Serangan terduga teroris terhadap Menko Polhukam Wiranto tidak mengubah pola interaksi Presiden Joko Widodo. Polisi dan TNI siap mengamankan pelantikan presiden-wakil presiden.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Presiden Joko Widodo tidak akan mengubah gaya interaksinya dengan masyarakat meski terjadi penyerangan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. Sementara itu, kepolisian memastikan kasus yang dialami Wiranto tidak akan mengganggu pengamanan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober mendatang.
”Biasa. Masih sama. Selfie aja, kan, tidak apa-apa. Jadi tetap seperti biasanya. Tapi kewaspadaan Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) akan lebih ditingkatkan karena peristiwa kemarin,” kata Presiden terkait gaya komunikasinya di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Selama ini, dalam kunjungan kerjanya di sejumlah tempat, Presiden hampir selalu berinteraksi langsung dengan masyarakat. Presiden tidak hanya menyapa dan bersalaman, tetapi juga kerap memberikan kesempatan swafoto kepada masyarakat. Bahkan, dalam sejumlah kesempatan, Presiden proaktif menghampiri masyarakat.
Sementara itu, kondisi Wiranto dinyatakan mulai membaik setelah menjalani operasi di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto. Wiranto terluka di bagian perut karena diserang menggunakan sejenis pisau oleh simpatisan anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD), SA alias Abu Rara, dan istrinya, FA. Kemarin, sejumlah pejabat dan elite politik, seperti Presiden Jokowi dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, menjenguk Wiranto di RSPAD.
Setelah peristiwa yang menimpa Wiranto, polisi akan mengevaluasi standar pengamanan agar serangan terhadap pejabat tinggi negara tidak terulang di masa depan.
”Kami tidak mungkin membatasi pejabat publik yang ingin berinteraksi langsung dengan masyarakat untuk bersalaman dan swafoto. Oleh karena itu, aparat keamanan akan meningkatkan kewaspadaan untuk memastikan keamanan pejabat tinggi negara,” tutur Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo.
Dedi memastikan, pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, 20 Oktober, akan berjalan tanpa gangguan keamanan. Sekitar 27.000 anggota Polri dan TNI akan diterjunkan untuk mengamankan hajatan ketatanegaraan itu. ”TNI dan Polri bekerja keras semaksimal mungkin untuk memitigasi potensi ancaman dalam rangkaian kegiatan itu,” katanya.
Sekitar 27.000 anggota Polri dan TNI akan diterjunkan untuk mengamankan hajatan ketatanegaraan itu.
Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan menuturkan, menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden, 20 Oktober 2019, BIN telah mendeteksi adanya kemungkinan serangan dari kelompok teroris JAD. (Kompas, 11/10/2019)
Pejabat jadi sasaran
Dedi mengungkapkan, penyerang Wiranto, yaitu SA alias Abu Rara, mengalami rasa takut dan tertekan setelah polisi menangkap pemimpin sel teroris JAD Bekasi, Jawa Barat, yaitu Abu Zee, akhir September lalu. ”Karena khawatir dan takut ditangkap, Abu Rara menyiapkan diri untuk melakukan aksi teror. Target dia adalah pejabat negara dan aparat kepolisian,” kata Dedi.
Dalam satu tahun terakhir, Abu Rara aktif berkomunikasi dengan Abu Zee melalui media sosial. SA bahkan pernah mengikuti pertemuan anggota JAD Bekasi yang dipimpin Abu Zee.
Namun, lanjut Dedi, ketika Abu Zee bersama delapan pengikutnya melakukan latihan persiapan aksi teror di Gunung Halimun, Bogor, Abu Rara tidak ikut. Oleh karena itu, tim Densus 88 Antiteror Polri belum memiliki kewenangan untuk menangkap Abu Rara.
Inisiatif menyerang Wiranto, ungkap Dedi, dilakukan Abu Rara setelah melihat adanya helikopter datang dan tetangga berbondong-bondong menuju Alun-alun Menes. Abu Rara menganggap momen itu saat yang tepat untuk melakukan teror meski ia tidak tahu identitas pejabat negara yang datang. ”Dia mengajak istrinya, FA. Abu Rara menyerang pejabat negara, sedangkan FA dia perintahkan untuk menyerang aparat kepolisian,” ujar Dedi.
Menurut Rakyan Adibrata, Direktur International Association for Counterterrorism and Security Professionals Indonesia, peran perempuan dalam sejumlah aksi teror di Indonesia satu tahun terakhir disebabkan adanya perubahan posisi perempuan di kelompok teroris. Jika di era Jamaah Islamiyah perempuan hanya berperan melahirkan generasi baru pelaku teror, di masa Negara Islam di Irak dan Suriah perempuan diberi kebebasan untuk terlibat dalam aksi teror.
”Pelibatan istri dan anak juga menjadi cara yang efektif untuk mengelabui kerja intelijen. Intelijen akan lebih sulit mengantisipasi keterlibatan keluarga karena komunikasi di antara mereka dilakukan tanpa teknologi,” ujar Rakyan.
Perilaku berubah
Perilaku FA ditengarai berubah sejak sekitar tiga bulan lalu. Kumayah, tetangga FA di Desa Sitanggal, Kecamatan Larangan, Brebes, Jateng, mengaku terkejut dengan penampilan FA saat pulang kampung tiga bulan lalu. FA yang periang dan ramah tiba-tiba jadi tertutup dan cenderung menghindari komunikasi dengan orang lain.
Rustini, bibi FA, menjelaskan, kemenakannya menelepon orangtuanya pertengahan Juni 2019 untuk minta izin menikah. Kepada orangtuanya, FA memperkenalkan calon suaminya bernama SA alias Abu Rara. Namun, orangtua FA tidak setuju karena belum pernah bertemu dengan SA. Setelah itu, FA memblokir nomor telepon semua anggota keluarganya.
Alex, yang pernah jadi tetangga dan rekan SA, saat tinggal di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir, Kecamatan Medan Deli, Medan, Sumatera Utara, menuturkan, SA terpapar radikalisme sekitar tahun 2010 lewat media sosial. Ia beberapa kali memperlihatkan komunikasinya kepada orang-orang di Irak dan Suriah dalam bahasa Inggris. (LAS/SAN/NSA/XTI/MTK/SHR/INK/EDN)