Ironi Kesehatan Jiwa di Daerah Ekonomi Maju
Bagaikan kepingan mata uang logam, perkembangan ekonomi selalu memiliki dua sisi penampang yang saling bertolak belakang. Satu sisi memberikan dampak positif berupa kemajuan, tetapi pada sisi lainnya juga berpotensi menimbulkan kesenjangan pada berbagai aspek sosial. Termasuk di dalamnya, potensi tuntutan keadaan yang berpengaruh pada kesehatan mental seseorang.
Terkait kesehatan mental, pada 10 Oktober lalu, seluruh dunia memperingati Hari Kesehatan Jiwa yang diinisiasi pertama kali pada 1992 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pada tahun ini, World Mental Health Day merupakan peringatan yang ke-27 dan mengusung tema ”40 Seconds of Action”.
Topik ini merupakan upaya untuk menggugah kesadaran masyarakat terhadap adanya fenomena kasus bunuh diri di seluruh dunia yang terjadi setiap 40 detik sekali. Kasus ini salah satu pemicunya adalah gangguan kesehatan berupa penyakit mental atau penyakit jiwa yang sering kali luput dari perhatian orang-orang di sekitar korban.
Dengan mengusung tema tersebut, harapannya setiap orang menjadi lebih peduli dengan lingkungan sekelilingnya. Mampu mendeteksi gejala-gejala yang terjadi pada keluarga, teman, atau kolega dekatnya yang terindikasi menghadapi tekanan mental hingga mengganggu produktivitasnya.
Setidaknya dengan melakukan sejumlah pendekatan melalui komunikasi, berbicara, atau bercerita pada orang yang terindikasi itu mampu menumbuhkan lagi kepercayaan diri orang bersangkutan. Pelan-pelan mental mereka akan terkuatkan kembali karena merasa dirinya masih dipedulikan orang lain. Upaya demikian diyakini mampu meredam terjadinya tindakan ekstrem lebih lanjut dari seseorang yang mengalami gejalan gangguan mental.
Secara umum, gangguan kesehatan mental itu terbagi menjadi beberapa jenis, mulai dari yang terparah hingga paling ringan. Namun, problem sangat serius ada pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang paling rentan melakukan bunuh diri. Dari beberapa kategori ODGJ, skizofrenia atau psikosis dan depresi adalah bentuk gangguan mental yang dapat berakibat fatal seperti salah satunya aksi bunuh diri.
Skizofrenia atau psikosis dapat menyebabkan penderitanya, antara lain, mengalami halusinasi dan delusi. Selain ada yang sulit membedakan antara kenyataan dan imajinasi, penderitanya juga ada yang sulit berkonsentrasi, susah tidur, kebanyakan tidur, cemas, depresi, kebingungan, menarik diri dari lingkungan, tidak jelas arah pembicaraannya, hingga muncul pikiran untuk mengakhiri hidup.
Gangguan jiwa ini termasuk dalam kategori berat, memerlukan pengobatan dan penyembuhan dalam waktu relatif lama. Bahkan, pada sebagian orang ada yang terjadi hingga seumur hidup. Gangguan jiwa berat ini memiliki berbagai faktor penyebab. Salah satunya adalah tekanan yang mengimpit perasaan seseorang. Tekanan perasaan jika tidak tertangani tepat dapat berujung menjadi depresi atau bahkan psikosis.
Gejala gangguan jiwa tersebut tentu saja mempunyai asal-muasal permasalahan. Ada faktor ekonomi, keluarga, pekerjaan, pendidikan, lingkungan, pergaulan, penyakit, penyalahgunaan obat-obat terlarang, dan hal lainnya yang dapat memicu terjadinya gejala gangguan jiwa.
Tekanan Daerah Maju
Komparasi antara data produk domestik regional bruto (PDRB) dengan data jumlah penderita skizofrenia/psikosis dan depresi dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan fenomena korelasi yang linier.
Artinya, semakin maju perekonomian suatu daerah berbanding lurus dengan jumlah penderita gangguan mental yang lebih banyak dibandingkan daerah lainnya yang kurang maju. Daerah yang memiliki PDRB tinggi memiliki kecenderungan jumlah penderita gangguan mental yang juga banyak.
Berdasarkan Riskesdas 2018, ada beberapa provinsi yang memiliki jumlah penderita skizofrenia/psikosis dan depresi yang tergolong tinggi di Indonesia. Setidaknya ada tujuh provinsi yang menempati urutan teratas, yakni Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Sulawesi Utara.
Ketujuh provinsi ini memiliki jumlah penderita skizofrenia/psikosis rata-rata lebih dari 8.000 orang per provinsi. Secara kuantitas, angka penderita skizofrenia/psikosis tertinggi berada di Jabar, mencapai 55.000 jiwa.
