Selalu Yakin Wamena Bakal Terus Bersahabat
Sebagian warga Jawa Barat terpaksa meninggalkan Wamena pascakerusuhan yang pecah akhir September silam. Namun di balik keresahan itu, mereka yakin bisa kembali. Pace mace bumi Wamena ramah dan bersahabat.
Sebagian warga Jawa Barat terpaksa meninggalkan Wamena pasca-kerusuhan yang pecah akhir September silam. Mereka meninggalkan harta benda demi keselamatan jiwa masing-masing. Namun, di balik keresahan itu, mereka yakin bisa kembali. Pace-mace bumi Wamena selalu ramah dan bersahabat.
Gedung Pakuan, Rabu (9/10/2019) malam, ramai. Rumah Dinas Gubernur Jabar ini kedatangan 71 warga Jabar dari Wamena, Papua, pasca-kerusuhan Senin (23/9). Para perusuh menyerang dan membakar kios-kios dan melontarkan intimidasi terhadap warga pendatang.
Hal ini membuat para warga terancam dan memilih meninggalkan Wamena. Salah satunya adalah Reza Zaenal Muttakin (21) asal Majalengka. ”Saya belum mau pulang ke Wamena. Saya mau di kampung dulu,” ujarnya.
Jejak rusuh masih tampak di kepala Reza. Terluka akibat sabetan senjata tajam, ada delapan jahitan di kepalanya. Reza mengatakan, tak menyangka unjuk rasa bakal berakhir rusuh. Saat itu, dia yang tengah membantu ayahnya berdagang di sekitar Pasar Patikelek, pusat kota Wamena, cepat menutup kios untuk menghindari amukan massa.
Akan tetapi, langkahnya kalah cepat dibandingkan dengan kemarahan massa. Sekelompok orang menyerang kawasan niaga itu. Reza dan ayahnya tunggang langggang dibuatnya. Hanya Reza tidak beruntung. Dia terjebak dan dikepung orang-orang yang tidak dikenalnya.
”Saya tiba-tiba dikepung di pinggir jalan, tidak bisa ke mana-mana. Mereka mengeroyok saya,” katanya.
Baca juga: Makin Banyak Warga yang Kembali
Pasrah dengan nasibnya, Reza diselamatkan tembakan peringatan yang meletus di udara dari pistol anggota kepolisian setempat. Para perusuh berlari. Reza yang terkapar bersimbah darah lantas dibawa ke rumah sakit.
”Meski trauma, saya tetap yakin, mereka bukan Wamena. Banyak orang Wamena yang saya kenal itu baik-baik,” katanya.
Tidak hanya Reza, keyakinan kerusuhan bukan ciri orang Wamena dikatakan Yuliani Rahmawati (38). Dia tercatat sebagai warga Wamena, tetapi punya kampung halaman di Cileungsi, Kabupaten Bogor. Dia tak asal bicara. Keputusannya menikahi Kantius Wenda (29), putra asli Wamena, jadi bukti nyata.
Yuliani mengatakan, tidak ada kesulitan menyesuaikan diri dengan keluarga barunya di Wamena. Semenjak tinggal di Wamena pada 2015, dia selalu merasakan kehangatan warga Wamena, baik dari keluarga maupun tetangga di lingkungannya. Bahkan, pasangan ini memiliki dua anak perempuan, Katnis Wenda (3) dan Kayla Wenda (1).
Keguyuban itu teruji saat kerusuhan terjadi. Saat itu, ia berada di rumah yang berjarak sekitar beberapa kilometer dari Pasar Baru, Wamena. Beberapa warga meminta Yuliani untuk berdiam di rumah.
”Asap terlihat dari rumah kami. Hitam pekat. Semua orang bilang itu kerusuhan. Kami diminta untuk tidak ke mana-mana dulu,” ujarnya.
Semenjak kerusuhan melanda, toko-toko tutup karena sebagian besar pemilik kios di pasar merupakan warga pendatang. Mereka memilih pulang karena takut terjadi serangan susulan. Namun, Yuliani memilih tetap membuka warung di sekitar rumahnya agar warga setempat tetap bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Setiap berbelanja di pasar saya selalu ditemani suami. Biasanya masih ada satu atau dua toko yang buka, saya berbelanja di sana. Beras, gula, semua kebutuhan harian. Jadi, semua tetangga beli kebutuhan ke saya.
”Setiap berbelanja di pasar saya selalu ditemani suami. Biasanya masih ada satu atau dua toko yang buka, saya berbelanja di sana. Beras, gula, semua kebutuhan harian. Jadi, semua tetangga beli kebutuhan ke saya,” ujarnya.
