Ratusan rumah warga di Kecamatan Simeulue Tengah, Kabupaten Simeulue, Aceh, terendam banjir sejak Rabu malam hingga Kamis (17/10/2019). Aktivitas warga terganggu dan sejumlah warga mengungsi.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Ratusan rumah warga di Kecamatan Simeulue Tengah, Kabupaten Simeulue, Aceh, terendam banjir sejak Rabu malam hingga Kamis (17/10/2019). Aktivitas warga terganggu dan sejumlah warga mengungsi.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Sunawardi mengatakan, banjir dipicu hujan deras sehingga menyebabkan Sungai Latitik meluap. Rumah warga di beberapa desa di sepanjang sungai itu terendam banjir. Saat banjir mulai menggenangi permukiman, warga sedang tidur. Mengetahui banjir, warga segera mencari lokasi aman.
”Ketinggian air rata-rata mencapai 20 sentimeter (cm) sampai 100 cm. Saat ini air mulai surut,” kata Sunawardi.
Sebanyak 410 warga mengalami dampak banjir, tetapi tidak ada korban jiwa dalam bencana itu. Tim penanggulangan bencana melakukan pendataan dampak bencana.
Kepala Bagian Humas Pemkab Simeulue Dodi Juliardi menuturkan, beberapa sekolah terpaksa diliburkan lantaran halaman sekolah tergenang banjir. ”Saat ini air sudah surut, besok sekolah sudah aktif kembali,” katanya.
Memasuki akhir tahun, potensi hujan kian sering melanda Aceh. Tim penanggulangan bencana kabupaten/kota bersiaga terhadap potensi banjir. Bencana banjir dan longsor kerap melanda beberapa kabupaten/kota di Aceh.
Daerah yang menjadi langganan banjir, di antaranya, Aceh Utara, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Singkil, Nagan Raya, Aceh Barat, dan Subulussalam. Banjir kerap terjadi di kawasan yang sama, misalnya di Aceh Utara kawasan Lhoksukon, di Pidie kawasan Tangse, dan Aceh Jaya kawasan Teunom.
Berdasarkan catatan BPBA pada 2018, terjadi 90 kali banjir dengan nilai kerugian mencapai Rp 115,4 miliar. Kerugian dihitung dari nilai kerusakan infrastruktur, lahan pertanian, dan rumah warga.
Pemerintah belum punya rencana pembangunan berbasis mitigasi bencana hidrologi. Pengaturan penggunaan lahan dalam rencana tata ruang tidak mempertimbangkan fungsi kawasan.
Dari catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, dalam setahun, kerugian yang ditimbulkan bencana hidrologi di Aceh mencapai Rp 1,5 triliun. Walhi menghitung dari kerusakan fasilitas publik, lahan pertanian, dan potensi pendapatan warga dari lahan tersebut. Banjir juga mengakibatkan terganggu pelayanan publik, sekolah diliburkan, dan aktivitas ekonomi tidak lancar.
Menurut Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur, pemerintah belum punya rencana pembangunan berbasis mitigasi bencana hidrologi. Pengaturan penggunaan lahan dalam rencana tata ruang tidak mempertimbangkan fungsi kawasan. Dia mencontohkan, kawasan rawa gambut di Kuala Tripa, Nagan Raya, yang seharusnya menjadi kawasan tangkapan air justru dijadikan hak guna usaha perkebunan sawit. Akibatnya, saat musim hujan di akhir tahun, Nagan Raya kerap dilanda banjir.
Nur menambahkan, begitu juga dengan Aceh Singkil. Sebagian besar lahan telah dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. ”Hampir di semua daerah persoalannya sama, yakni alih fungsi lahan dan kerusakan hutan,” ujarnya.