Untuk penderita depresi, jumlah terbanyak juga berada di tujuh provinsi tersebut. Rentang penderita depresi di wilayah itu berkisar antara 22.000-130.000 jiwa. Jumlah penderita depresi tertinggi juga terdapat di Jabar yang notabene memiliki penderita skizofrenia/psikosi terbanyak di Indonesia.
Bila ditilik dari sisi PDRB-Nya, ke-7 provinsi yang memiliki penderita gangguan mental tersebut merupakan daerah yang mencatat PDRB tinggi di Indonesia. Rentang PDRB wilayah ini berkisar antara Rp 418 triliun hingga Rp 2.410 triliun setahun.
Empat dari tujuh provinsi tersebut merupakan daerah penghasil PDRB tertinggi di Indonesia. Provinsi tersebut adalah DKI Jakarta dengan kontribusi PDRB sekitar Rp 2.410 triliun, Jatim Rp 2.019 triliun, Jabar Rp 1.786 triliun, dan Jateng Rp 1.187 triliun. Tiga daerah selanjutnya adalah Provinsi Sumut Rp 684 triliun, Banten Rp 564 triliun, dan Sulsel Rp 418 triliun.
Pengangguran dan kemiskinan
Tingginya perekonomian di suatu daerah, nyatanya juga berbanding lurus dengan banyaknya jumlah penderita gangguan mental. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab tingginya angka gangguan kesehatan itu. Di antaranya adalah pengangguran dan kemiskinan.
Angka pengangguran di tujuh provinsi itu adalah yang tertinggi di Indonesia. Jumlah pengangguran tiap provinsi pengidap gangguan mental tertinggi di Indonesia itu berada pada kisaran 200.000 hingga hampir dua juta jiwa. Tiga besar posisi pengangguran tinggi itu ditempati Provinsi Jabar dengan jumlah pengangguran sebesar 1,8 juta jiwa, Jatim 850.000 jiwa, dan Provinsi Jateng 814 ribu jiwa.
Dengan tingginya angka pengangguran, secara tidak langsung juga berdampak pada besarnya angka kemiskinan. Dengan tidak bekerja, para penganggur terkendala memperoleh penghasilan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.
Kondisi demikian dapat menimbulkan tekanan sosial di masyarakat. Salah satunya, berdampak pada tingginya beban hidup yang ditanggung oleh suatu keluarga karena ada anggota keluarganya yang menganggur. Hal ini menyebabkan rata-rata tingkat konsumsi keluarga bersangkutan berkurang sehingga rentan bergeser di bawah garis kemiskinan.
Artinya, keluarga tersebut rawan terjebak dalam golongan kelompok miskin yang kualitas hidupnya di bawah standar kelayakan. Wilayah di Indonesia yang memiliki jumlah kemiskinan tertinggi terpusat di tiga provinsi. Rinciannya terdiri dari Provinsi Jatim dengan jumlah kemiskinan hingga 4,29 juta jiwa, Jateng 3,87 jiwa, dan Jabar 3,54 juta jiwa.
Analisis data makro-ekonomi tersebut mengindikasikan jika jumlah pengangguran dan kemiskinan cenderung diikuti dengan tingginya jumlah penderita gangguan mental di suatu daerah. Uniknya, daerah tersebut umumnya adalah wilayah dengan kemajuan ekonomi yang tinggi di Indonesia. Hadirnya banyak industri dan usaha tidak serta merta mampu menanggulangi permasalahan sosial yang terjadi.
Pengangguran dan kemiskinan tetap melekat dan menjadi sisi lain dari gemerlap kemajuan suatu daerah. Dampaknya, terjadi ketimpangan pendapatan antarmasyarakat yang relatif tinggi. Koefisien gini di tujuh provinsi pengindap gangguan mental tertinggi di Indonesia memiliki indeks yang cenderung tak bergerak pada dua tahun terakhir ini.
Jurang pendapatan antara si miskin dan si kaya stabil lebar. Dengan kata lain kemajuan ekonomi lebih banyak memberikan andil terbesar pada kelompok pemilik modal. Kelompok pekerja relatif stabil tak beranjak ke arah lebih baik. Pengangguran juga tidak teratasi karena masih kurangnya lapangan pekerjaan.
Kondisi tersebut tentu boleh jadi menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada kerawanan penyakit mental. Orang yang menganggur karena terbatasnya lapangan pekerjaan atau tingginya beban kebutuhan hidup yang dialami pekerja karena pendapatannya tidak bertambah, memunculkan tekanan hidup yang besar.
Tingginya perekonomian di suatu daerah, nyatanya juga berbanding lurus dengan banyaknya jumlah penderita gangguan mental.
