Mentor Itu Bernama Enggartiasto…
Indah Sita Nursanti, penyanyi anggota kelompok vokal lawas Rida Sita Dewi (RSD), Senin (14/10/2019) malam mengenakan gaun hitam. Ia tampil di atas panggung temaram biru di Restoran Tugu Kunstskring, Jakarta, yang merupakan bangunan bekas gedung Imigrasi di masa lalu. Ia tak menyanyikan satu pun lagu, tetapi membacakan puisi.
Dengan lantang, lambat tetapi tegas, Sita pun membacakan puisi berjudul “Kursi Berduri Menteri”. Puisi yang ditulis pada tahun 2017 itu, adalah karya Enggartiasto Lukita, yang malam itu masih menjabat Menteri Perdagangan. “Tinggal lima hari lagi saya menjabat,” ungkap Enggartiasto, yang senang puisi karyanya dibacakan dengan baik oleh Sita. Sita membacakan puisi itu, bait per bait:
Apa gunanya harga pangan naik tetapi petani tercekik..
Apa gunanya stok melimpah tetapi pembeli gelisah..
Lalu aku bertanya pada diri sendiri,..
Apa gunanya aku jadi menteri jika tak mampu membantu presiden mensejahterakan anak negeri..
Kursi empuk jadi sandaran Berduri tak kuasa ku duduki..
Ini adalah tugas Mulia memastikan petani riang gembira bercocok tanam, berdagang, tersenyum ramah tanpa Mengelabui, dan pembeli ceria tanpa curiga..
Ini adalah keadilan sosial memastikan berkah melimpah dari pelosok Desa hingga kota..
….
Aku pembantu Presiden, aku katakan jika kalian ingin bermain api, aku siapkan air seluas samudera..
Kalau kalian ingin untung sendiri, aku pastikan kalian buntung pada waktunya..
Jika kalian masih jadikan pangan untuk alat spekulasi, maka operasi-operasi kami akan jadikan hidup kalian tidak pasti..
Kalau kalian tak sudi mendengar suaraku, maka pasar akan mengusir kalian dengan caranya sendiri..
….
Kursiku masih bersandarkan duri…
Aku akan tetap berdiri dan bahkan berlari untuk mewujudkan harapan, dan cita-cita anak negeri adalah kerja, kerja, kerja, kerja terus tanpa henti…
Tepuk tangan membahana saat Sita mengakhiri pembacaan puisi itu. Bukan hanya Enggartiasto yang bertepuk tangan, tetapi ada juga Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan P Roeslani, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan, mantan Ketua Umum Himpinan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bahlil Lahadalia, musisi Yovie Widiyanto, sejumlah kader Partai Nasdem, pejabat Kementerian Perdagangan, serta sejumlah aktivis dan pengusaha. Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat datang belakangan.
Enggartiasto tak sedang meluncurkan antologi puisinya. “Saya menulis puisi, untuk memastikan, bahwa saya benar-benar lulusan dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra,” papar alumni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung, yang kini berubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) itu. Senin malam itu, ia juga tidak sedang merayakan hari ulang tahunnya yang bertepatan dengan Sabtu, 12 Oktober lalu. Malam itu, bersama kolega dan keluarganya, Enggartiasto merayakan peluncuran buku yang ditulis oleh “anak didik”nya, Rio Abdurrachman P, berjudul “Pak Enggar, Mentor & Pemimpin”, yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (PBK) dan dicetak oleh PT Gramedia. Ahli marketing Hermawan Kartajaya pun menuliskan kata pengantar untuk buku itu.
“Kesan saya yang paling mendalam, adalah Pak Enggar bukan politikus yang cuma datang pada waktu kampanye saja. Ya, dia politikus, tapi politikus sejati: dari hati, untuk rakyat. Tiga hal ini, komitmen, mengerti betul masalahnya, dan berpengalaman di organisasi besar dan ruwet, adalah modal utama di dalam manajemen dan leadership. Saya kagumi, tiga aspek itu pada diri Pak Enggar,” tulis Hermawan.
