Investor dengan rentang usia 19-39 tahun mendominasi pasar surat utang ritel di Indonesia. Sejumlah kemudahan menumbuhkan minat berinvestasi generasi ini. Ada sejumlah alasan generasi ini memilih SBN ritel.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Porsi investor milenial mencapai 50-55 persen dalam setiap penerbitan surat berharga negara ritel sepanjang 2019. Ada sejumlah alasan generasi ini memilih SBN ritel, antara lain proses pembeliannya lebih mudah dan cepat, seluruh proses transaksi dilakukan secara daring melalui aplikasi, serta nilai minimum terjangkau.
Nilai minimum investasi SBN ritel sebesar Rp 1 juta dinilai terjangkau dan memberikan kesempatan bagi mereka yang baru memulai karier, belum mapan, dan dalam tahap coba-coba investasi. Selain itu, risiko gagal bayar dinilai kecil karena dijamin negara.
Tahun ini, pemerintah menerbitkan SBN ritel 10 kali, terdiri dari saving bond ritel (SBR), sukuk tabungan (ST), sukuk ritel (sukri), dan obligasi ritel Indonesia (ORI), dengan total target Rp 60 triliun-Rp 80 triliun. Sejumlah investor muda menyampaikan pendapat soal instrumen itu, sepekan lalu.
Pamitra Wineka (32), Co-Founder dan President TaniHub, mulai berinvestasi SBN ritel sejak berkuliah tahun 2006. Ia memilih instrumen ORI karena lebih likuid dibandingkan dengan properti atau emas. ORI dapat diperdagangkan di pasar sekunder dengan tingkat kupon relatif tinggi. Pamitra menggunakan ORI untuk modal merintis usaha.
”ORI bisa dijaminkan, pengalaman saya waktu merintis awal TaniHub butuh pengajuan pinjaman ke bank dengan jaminan ORI appraisal cepat karena nilai pasar jelas dan likuiditas terjamin,” ujar Pamitra.
SBN ritel juga banyak dilirik investor pemula, seperti Galih Gumelar (28), karyawan swasta. Karena masih tahap coba-coba berinvestasi, Ia memilih SBN ritel seri SBR005 dengan pertimbangan risiko lebih rendah, tenor jatuh tempo pendek, dan tingkat kupon relatif tinggi. Galih mengalokasikan 30 persen dari penghasilan bulanannya untuk menabung dan berinvestasi.
Uji Medianti (25), karyawan swasta di Jakarta, tertarik berinvestasi SBN ritel karena prosesnya mudah dan cepat. Ia hanya membutuhkan waktu kurang dari 5 menit untuk transaksi pemesanan SBN ritel melalui aplikasi mitra distribusi. Adapun proses verifikasi pembelian dua-tiga hari. Di tengah mobilitas kerja yang tinggi, transaksi daring memudahkan milenial untuk berinvestasi.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dikutip Minggu (5/10/2019), ada 170.000 investor ritel yang tercatat memiliki single investor identification (SiD) sejak 2018. Adapun porsi jumlah investor milenial pada SBN ritel yang diterbitkan sepanjang 2019 mencapai 50-55 persen. Jumlah mereka mengalahkan kelompok investor dari generasi X yang berusia 40-54 tahun dan generasi baby boomers dengan usia 55-73 tahun.
Jumlah investor milenial terus tumbuh sepanjang 2018-2019. Sebagai contoh, dalam instrumen SBR, rata-rata jumlah investor milenial meningkat dari 42,22 persen dalam setiap penerbitan SBR tahun 2018 menjadi 51,24 persen tahun 2019. Dalam penerbitan SBR008, jumlah investor milenial mencapai 5.309 dari total 10.219 investor.
Direktur Surat Utang Negara Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Loto Srinaita Ginting menuturkan, volume pemesanan mayoritas investor milenial berkisar Rp 1 juta-Rp 5 juta atau di bawah Rp 100 juta. Ditilik dari profesinya, sebagian besar investor adalah pegawai swasta (13 persen), wiraswasta (6,8 persen), dan ibu rumah tangga (3,3 persen).
