Bayangan Kematian
Kompas/Supriyanto Cartoons
Suatu malam entah kapan, aku berjalan di sebuah jalan yang sepi, berbelok. Lalu berjalan lagi sekitar dua sampai tiga detik, menempuh tiga sampai lima meter, yang tak bisa kuingat pasti, sebelum sebuah jip berwarna hijau lumut dari arah berlawanan menghantamku. Keras sekali, melindas tubuhku, hingga aku merasa aku tak benar-benar hidup.
Akan tetapi, aku juga merasa tak benar-benar mati. Mataku masih dapat melihat walaupun tak ada yang terlihat; hidungku masih dapat menghirup walaupun tak jelas apa yang kuhirup; telingaku masih bisa mendengar walau tak ada yang terdengar. Apa pentingnya status hidup atau mati jika aku tetap bisa merasakan diriku sebagai aku? Lagipula, siapa yang bisa memastikan bahwa orang-orang yang kutemui, yang bercakap-cakap denganku, ataupun yang sekadar berpapasan denganku, benar-benar masih hidup?
Yang kuingat malam itu, waktu aku ditabrak, jip itu berhenti lama sekali, dalam kondisi mesin masih menyala dan mengepulkan asap. Si pengendara tak kunjung keluar dari jipnya. Mungkin dia takut digebuki warga. Berbondong-bondong orang datang ke lokasi. Bukan untuk menolong, tetapi hanya ingin menonton. Aku terbujur di aspal. Pekat malam tanpa cahaya lampu mengaburkan merah darah yang tercecer di aspal.
Sekejap kemudian, aku merasa aku baik-baik saja, dalam arti bahwa jasadku tetap utuh, kembali sebagaimana semula. Orang-orang juga tak lagi memperhatikanku, bahkan tak mengenaliku.
Aku kemudian berjalan dan seketika tiba di sebuah permukiman padat penduduk. Aku berjalan menyusuri sebuah gang sempit, yang di kanan kirinya terdapat rumah penduduk bertingkat-tingkat. Kekumuhan tampak di mana-mana. Jemuran pakaian penduduk dirubungi lalat. Beberapa jendela dari rumah-rumah itu terbuka.
Aku berjalan dengan tujuan yang tak bisa kupastikan, tapi aku terus saja melangkah dengan langkah kecil-kecil seraya mengukur setiap jengkal langkah yang kulangkahkan tanpa benar-benar mengukurnya secara benar. Lalu aku menyinggahi salah satu rumah warga, bercakap-cakap dengan pemilik rumah yang cukup ramah. Dari lorong rumahnya yang tak begitu luas, kulihat tiga perempuan agak muda sedang membungkusi entah apa dari baskom ke dalam plastik kecil-kecil. Kulihat, itu seperti garam, tapi aku merasa itu bukan garam.
Tiba-tiba, dua pria berkulit hitam berambut cepak berbadan gempal datang begitu saja tanpa kuketahui datangnya kapan dan dari mana, membekapku dari belakang, menyuntikkan sesuatu ke leherku yang aku tak tahu cairan apa, tapi kuyakini itu mematikan, hingga aku jatuh tak sadarkan diri.
Aku tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri. Ketika aku membuka mata, tahu-tahu aku berada di sebuah ruangan temaram. Tak ada apa-apa kecuali sedepa kasur tempat aku terbujur, sebatang besi tebal tempat menyangkutkan pakaian yang melintang di atasku, dan beberapa botol pelembab kulit yang tutupnya terbuka. Seorang perempuan muda yang tak kukenal, tapi wajahnya tak asing, masuk ke ruangan tempatku berada, membawa sesuatu di tangannya.
Ia menyilakanku minum saat aku mencoba mengenali siapa dirinya. Saat itu aku baru sadar bahwa aku telanjang. Aku terkesiap, tapi tak sempat menutupi tubuhku sebab perempuan muda itu lebih dulu membantuku duduk dan memegang bahuku dengan kedua tangannya.
”Kau tidur pulas sekali,” katanya.