Enggartiasto mengakui, ia memulai karirnya, khususnya dalam bidang politik benar-benar dari bawah, sebagai “pembawa map” dari pengusaha dan politisi senior Partai Golkar, Siswono Yudo Husodo. Dari Siswono, ia belajar berusaha, berpolitik, dan kepemimpinan. Seorang pemimpin harus mau mendengar, dan detil memahami persoalan yang dihadapi, , sehingga bisa membuat keputusan yang tepat. Ia pun membuka diri pula untuk orang lain, khususnya yang lebih muda darinya, untuk belajar bersama, dan pada saatnya menjadi pemimpin-pemimpin baru di berbagai bidang.
Sebagai pemimpin, terutama di Kementerian Perdagangan, Enggartiasto mengakui, ia berusaha mendengarkan suara rakyat, yang selalu khawatir dengan ketersediaan pangan, khususnya beras, gula pasir, dan minyak goreng saat menjelang puasa dan Lebaran. Dia menyontoh cara Presiden Joko Widodo saat tak lelah, tak kurang dari 50 kali, berdialog dengan pedagang pasar, saat menjadi Wali Kota Surakarta, agar pemindahan Pasar Klitikan Notoharjo bersedia pindah ke Banjarsari, Solo. Mereka yang menguasai jalur distribusi, pasokan, dan penentu harga beras, gula pasir, dan minyak goreng pun diajaknya berdialog, sambil makan siang di ruang kerjanya.
“Saya hanya mampu lima kali, dan kemudian meminta tolong mereka untuk menjamin pasokan gula pasir, beras, dan minyak goreng dengan harga yang tak naik,” jelasnya. Meskipun semula keberatan, akhirnya selama tiga tahun kepemimpinannya di Kemendag, harga dan pasokan bahan pangan selama masa puasa dan Lebaran bisa stabil. Enggartiasto merasakan hal itu tak mudah, tetapi bisa diwujudkan.
Ia pun mengakui, banyak pihak yang tidak menyukai caranya dalam menjamin pasokan dan harga bahan pangan itu. Ia juga menerima ancaman. Apalagi, ia merupakan pejabat negara yang “dobel minoritas”. Namun, Enggartiasto bersyukur, ia masih selamat, hingga menjelang akhir masa tugasnya. Ia berharap bisa mengakhiri tugasnya dengan baik, dan ingin kembali berkarya di Partai Nasdem, yang dibesarkannya bersama-sama dengan Ketua Umum Surya Paloh dan kader lainnya.
Mentor untuk semua
Rio Abdurrahman mengakui, ia yang merupakan anak dari seorang tukang koran di Cirebon, Jawa Barat diajak oleh Enggartiasto untuk belajar mengenai banyak hal, terutama politik, berusaha, dan kepemimpinan hingga ke Jakarta. Selama lebih dari sepuluh tahun berteman, Enggartiasto tak pernah lelah mendengarkannya dan mendampingi. Ia adalah mentor yang mempedulikan orang lain.
“Ia (Enggartiasto) punya kompartemen yang jelas antara politik, persahabatan, dan lainnya. Sikap yang sekarang langka. Yang kini marak, adalah ketika kita berbeda dalam pilihan politik, maka seolah kita berbeda dalam segala-galanya,” kata Rio. Ia mengatakan pula, selama bersama-sama dengan Enggartiasto, ia menyaksikan sendiri komitmen dan kedisiplinan dari mentornya itu.
Bahlil dan Rosan pun mengisahkan pertemanan yang tulus dengan seniornya itu. Enggartiasto, adalah sosok yang tak membeda-bedakan latarbelakang sahabatnya, termasuk yuniornya. Ia mau berbagi dan bekerja sama dengan siapapun, khususnya untuk kebaikan negeri ini.
“Saya dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan pak Enggar, adalah GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia juga keturunan Tionghoa. Namun, Pak Enggar yang lebih banyak mendukung kami yang di HMI,” papar Bahlil. Ia juga memaparkan, Enggartiasto tak keberatan membagi ilmu dan pengalamannya dalam berusaha, sehingga sejumlah pengusaha muda anggota HIPMI bisa berkembang menjadi pengusaha menengah dan besar.
Rosan dan Yovie juga mencatat sikap detil dari Enggartiasto. Sikap itu memudahkannya untuk mengambil kebijakan dan bersikap. Mereka pun belajar dari sikap itu….