Produksi bawang merah diyakini terus naik. Namun, perbaikan pascapanen perlu ditempuh untuk memastikan keberlanjutannya. Fluktuasi harga dan pasokan yang masih timpang semestinya tak perlu terjadi.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Akhir bulan lalu, Pemerintah India melarang ekspor bawang yang harganya telah melonjak menjadi 63,3 dollar AS per 100 kilogram, tertinggi dalam enam tahun terakhir, akibat berkurangnya pasokan bawang ke pasar. Kekeringan yang disusul hujan monsun yang lama telah menunda panen dan membuat pasokan menyusut.
Selain melarang ekspor, Pemerintah India juga menindak penimbunan bawang. Stok bawang milik pedagang grosir dan pengecer dibatasi secara ketat. Pos-pos perbatasan dijaga untuk memastikan tak ada sebutir bawang pun diselundupkan ke luar India.
Larangan ekspor segera mendongkrak harga di Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka. Di Dhaka, ibu kota Bangladesh, harga bawang melonjak 700 persen dalam beberapa bulan terakhir dan naik dua kali lipat pada akhir September 2019. Reuters, Rabu (2/10/2019), melaporkan, konsumen di Dhaka mesti membayar 120 taka (1,42 dollar AS) per kg bawang merah, tertinggi sejak Desember 2013.
Bawang adalah bumbu dapur yang amat penting bagi warga di negara-negara Asia Selatan. ”Tanpa bawang, makanan tidak lengkap dan tidak berwarna,” kata Charu Singh, peneliti di New Delhi, sebagaimana dikutip oleh New York Times dalam artikel ”India lock down its onions” di halaman depan koran itu, Kamis (3/10/2019).
Selain menjadi bumbu masakan yang penting, di India, bawang adalah pusat kebijakan luar negeri dan keharmonisan rumah tangga. Pemerintah India telah diturunkan karena harga makanan yang meningkat sebelumnya. Sejak larangan itu, negara-negara seperti Bangladesh telah beralih ke Myanmar, Mesir, Turki, dan China untuk meningkatkan pasokan dan menekan harga bawang merah. Namun, volumenya diyakini tak bisa menggantikan pasokan yang hilang.
Menurut Otoritas Pengembangan Ekspor Produk Makanan Olahan dan Pertanian India, India mengekspor 2,2 juta ton bawang segar pada 2018 hingga 31 Maret 2019. Para pedagang memperkirakan jumlah ekspor India itu lebih dari separuh total impor negara-negara Asia.
Jika menilik situasi akhir tahun 2018, situasi yang terjadi di India kali ini sebenarnya serba bertolak belakang. Pada 28 Desember 2018, Reuters melaporkan, Pemerintah India menggandakan insentif ekspor bagi petani bawang menjadi 10 persen. Langkah ini ditempuh untuk mendongkrak harga ke level yang lebih baik.
Fluktuasi harga bawang juga terjadi di dalam negeri. Para petani bawang merah di daerah sentra, seperti di Brebes, Jawa Tengah, hanya bisa menjual hasil panennya dengan harga Rp 11.500 per kg. Sementara harga di tingkat konsumen berkisar Rp 23.000 per kg.
Padahal, harga acuannya menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018 ditetapkan Rp 15.000-Rp 22.500 per kg di tingkat petani dan Rp 32.000 per kg di tingkat konsumen. Situasi awal Oktober 2019 berkebalikan dengan akhir Maret 2019 ketika harganya mencapai Rp 45.000 per kg di tingkat konsumen.
Fluktuasi harga dan pasokan yang masih timpang semestinya tak perlu terjadi jika produksi dan pengelolaan stok terjaga dengan baik. Oleh karena produksinya masih sangat bergantung pada kondisi musim, pengelolaan stok perlu jadi prioritas. Pembangunan gudang dengan fasilitas khusus untuk penyimpanan bawang diyakini jadi solusi. Namun, realisasinya masih jauh dari harapan.
Berkaca pada krisis di India, Indonesia perlu terus memperbaiki pascapanen. Produksi bawang merah diyakini terus naik, terlihat dari impor yang turun dari rata-rata 97.744 ton per tahun pada kurun waktu 2012-2014 menjadi 5.283 ton per tahun pada kurun waktu 2015-2018. Namun, upaya lain perlu ditempuh untuk memastikan keberlanjutannya, sekaligus memastikan petani produsennya makin sejahtera. (MUKHAMAD KURNIAWAN)