Relevansi Gelora Pertempuran Lima Hari Semarang di Era Kekinian
›
Relevansi Gelora Pertempuran...
Iklan
Relevansi Gelora Pertempuran Lima Hari Semarang di Era Kekinian
Semangat perjuangan yang ditunjukkan para pejuang dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang, Jawa Tengah, pada Oktober 1945, perlu direlevansikan dengan situasi perjuangan kekinian.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Semangat perjuangan yang ditunjukkan para pejuang dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang, Jawa Tengah, pada Oktober 1945, perlu direlevansikan dengan situasi perjuangan kekinian. Hal itu menjadi salah satu upaya untuk terus menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan mandiri.
Hal itu disampaikan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, pada peringatan Pertempuran Lima Hari di kawasan Tugu Muda, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (14/10/2019) malam. Acara peringatan disemarakkan aksi teatrikal dari sejumlah anak muda asal kota lumpia itu.
Pertempuran Lima Hari merupakan peristiwa yang terjadi di Semarang pada 14-18 Oktober 1945. Saat itu, ada laporan reservoir atau sumber air Siranda diracun Jepang. Dr Kariadi, Kepala RS Purusara hendak mengecek hal itu. Di perjalanan, Dr Kariadi dicegat oleh tentara Jepang. Ia pun tewas setelah dibunuh dengan keji.
Kemudian, terjadi pertempuran antara rakyat dan para tentara Jepang. Pertempuran itu memakan korban hingga 2.000 jiwa dari Indonesia dan lebih dari 800 jiwa dari pihak Jepang. Guna memeringati peristiwa itu, didirikan Tugu Muda di Kota Semarang, yang diresmikan Presiden Soekarno pada 1953.
Hendrar mengatakan, semangat perjuangan pada peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang perlu terus menyala. Sikap cinta tanah air yang ditunjukkan para pejuang kala itu perlu diteladani dan menjadi penyemangat untuk melanjutkan perjuangan di era saat ini.
Tentu, perjuangan sekarang bukan lagi mengangkat senjata. "Namun, untuk mengatasi berbagai persoalan di tengah masyarakat seperti kemiskinan, pengangguran, serta rob dan banjir. Oleh karena itu, semangat perjuangan dulu perlu dikoneksikan dan ditransfer ke masa saat ini," kata Hendrar.
Dengan perjuangan gigih, diharapkan ke depan, kemandirian bangsa dapat diraih begitu juga peningkatan martabat. Hal tersebut akan membawa kesenahteraan serta membawa Indonesia terus menjadi bangsa yang besar serta tidak melupakan dan menghormati para pahlawannya.
Ketua Teater Pitoelas, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, Daffa Afrialdo (20), mengatakan, aksi teatrik ditampilkan oleh 160 orang yang terdiri dari mahasiswa serta pelajar SMP dan SMA di Semarang. Ini merupakan ke-12 kalinya Teater Pitoelas dipercaya menjadi penanggung jawab aksi teatrikal.
Menurut Daffa, latihan dilakukan selama dua minggu. "Sebenarnya jalan ceritanya sama, mengamgkat kisah Pertempuran Lima Hari itu sendiri. Hanya, ada sedikit perbedaan pada pengemasannya, kami buat lebih baik menarik untuk ditonton. Juga ditambahi satu orang yang ketakutan saat perang," ujar dia.
Guna mengenang jasa para pahlawan, terutama yang terlibat dalam Pertempuran Lima Hari, Daffa menilai tradisi peringatan persitiwa itu perlu terus dilestarikan. Dengan demikian, meski generasi akan terus berganti, sejarah tidak akan terlupakan dan terhapuskan oleh apapun.
Adapun warga sudah mendatangi kawasan Tugu Muda sejak pukul 18.00. Mereka awalnya tidak bisa mendekat ke titik aksi teatrikal karena acara dimulai dengan upacara. Saat teatrikal dimulai, ratusan warga pun langsung mendekat. Sebagian besar merupakan anak-anak serta remaja.
Indah (23) warga Semarang Utara, Kota Semarang, mengatakan, Peringatan Pertempuran Lima Hari di Tugu Muda menjadi agenda tahunan yang ditunggu-tunggu. "Ini penting agar kita ingat terus akan peristiwa bersejarah di Semarang. Pertunjukan teaternya juga selalu seru," katanya.