16 Hari Diguncang Gempa, Sekolah di Ambon Diliburkan
›
16 Hari Diguncang Gempa,...
Iklan
16 Hari Diguncang Gempa, Sekolah di Ambon Diliburkan
Gempa tektonik yang mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya selama 16 hari terakhir belum juga reda. Demi alasan keselamatan, kegiatan belajar-mengajar semua sekolah di kota itu diliburkan selama 10 hari.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Gempa tektonik yang mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya selama 16 hari terakhir belum juga reda. Hingga Jumat (11/10/2019) pukul 10.00 WIT, total kejadian gempa tercatat 1.363 kali dengan jumlah yang dirasakan 157 kali. Demi alasan keselamatan, kegiatan belajar-mengajar semua sekolah di kota itu diliburkan selama 10 hari terhitung sejak Jumat ini.
Kegiatan belajar-mengajar di Ambon mulai terganggu sejak gempa pertama bermagnitudo 6,5 yang terjadi pada Kamis (26/9/2019) pukul 08.46 waktu setempat. Hari-hari selanjutnya, gempa susulan terus terjadi. Setiap kali terjadi gempa, siswa dan guru berhamburan keluar. Orangtua panik dan datang menjemput anak mereka di sekolah.
Kondisi masih sangat mengkhawatirkan. Pemkot Ambon dan Pemprov Maluku memutuskan untuk libur dan kembali masuk pada 21 Oktober.
Kepanikan terlihat kembali pada Kamis (10/10/2019). Gempa susulan yang berpusat di daratan Pulau Ambon bermagnitudo 4,5 itu sangat terasa guncangannya. Getarannya mencapai skala V MMI. Warga kota itu panik. Anak-anak sekolah berlari keluar ruangan. Jalanan macet oleh kendaraan yang bergerak menuju daerah tinggi. Warga khawatir terjadi tsunami.
”Kondisi masih sangat mengkhawatirkan. Pemkot Ambon dan Pemprov Maluku memutuskan untuk libur dan kembali masuk pada 21 Oktober. Tentu nanti akan dilihat perkembangan kegempaan seperti apa. Gempa yang tidak bisa diprediksi membuat kondisi ini semakin tidak menentu,” kata Wakil Wali Kota Ambon Syarif Hadler.
Ia mengatakan, jika gempa susulan masih terus terjadi, pemerintah akan mencari solusi terbaik agar kegiatan belajar tetap berlangsung dan tidak membahayakan. Salah satunya adalah kegiatan belajar dilakukan di luar gedung. Sejumlah gedung sekolah dilaporkan mengalami keretakan dan berpotensi roboh jika terus diguncang gempa.
Warga semakin panik dengan beredarnya kabar bohong atau hoaks yang menyebutkan bahwa Ambon dan sekitarnya akan dilanda gempa besar dan tsunami. Klarifikasi yang dilakukan lewat media arus utama, media sosial, dan imbauan tampaknya tidak mempan menangkal kabar bohong itu. ”Dulu Ambon pernah kena gempa besar dan tsunami. Ini yang buat kami sangat takut,” kata Crist Sitanala, warga.
Seperti yang diwartakan sebelumnya, catatan Georg Evehard Rumphius dalam De Levensbeschrijving van Rumphius yang dialihbahasakan oleh Frans Rijoly, gempa besar diikuti tsunami pernah terjadi di Ambon pada 17 Februari 1674 atau sekitar 345 tahun lalu. Naturalis Jerman itu mencatat lebih kurang 2.300 orang meninggal, termasuk istri dan anak Rumphius.
Pusat kota Ambon sangat padat. Kawasan itu berada di pesisir sepanjang 6 kilometer dengan lebar dari pantai ke kaki bukit kurang dari 1 kilometer. Dalam luasan itu, terdapat permukiman penduduk, kantor pemerintahan, sekolah, pusat perbelanjaan, bank, kantor media massa, markas TNI/Polri, dan pasar tradisional. Pada saat jam sibuk, pukul 08.00-pukul 17.00, lebih kurang 200.000 jiwa berada di sana.
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin mengatakan, Sesar Kairatu yang memicu gempa itu belum stabil. Grafik kejadian gempa dua hari terakhir cenderung naik. Hingga Jumat (11/10) pukul 10.00 WIT, total kejadian gempa 1.363 kali dengan jumlah yang dirasakan 157 kali. Getaran di Ambon terasa hingga skala V MMI.
Selain Kota Ambon, gempa yang terjadi pada 26 September 2019 itu juga mengguncang Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Korban jiwa yang meninggal 40 orang, korban luka ringan 1.548 orang, luka berat 30 orang, dan pengungsi 170.900 orang. Adapun rumah penduduk yang rusak ringan 3.245 unit, rusak sedang (1.837 unit), dan rusak berat (1.273 unit).