereka yang sukses yang memiliki kemauan untuk terus belajar dan beradaptasi terhadap ketidakpastian serta perubahan,” kata Vivek Lath.
Oleh karena itu, menurut Vivek Lath, semua pemangku kepentingan, termasuk pembuat kebijakan, institusi akademik, lembaga swadaya masyarakat, dan pelaku bisnis, harus melakukan persiapan. Indonesia harus proaktif menerapkan AI dan otomasi agar mampu bersaing di pasar global dan ASEAN.
Indonesia harus proaktif menerapkan AI dan otomasi agar mampu bersaing di pasar global dan ASEAN.
Sejak sekarang, tambah Vivek Lath, setiap perusahaan harus mulai mempersiapkan rencana dan transisi ke masa depan melalui program pemelajaran jangka panjang, baik bagi orang-orang yang segera terdampak maupun mereka yang baru akan terdampak pada masa depan.
”Pemerintah juga perlu memikirkan untuk memberikan insentif kepada perusahaan untuk mendidik kembali karyawannya agar siap menghadapi perubahan,” ujarnya.
Dalam sistem ekonomi yang terobsesi dengan efisiensi dan produktivitas, bisa dipastikan bahwa perkembangan otomasi ke depan tidak akan terbendung lagi. Oleh karena itu, daripada hanya merutuki tentang akhir pekerjaan manusia, kita harus mengoptimalkan potensi kemanusiaan dan daya kreatif agar tetap bisa berperan dalam tatanan ekonomi sosial baru.