Penanganan minim
Tentu saja, masalah ekonomi ini bukan satu-satunya penyebab munculnya kerawan penyakit tersebut. Masih banyak faktor lainnya yang dapat memicu munculnya gejala gangguan mental dan kejiwaan itu. Namun, stres menyiasati kebutuhan hidup acap kali memicu munculnya depresi. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab tingginya gangguan mental di daerah perekonomian maju di Indonesia.
Tingginya potensi gangguan mental pada daerah yang maju perekonomiannya itu ternyata tidak disadari oleh sebagian besar masyarakat. Dampaknya, penanganan terhadap penyakit ini terbilang relatif minim. Ketidaktahuan terhadap gejala penyakit serta ketidakpedulian masyarakat terhadap sekelilingnya merupakan dugaan yang relatif tepat menggambarkan kondisi tersebut.
Dari sekitar 706.000 penderita depresi yang ditemukan dari survei Riskesdas 2018, hanya sekitar 6 persen atau 42.000 orang yang menjalani pengobatan. Sisanya, lebih dari 650.000 orang bergelut dengan diri sendiri untuk mengatasi kegelisahan pikiran dan mentalnya.
Ironisnya, daerah kutub perekonomian besar di Indonesia juga relatif sangat rendah tingkat pengobatan penyakit mentalnya. Misalnya, Provinsi Jabar yang merupakan kantong penyakit mental terbesar di Indonesia hanya kisaran tujuh persen atau 10.000-an orang saja yang melakukan upaya penyembuhan dengan pengobatan. Daerah lain, seperti DKI Jakarta, Jateng, dan Jatim tingkat pengobatannya lebih rendah lagi, yakni pada kisaran di bawah 5 persen.
Dampak kontraproduktif
Ketidakpekaan, ketidakpedulian, dalam penanganan gangguan jiwa itu dalam jangka panjang akan kontraproduktif bagi kemajuan perekonomian. Penderita skizofrenia/psikosis yang termasuk dalam kategori gangguan mental berat akan sulit menghasilkan karya produktif yang memiliki nilai ekonomi. Dengan kata lain sulit memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga menjadi beban hidup keluarganya.
Demikian juga dengan gangguan depresi apabila tidak tertangani akan menurunkan produktivitas sang penderita. Apalagi, sekitar 81 persen penderita depresi berada pada rentang usia produktif antara 15-54 tahun dengan berbagai tingkatan pendidikan dari rendah hingga jenjang pendidikan tinggi level perguruan tinggi. Apabila tidak disembuhkan, para penderita ini berpotensi kehilangan kualitas hidup, tidak lagi produktif sehingga menjadi kerugian bagi perekonomian secara nasional.
Jika dinominalkan, kerugian tersebut dapat diukur dengan pendekatan sederhana. Misalnya saja, diasumsikan semua penderita depresi yang tidak melakukan pengobatan diproyeksikan akan kehilangan pekerjaan karena tidak produktif lagi.
Pada data Riskesdas 2018, ada 665.720 penderita depresi yang tidak melakukan pengobatan. Angka ini lalu dikalikan dengan rata-rata pendapatan per kapita nasional pada 2017 yang nilainya sekitar Rp 4,87 juta rupiah/kapita/bulan. Hasil yang diperoleh dari perkalian itu saja sudah mencapai sekitar Rp 3,25 triliun per bulan atau hampir Rp 39 triliun setahun.
Sekitar 81 persen penderita depresi berada pada rentang usia produktif antara 15-54 tahun dengan berbagai tingkatan pendidikan dari rendah hingga jenjang pendidikan tinggi level perguruan tinggi.
Nilai itu setidaknya menggambarkan kerugian yang cukup fantastis dengan hilangnya produktivitas akibat gangguan jiwa depresi. Angka ini belum termasuk hilangnya nilai ekonomi penderita gangguan jiwa berat lainnya, yakni skizofrenia/psikosis yang lebih potensial untuk tidak bekerja akibat penyakitnya.
Kalkulasi tersebut adalah proyeksi terburuk apabila gangguan depresi tidak tertangani dan berubah menjadi gangguan mental berat yang relatif sulit untuk disembuhkan. Oleh sebab itu, dengan momentum hari kesehatan mental sedunia ini ada baiknya jika semua warga masyarakat kembali menggungah kepeduliannya pada lingkungan sekitar.
Kenali ciri-ciri adanya indikasi gangguan mental pada orang-orang terdekat. Ajak bicara dan komunikasi untuk membantu meringankan beban masalah yang mengimpit pikirannya.
Selain itu, tingkatkan kesadaran untuk turut serta melibatkan ahli profesional untuk membantu meringankan penyakit gangguan mental. Konsultasikan kepada psikolog, psikiater, serta ahli kejiwaan untuk membantu proses penyembuhan dan pengobatannya. Dengan demikian, akan semakin banyak para penderita gejala gangguan mental yang terdampingi sehingga dapat kembali menjadi manusia produktif yang memiliki masa depan lebih baik. (Litbang Kompas)