Ambisi Negeri ”Gajah Putih” Menjadi Pusat Olahraga
›
Ambisi Negeri ”Gajah Putih”...
Iklan
Ambisi Negeri ”Gajah Putih” Menjadi Pusat Olahraga
Sukses terpilih menjadi balapan MotoGP terbaik pada debutnya sebagai tuan rumah tahun lalu, Thailand berambisi meningkatkan capaian itu. Mereka sadar, ajang olahraga bertaraf internasional dapat mendongkrak perekonomian.
Oleh
C Wahyu Haryo PS dari Buriram, Thailand
·5 menit baca
Saat membangun Sirkuit Internasional Chang di Buriram pada 2013-2014 silam, Thailand merogoh kocek hingga 2 miliar baht atau sekitar Rp 817 miliar. Investasi dan jerih payah untuk pembangunan itu serasa terbayar lunas saat mereka sukses menggelar balapan MotoGP 2018.
Sukses karena balapan yang disaksikan sekitar 220.000 penonton dalam tiga hari penyelenggaraan itu terpilih menjadi balapan terbaik musim 2018. Ajang itu juga meraup pendapatan yang memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Gubernur Otoritas Olahraga Thailand (SAT) Gongsak Yodmani menyebutkan, pendapatan dari perhelatan MotoGP tahun lalu mencapai lebih dari 3 miliar baht atau sekitar Rp 1,4 triliun.
Dalam balapan MotoGP 2019 seri Thailand, Jumat-Minggu (4-6/10/2019), jumlah penonton diperkirakan meningkat sekitar 10 persen dari sebelumnya. Hal itu dimungkinkan karena di kawasan Sirkuit Internasional Chang juga berlangsung pameran motorsport, pentas musik, serta kejuaraan nasional Muay Thai.
Peningkatan penonton pada balapan musim ini juga dimungkinkan karena punya momentum yang tepat, di mana pebalap Repsol Honda Marc Marquez bisa mengunci gelar juara dunia. Tentu hal itu mendorong penggemar Marquez untuk datang langsung dan berpesta merayakan pencapaian idolanya.
Setelah balapan musim ini, Thailand berencana memperpanjang kontrak sebagai tuan rumah MotoGP yang berakhir 2020. Deputi Gubernur Otoritas Pariwisata Thailand (TAT) Bidang Komunikasi Pemasaran Tanes Petsuwan mengungkapkan, kontrak sebagai tuan rumah akan diperpanjang hingga 4-5 tahun. Selain itu, Negeri ”Gajah Putih” juga menargetkan menjadi tuan rumah balapan Formula 1 pada 2021, yang menurut rencana juga menggunakan sirkuit di Buriram.
Ajang olahraga internasional begitu penting bagi Thailand karena bisa mendatangkan wisatawan mancanegara dan menambah pundi-pundi devisa. Tahun lalu, Thailand bisa menarik kunjungan 38,3 juta wisatawan mancanegara. Capaian itu tertinggi di ASEAN, disusul Malaysia dengan 25,8 juta wisatawan mancanegara, Singapura (18,5 juta), dan Indonesia (15,8 juta).
Tahun ini, Thailand menargetkan 40 juta kunjungan wisatawan mancanegara. Untuk mencapai target itu, tidak cukup hanya mengandalkan keindahan alam dan budaya. Apalagi, kompetitor di ASEAN juga punya potensi serupa. Selain itu, promosi wisata juga tidak cukup dilakukan secara konvensional lewat iklan atau kerja sama dengan agen perjalanan wisata.
”Kami mengubah persepsi menuju pariwisata massal yang dapat menarik wisatawan berkualitas yang datang dengan tujuan khusus,” kata Tanes.
Satu payung
Penyelenggaraan ajang olahraga internasional merupakan salah satu jawaban untuk memenuhi target kunjungan wisatawan mancanegara. Implementasi wisata berbasis olahraga di Thailand menjadi relatif lebih mudah karena sejak 2003 berada dalam satu kementerian, yakni Kementerian Pariwisata dan Olahraga.
Kementerian ini membawahi dua lembaga, yakni TAT yang mengurusi pariwisata, serta SAT yang mengurusi olahraga. Anggaran kementerian ini sekitar 6,4 miliar baht atau hampir Rp 3 triliun dalam tahun 2019.
Menyelenggarakan ajang olahraga internasional membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga kementerian juga mendukung pendanaannya. Untuk mendapatkan kontrak dengan Dorna Sport, misalnya, dalam satu musim dibutuhkan biaya 400 juta baht atau sekitar Rp 175 miliar. Pemerintah Thailand mendanai sekitar 100 juta baht, sisanya dari BUMN dan sponsor swasta.