Akan tetapi, tetap saja rusuh membuat orangtua Yuliani khawatir. Oleh karena itu, saat Pemprov Jabar siap memulangkan warganya dari Wamena, Yuliani pun ikut bersama rombongan. Dia membawa serta Katnis dan Kayla. Kantius, suaminya, akan menyusul datang beberapa hari ke depan.
Baca juga: Aksi Keprihatinan atas Tragedi Wamena
Katnis dan Kayla bermain dan bercanda bersama nenek dan bibi mereka saat makan malam bersama. Sesekali warga lain menghampiri dan bermain bersama dua bayi ini. Darah Wamena mengalir dalam diri Katnis dan Kayla, bercampur dengan darah Sunda jadi bukti indahnya keberagaman.
Ibu Yuliani, Siti Absah (69), khawatir dengan kondisi di Papua dan berharap semua keluarga di sana baik-baik saja. Saat kerusuhan terjadi, dia langsung menghubungi Yuliani untuk memastikan keadaan mereka.
”Yuliani mengatakan aman, semua baik-baik saja. Saya yakin, mereka pasti dilindungi sama keluarga dan warga sekitar. Dari cerita anak saya, mereka semua ramah. Tapi tetap saja, khawatir campur rindu. Jadi, saat tahu ada kesempatan pulang ini, saya suruh mereka ke rumah di Cileungsi,” ujarnya.
Setelah menenangkan hati ibunya, Yuliani pun tidak ragu untuk kembali ke Wamena. ”Keluarga dan harta benda di sana, makanya nanti akan balik lagi ke Wamena,” ujarnya.
Solidaritas dan sportivitas
Solidaritas juga datang dari Viking Persib, organisasi pendukung klub sepak bola Persib Bandung. Rahmad Sopian (41), salah satu anggota Viking yang tinggal di Jayapura, memantau media massa dan grup media sosial secara intens saat mendapatkan kabar kerusuhan di Jayawijaya, Wamena. Di daerah itu, terdapat lebih dari 300 warga Jawa Barat yang masuk dalam pendataan Paguyuban Sunda Ngumbara.
”Saat itu Jayapura juga mencekam. Tidak selang berapa lama, di Wamena pun terjadi kerusuhan. Namun, yakin ada warga Jabar yang terdampak, kami mencari cara untuk menurunkan warga Jabar ke tempat aman,” tuturnya.
Dengan menggunakan jaringan Viking yang sampai ke Wamena, mereka mendata warga yang ingin mengungsi dan melaporkannya kepada pemerintah. ”Ada tiga rumah sukarelawan Viking di Jayapura dijadikan tempat tinggal sementara bagi pengungsi Wamena. Sebelum bantuan datang, kami saling membantu membiayai kebutuhan para pengungsi. Yang penting mereka aman, mereka nyaman,” ujar Rahmad.
Ada tiga rumah sukarelawan Viking di Jayapura dijadikan tempat tinggal sementara bagi pengungsi Wamena. Sebelum bantuan datang, kami saling membantu membiayai kebutuhan para pengungsi. Yang penting mereka aman, mereka nyaman.
Tidak hanya memanfaatkan rumah anggota Viking, ujar Rahmad, penduduk lokal lainnya pun berusaha melindungi warga pendatang, termasuk dari Jabar. ”Mereka membawa saudara-saudara kami ke tempat ibadah dan rumah masing-masing,” ujarnya.
Ketua Paguyuban Sunda Ngumbara Provinsi Papua Muhammad Irianto Pawika menyatakan, keramahan warga Wamena tidak perlu diragukan lagi. Saat menjadi Ketua Viking di Wamena, dia merasakan sportivitas warga setempat, bahkan sampai ke Jayapura.
”Di sana kami tidak merasa terintimidasi. Saat pertandingan Persib di Papua, kami bisa berjalan menuju stadion tanpa ada intimidasi. Bahkan, saat bobotoh (sebutan fans Persib) dilarang masuk ke stadion, pihak fans Persipura menyarankan kami menggunakan pakaian hitam, dan berbaur bersama fans Persipura. Kami semua bersaudara,” ujarnya.
Baca juga: Kami Ingin Belajar dengan Aman
Rasa persaudaraan yang kuat tersebut membuat Irianto yakin, bukan warga Wamena yang menjadi biang kerusuhan. Dia merasa, ada pihak yang tidak mencintai kerukunan di Wamena dan memanfaatkan kekacauan politik untuk membuat Wamena mencekam.
Irianto dan semua warga yang menetap di sana yakin, Wamena bisa kembali damai dan rukun. Di kota yang berdiri di Lembah Baliem tersebut, ada pesan perdamaian yang bisa ditunjukkan di tengah provokasi dan kerusuhan ini. Semuanya berharap, tanah papua kembali ramah dan terbuka dalam toleransi terhada sesama, tanpa memandang suku dan agama.