Keragaman hayati adalah kado alam terbesar di negeri ini, tetapi kerap dipandang sebelah mata. Beragam sumber pangan utama yang membentuk kekayaan budaya kuliner kita diseragamkan menjadi beras dan, belakangan, gandum.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Keragaman hayati merupakan kado alam terbesar di negeri ini, tetapi kerap dipandang sebelah mata. Beragam sumber pangan utama yang membentuk kekayaan budaya kuliner kita telah diseragamkan menjadi beras dan, belakangan, gandum. Penyeragaman pangan itu, selain berdampak buruk bagi lingkungan dan ekonomi, juga merongrong kesehatan tubuh kita.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), porsi beras dalam memenuhi pangan pokok masyarakat hanya 53,5 persen pada 1954, sisanya dipenuhi dari ubi kayu 22,26 persen, jagung 18,9 persen, dan umbi-umbian 4,99 persen. Pada 1981, beras menempati porsi 81,1 persen, ubi kayu 10,02 persen, dan jagung 7,82 persen. Pada 1999, konsumsi ubi kayu tinggal 8,83 persen dan jagung 3,1 persen, dan kini nyaris hilang sebagai sumber pangan utama masyarakat.
Ironisnya, laju penurunan konsumsi sumber pangan nonberas ini terutama terjadi di perdesaan. Dalam periode 1996-2011, konsumsi ubi kayu menurun 4,4 persen per tahun di perkotaan, sementara di perdesaan 10 persen per tahun (Dokumen RPJMN 2015-2019).
Selain beralih ke beras, terjadi tren perubahan pola konsumsi ke bahan pangan gandum, yang 100 persen impor. Pada 2017, impor gandum impor kita 12,5 juta ton di 2017 (Index Mundi, 2019). Hal ini menjadikan Indonesia importir gandum terbesar di dunia pada tahun tersebut (Andreas, 2019).
Selain membebani ekonomi nasional, perubahan konsumsi ke gandum berpotensi memicu beragam persoalan kesehatan, di antaranya meningkatnya prevalensi penyakit celiac yang dipicu alergi gluten.
Tak hanya pengimpor gandum, Indonesia saat ini menjadi pengimpor besar untuk beragam jenis sumber pangan, bahkan beras. Sejak 1967-2018, Indonesia selalu mengimpor beras. Dalam kurun lima tahun terakhir, rata-rata impor beras mencapai 1,08 juta ton per tahun. Bahkan, pada 1984, ketika Indonesia mendapat penghargaan FAO karena dianggap berhasil swasembada, tetap saja ada impor beras sebanyak 414.300 ton.
Sekalipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menggenjot produksi beras nasional, termasuk dengan cetak sawah baru, dipastikan hal ini tidak akan bisa mengimbangi pertumbuhan penduduk. Justru, cetak sawah baru yang dilakukan secara masif di berbagai kondisi ekosistem, termasuk lahan gambut Kalimantan dan Papua, membawa berbagai persoalan ekologi, selain budaya.
Tidak cocok
Kondisi alam kita memang tidak semuanya cocok untuk padi sawah. Sebagian besar daratan Indonesia merupakan lahan kering, selain rawa gambut. Meski demikian, di lahan-lahan yang selama ini dianggap marjinal, sebenarnya tumbuh beragam sumber bahan pangan.
Sebelum padi sawah menjadi dominan, kita kaya dengan beragam tanaman biji-bijian lain yang tumbuh di lahan kering. Menurut Blench (2012), kata jawa dalam bahasa Austroasiatik masyarakat Aslian-Malaysia artinya sorgum, sedangkan dawa dalam bahasa Austronesia di Taiwan dan Filipina merupakan sebutan untuk jewawut.
Jadi, asal mula penyebutan Pulau Jawa atau juga dilafalkan dawa adalah karena wilayah ini merupakan penghasil biji-bijian, seperti jawawut, sorgum, dan jelai. Penggunaan kata jawa untuk menyebut biji-bijian ini masih berlaku hingga datangnya Zea mays dari Amerika Latin di awal abad ke-19 oleh para kolonial Barat (Denys Lombard, 2005). Karena biji-bijinya yang besar, disebutlah sebagai jagung atau ”jawa agung”.
Sekalipun sorgum merupakan tanaman asli Afrika, adaptasinya yang telah lama membuat Indonesia pernah menjadi sumber penting plasma nutfah tanaman ini. Buktinya, Amerika Serikat yang kini menjadi produsen sorgum terbesar di dunia pernah mengimpor benih sorgum dari Indonesia, persisnya dari Pulau Jawa. Sebagaimana tertera dalam dokumen Inventory of Seeds and Plants Imported by The Office of Foreign Seed and Plants Introduction During the Period from July 1 to September 30, 1914, mereka mengimpor 19 jenis benih sorgum dari Pulau Jawa.
Selain biji-bijian, hampir di semua daerah memiliki umbi-umbian, seperti ubi jalar dan talas, yang bisa tumbuh di lahan kering dan sedikit berair. Papua, yang pada 2018 dilanda bencana gizi buruk, merupakan pusat umbi. Sebanyak 224 kultivar ubi jalar ditemukan di Lembah Baliem dan Wissel, di Anggi tercatat 60 kultivar. Bahkan, domestifikasi pertama talas di dunia kemungkinan dilakukan leluhur orang Papua, yang terlihat dari jejak pembukaan hutan di Baliem 7.000-6.000 tahun lalu.
Indonesia juga menjadi pusat asal dan keragaman tanaman pisang. Dari 66 jenis pisang (Musa) di dunia, terdapat 12 jenis di Indonesia. Paling sedikit terdapat 15 varietas liar Musa acuminata yang tersebar dari Aceh hingga Papua (Nasution 1991 dalam Suhendra dkk, 2014).
Sementara karbohidrat dari batang tanaman terdapat pada sagu yang di masa lalu tersebar mulai dari Papua, Jawa, hingga Aceh. Salah satu jejak tertulis tertua tentang keberadaan sagu di Nusantara terdapat pada Prasasti Talang Tuo dari abad ke-7. Prasasti itu menyebutkan tentang Taman Śrīksetra yang dibuat Raja Sriwijaya yang ditumbuhi dengan aneka tumbuhan, antara lain pohon sagu, kelapa, pinang, bambu, dan aren.
Hingga abad ke-13, sagu masih menjadi bagian diet yang penting bagi masyarakat di bagian barat Nusantara. Ini misalnya terlihat dari catatan Marco Polo di Sumatera. Saat berada di Fansur, sekarang disebut Barus yang berada di perbatasan Aceh Singkil, Marco Polo melihat masyarakat membuat pati dari tanaman sejenis kelapa (baca: sagu).
Menyambut Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2019 yang mengusung tema ”Our action are our future”, kita harus mendasarkan pemenuhan pangan berbasiskan keragaman sumber hayati Nusantara. Kita barangkali tidak akan pernah bisa mencapai swasembada beras, tetapi kita seharusnya bisa swasembada pangan.