”Ajang ini tidak hanya menciptakan citra positif Thailand sebagai tuan rumah acara olahraga elite global, tetapi juga menghasilkan pendapatan bagi masyarakat lokal dan menghasilkan pendapatan besar untuk industri pariwisata. Semua manfaat ini akan mengubah Thailand sebagai pusat olahraga internasional terkemuka, serta menstimulasi ekonomi nasional termasuk industri otomotif,” kata Menteri Pariwisata dan Olahraga Phipat Ratchakitprakarn, terkait dukungan pemerintah terhadap ajang MotoGP.
Penyelenggaraan MotoGP banyak diperebutkan karena setidaknya diliput 435 media dari 33 negara di dunia. Ekspose media yang demikian besar itu, di satu sisi bisa menjadi bumerang jika penyelenggaraannya tidak terorganisasi dengan baik. Itu sebabnya organisasi penyelenggaraan dipersiapkan betul.
Mereka merekrut dan mengirimkan orangnya ke sejumlah negara untuk belajar penyelenggaraan ajang itu, setidaknya sejak tiga tahun sebelum menggelar MotoGP 2018. Selain itu, infrastruktur penunjang juga dibenahi, antara lain bandara, jalan, moda transportasi darat, akomodasi, teknologi informasi, serta obyek wisata lain.
Kota olahraga
Pilihan untuk menyelenggarakan MotoGP, juga rencana penyelenggaraan F1 di Buriram, tidak terlepas dari desain besar untuk menjadikan daerah itu sebagai kota olahraga atau sport city. Berbagai ajang balap motor dan mobil rutin diselenggarakan tiap tahun, hingga muncul ikon ”Destination of Speed”. Di kompleks sirkuit itu juga sudah terbangun stadion bertaraf internasional, yang juga menjadi markas dari klub sepak bola Buriram United.
”Visi menjadikan Buriram sebagai batu penjuru dari kota pariwisata, kota untuk acara, kota untuk olahraga, sejalan dengan slogan Buriram Model,” kata Gubernur Provinsi Buriram Teerawat Wutthikhun.
Visi baru Buriram tersebut diyakini bakal memperkuat perekonomian daerah berpenduduk sekitar 27.000 jiwa dan sebelumnya hanya bertumpu pada pertanian itu. Apalagi, dalam penyelenggaraan ajang olahraga internasional di Buriram, warga lokal dilibatkan.
Dalam penyelenggaraan MotoGP, misalnya, layanan transportasi gratis bagi penonton menuju sirkuit menggunakan truk terbuka milik petani. Truk-truk yang biasanya digunakan untuk mengangkut hasil pertanian ini disulap menjadi angkutan shuttle. Tempat duduk di bak truk dibuat dari tumpukan jerami yang ditutupi kain tradisional. Truk juga dihiasi dengan bendera dan spanduk hingga terlihat lebih semarak dan unik. Tak kurang dari 200 truk milik petani disewa untuk dijadikan shuttle.
Perajin cendera mata tradisional juga dilibatkan untuk memeriahkan acara. Salah satunya Kitti Klaharn (42), pembuat kerajinan hiasan lonceng sapi atau yang dalam bahasa setempat disebut tadok. Bersama ayahnya, Panom Klaharn (67), ia tidak hanya menjual tadok, tapi juga memperagakan cara membuatnya.
Perajin lain yang dilibatkan, di antaranya pembuat kain tenun, pembuat mainan dan hiasan tradisional spider flag, dan pembuat makanan tradisional. Di situ juga dipentaskan tari-tarian tradisional dan musik tradisional.
Selain berdampak positif bagi perekonomian, penyelenggaraan MotoGP juga mendorong perkembangan olahraga balap motor di Thailand. Hal ini terlihat dari keberadaan lima pebalap muda Thailand yang berlaga di Moto2, Moto3, dan MotoE.
Di luar olahraga otomotif, ajang olahraga bertaraf internasional lain yang juga digarap Thailand adalah golf. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka membangun lebih dari 100 lapangan golf dan menggelar ajang internasional secara rutin. Keberadaan ajang golf ini diklaim turut menaikkan ”kualitas” pengeluaran wisatawan mancanegara, dari sebelumnya sekitar 5.000 baht per hari menjadi 15.000 baht per hari. Cabang lain, seperti trilomba (triathlon), balap sepeda, dan lari maraton, juga tengah digarap serius.
Pengembangan wisata olahraga yang sudah dilakukan Thailand layak menjadi pelajaran berharga. Pengembangan olahraga yang dipadukan sebagai sarana pengembangan wisata, maupun sebaliknya, sejatinya bukan sekadar membangun arena dan menyelenggarakan sebuah ajang. Pelajaran ini penting mengingat pada tahun 2021 mendatang Indonesia direncanakan akan menggelar balapan MotoGP di Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat.