Tata Kelola Peternakan Dikuasai Pemodal Besar, Kedaulatan Pangan Terhambat
›
Tata Kelola Peternakan...
Iklan
Tata Kelola Peternakan Dikuasai Pemodal Besar, Kedaulatan Pangan Terhambat
Tata kelola usaha penghasil sumber pangan, khususnya peternakan, dikuasai swasta bermodal besar. Kondisi itu dinilai bisa mengancam kedaulatan pangan Indonesia jika pemerintah tidak lekas membenahinya.
Oleh
erika kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tata kelola usaha penghasil sumber pangan, khususnya peternakan, dikuasai swasta bermodal besar. Kondisi itu dinilai bisa mengancam kedaulatan pangan Indonesia jika pemerintah tidak lekas membenahi regulasi dan sinergi terkait pengelolaan industri tersebut.
Direktur Utama PT Berdikari Eko Taufik Wibowo mengatakan, pemodal besar yang menguasai mata rantai industri membuat biaya produksi usaha peternakan terus meningkat. Sayangnya, kondisi itu tidak diikuti dengan meningkatnya daya beli konsumen.
”Mata rantai produksi masih dikuasai pemain bermodal besar karena margin (laba) industri ini sangat tebal. Banyak celah agar investor bisa menguasai mata rantai produksi. Meski daya beli konsumen stabil, mereka tidak kesulitan menyerap dan mengatur harga,” kata Eko dalam forum diskusi IDX Channel bertajuk ”Ketahanan Pangan Indonesia”, di Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Mata rantai produksi masih dikuasai pemain bermodal besar karena margin (laba) industri ini sangat tebal. Banyak celah agar investor bisa menguasai mata rantai produksi.
Eko mencontohkan, di sektor peternakan ayam, pemodal besar yang disebut integrator banyak memengaruhi harga komponen terbesar dalam produksi. Komponen terbesar itu adalah bahan pakan, seperti jagung impor (73,6 persen dari kebutuhan produksi) dan bibit ayam atau DOC (21,7 persen).
Pemodal besar juga banyak memasukkan produksi ayamnya ke pasar yang harusnya dikuasai peternak rakyat. Produk ayam integrator yang masuk pasar tradisional, menurut catatan Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar), mencapai 70 persen dibandingkan dengan jumlah produk peternak rakyat.
”Di pasar modern, produk integrator jauh lebih banyak, yakni 95 persen,” ujarnya.
Hal yang sama, lanjut Eko, juga terjadi pada produksi sapi nasional. Tingkat konsumsi dan produksi cenderung stagnan di angka 2,46 kilogram per kapita per tahun sejak 2017.
Hal itu disebabkan harga daging sapi yang tinggi karena panjangnya rantai distribusi. Dengan demikian, impor sapi dan produk turunannya masih dibutuhkan untuk menjaga ketersediaan dan harga daging sapi tetap terjangkau.
Menurut data United Nations Comtrade, volume impor daging sapi Indonesia pada 2017 sebesar 115.800 ton. Pada 2018, volumenya meningkat 38,8 persen menjadi 160.700 ton. Adapun nilai impor daging sapi pada 2017 yang mencapai 466,8 juta dollar AS meningkat 28,7 persen menjadi 600,8 juta dollar AS di 2018.
Untuk itu, Eko berharap, dalam jangka pendek, pemerintah perlu menjaga pasokan pangan untuk pakan ternak dan regulasi yang mendukung swasembada.
”Saya kira sudah cukup bagi pemodal investor menguasai mata rantai industri ini secara keseluruhan agar produksi peternakan jadi tertata lebih baik,” ujarnya.
Pada kesempatan sama, ekonom Faisal Basri mengatakan, ketergantungan Indonesia pada produk investor asing membuat perdagangan pangan Indonesia terus mencatatkan defisit tajam. Pada tahun 2017, defisit perdagangan pangan hanya 1,9 miliar dollar AS. Namun, pada 2018, defisit anjlok hingga 3,3 miliar dollar AS.
Mengutip data International Trade Center, Faisal mengatakan, perdagangan hewan ternak masih defisit. Pada 2018, defisit tercatat 550 juta dollar AS karena tingginya impor.
”Kalau lihat secara proporsional, pangan itu ada pada kedaulatan. Yang penting rakyat dapat akses kelola usaha dan pangan. Petani dan peternak buat apa produksi kalau tidak terserap,” ujarnya.
Kalau lihat secara proporsional, pangan itu ada pada kedaulatan. Yang penting rakyat dapat akses kelola usaha dan pangan. Petani dan peternak buat apa produksi kalau tidak terserap.
Faisal juga berharap presiden berperan sebagai dewan pangan agar rakyat tidak dikontrol pemasok pangan. Kementerian juga diharapkan patuh pada presiden dan saling bersinergi untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan memastikan tata kelola yang baik.
”Sinergitas dibutuhkan di tengah hantaman perekonomian yang besar, sementara daya saing kita masih terbatas,” kata Faisal.
Data Global Food Safety Initiative (GFSI) menunjukkan, Indonesia berada di peringkat ke-65 dengan skor 54,8 dari 113 negara di bidang ketahanan pangan. Peringkat Indonesia untuk aspek kualitas dan keamanan pangan, serta sumber daya alam juga masih rendah, masing-masing peringkat ke-84 dan ke-111.
Pada 2016, ketahanan pangan Indonesia menempati posisi ke-71 dengan skor 51,1. Adapun pada 2017 peringkat Indonesia naik menjadi peringkat ke-69 dengan skor 51,3.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Gatut Sumbogodjati mengatakan, Pemerintah Indonesia tengah mengarahkan pembangunan ekonomi, tidak hanya pada ketahanan, tetapi juga kedaulatan pangan.
”Pembangunan kita mengarah ke kedaulatan dengan ketahanan. Kami, sebagai perwakilan pemerintah, telah berupaya meningkatkan itu dengan meluncurkan asuransi pertanian dan sebagainya,” ujarnya.
Tidak hanya itu, ia juga menyatakan, saat ini pemerintah banyak merombak regulasi untuk menyederhanakan aturan. Hal itu guna mempermudah usaha pertanian atau peternakan yang tumpang tindih.
”Kami di Kementan telah menyederhanakan 545 peraturan Menteri Pertanian menjadi kurang dari 100 peraturan. Saat ini investasi yang tadinya harus lewat perizinan berbagai pihak, disederhanakan dengan OSS (online single submission/perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik),” ujarnya.