Pendalaman pasar
Analis riset PT Capital Asset Management, Desmon Silitonga, Minggu, berpendapat, respons pasar terhadap penerbitan SBN ritel sepanjang 2019 cukup baik. Hal itu tecermin pada volume pemesanan seluruh SBN ritel yang selalu di atas Rp 1 triliun. SBN ritel juga terbilang sukses membidik generasi milenial kendati volume pemesanan masih relatif rendah dibandingkan dengan generasi yang lebih tua.
”Peningkatan investor milenial jadi salah satu cara untuk memperdalam pasar keuangan dan meningkatkan literasi investasi,” kata Desmon.
Mengutip data Kementerian Keuangan, realisasi penerbitan SBN ritel per September 2019 mencapai Rp 40,22 triliun. Adapun target penerbitan SBN ritel hingga akhir tahun berkisar Rp 60 triliun-Rp 80 triliun. Dari 8 seri SBN ritel yang sudah diterbitkan, peminat tertinggi adalah sukuk ritel/SR011 dengan volume pemesanan Rp 21,1 triliun, SBR005 Rp 4 triliun, dan sukuk tabungan/ST003 Rp 3,1 triliun.
Desmon berpendapat, SBN ritel tetap menarik di tengah tren penurunan suku bunga. Hal itu karena target yang dibidik SBN ritel adalah generasi milenial yang identik dengan konsumsi untuk investasi. Dibandingkan dengan instrumen sejenis, seperti deposito, investor milenial cenderung memilih SBN ritel karena lebih menguntungkan dari tingkat kupon, tarif pajak, keamanan, dan kemudahan pembelian secara online.
”Di sisi lain, kampanye tentang SBN ritel juga jadi daya tarik generasi milenial karena dana yang diinvestasikan untuk pembangunan negeri,” ujar Desmon.
Maski demikian, pemerintah tetap harus berhati-hati dalam menerbitkan SBN ritel agar tidak terjadi perebutan likuiditas dengan perbankan atau crowding out effect. Tujuan utama penerbitan SBN ritel untuk meningkatkan literasi masyarakat dalam berinvestasi. Sedangkan sumber pembiayaan defisit APBN dari penerbitan SBN institusi atau pinjaman.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, pemerintah memasarkan SBN ritel dengan cara-cara yang sesuai dengan karakter milenial mulai tahun 2018. Tujuannya memperluas basis investor domestik untuk memperdalam pasar keuangan yang masih dangkal.
Saat ini porsi kepemilikan asing dalam surat utang pemerintah berdenominasi rupiah sekitar 39 persen. ”Kita bicara bukan jangka pendek. Penerbitan SBN ritel ibarat investasi negara untuk memupuk kebiasaan berinvestasi di generasi muda,” kata Luky.
Menurut Luky, Investor milenial akan menjadi tulang punggung pasar modal dan pasar keuangan Indonesia karena jumlah mereka akan mendominasi pada masa depan. Untuk itu, fokus pemerintah bukan meningkatkan nominal investasi generasi milenial dalam SBN ritel, melainkan membentuk kebiasaan dalam berinvestasi.
Selain menurunkan investasi minimal per akun, pemerintah juga akan menambah kanal-kanal pemesanan dan pembelian SBN ritel berbasis daring untuk menjaring investor milenial. Salah satunya dengan merevisi PMK Nomor 31 Tahun 2018 terkait ketentuan dan persyaratan mitra distribusi. Saat ini ada 23 mitra distribusi yang terdiri dari perbankan, perusahaan efek, perusahaan efek khusus, dan perusahaan teknologi finansial.
”Kalau ada lebih banyak mitra distribusi akan lebih baik. Selama ini kanal tradisional masih bank yang paling banyak. Ke depan pemerintah akan jajaki dengan platform lain agar SBN ritel makin menarik,” kata Luky.