Aku tak membalas karena aku tak bisa membalas—aku tak bisa mengeluarkan suara. Aku mencoba berbicara, tapi tak bisa didengarnya. Pada saat itu kurasakan seekor nyamuk, mungkin seekor nyamuk, tapi ukurannya besar sekali, menggigit betisku. Aku tak begitu yakin itu nyamuk tapi yang pasti, gigitannya membuat pendengaranku tak berfungsi. Selanjutnya aku tak lagi bisa mendengarkan perempuan itu bicara, tetapi dia terus berbicara seakan-akan aku adalah orang paling menyenangkan untuk diajaknya bicara. Lalu, suara bising datang dari salah satu titik lekuk telingaku, membikin aku tak bisa mendengar sama sekali dan akhirnya juga tak bisa merasakan apa-apa.
Dalam kebisingan itu, dengan harapan yang meronta-ronta yang membuat situasi menjadi tak terkendali, aku berusaha untuk tetap tenang, mencoba mengurainya pelan-pelan, mengalihkan pikiran, pergi melayang ke mana saja yang aku anggap bisa menenangkan.
Pertama-tama, yang kutuju adalah sebuah jalan sepi yang pernah aku lalui suatu kali pada suatu masa yang aku lupa kapan persisnya. Di sana, aku berdiri, memandang jauh ke kaki langit, dan dari sana aku melihat seperti ada air, menggenang, bergelombang, dan sinar matahari terpantul di atasnya, dan gelombang-gelombang itu tampak berderai seperti ekor api. Tak lama kemudian, dari ujung sana seorang lelaki muncul, seakan jalan yang dilaluinya merupakan sebuah lembah. Laki-laki itu naik dan tubuhnya semakin lama semakin tinggi, mendekat, dibiasi oleh gelombang ekor api. Ia berkaca mata hitam, berjaket kulit hitam, badannya tegap dan besar. Sekonyong-konyong ia melepaskan tembakan ke arahku, dan tepat bersarang di dada kiriku, lalu ke perutku sebelah kanan, dan seketika itu aku roboh. Tapi aku segera menghilang.
Tak berhasil menemukan ketenangan di jalan itu, selanjutnya dengan tergopoh-gopoh aku melarikan diri, jauh, jauh sekali, hingga tibalah aku di sebuah pulau kecil yang sepengetahuanku belum bernama. Ombak kecil mendekatiku dengan ramah. Kubasuh wajah beberapa kali meskipun aku tahu itu air asin. Kutatap laut lepas sambil masih berjongkok, sampai aku menyadari bahwa tak jauh dariku, sejumlah orang, yang menurut dugaanku mereka adalah penduduk asli pulau itu, memperhatikanku dengan sigap. Mereka merasa terancam dengan kehadiranku.
”Aku hanya sebentar saja di sini. Aku tak akan mengganggu kalian!” aku berteriak melawan deru ombak yang menenggelamkan suaraku.
Mereka sepertinya tak mendengarku. Mereka terus mendekatiku. Pakaian mereka yang terbuat dari dedaunan kering, tubuh mereka yang legam berkilau tersiram sinar matahari, seringai mereka yang menampakkan gigi-gigi merah dan runcing, membuatku bergidik. Cepat-cepat aku lari, lari lagi, dan lari lagi.
Nyaris saja aku frustrasi karena rasanya tak ada tempat bagiku untuk mendapatkan ketenangan. Sampai kemudian, aku tiba di sebuah ladang mentimun, bersebelahan dengan pematang sawah, di tepi sebuah sungai, yang menurut orang-orang, bernama Sungai Ular. Kupetik satu mentimun yang paling besar, yang sangat membantu menghilangkan dahaga karena aku sedang sangat haus.
Kususuri tepian sungai. Di pinggirnya tumbuh gelagah-gelagah hingga menyerupai tebu karena saking suburnya. Perlahan, kebisingan yang ingin kuredam sedari tadi hilang. Suara perempuan muda yang tadi bercakap-cakap denganku, akhirnya bisa kudengar lagi.
Percakapanku dengan perempuan itu berpindah. Bukan lagi di ruangan temaram di mana aku dalam keadaan telentang dan telanjang, tetapi di ladang mentimun! Kami menyiangi daun-daun yang menguning bersama, menyusuri sawah, menyimak pengeruk-pengeruk pasir tradisional yang sejak tadi timbul tenggelam dengan tapisan di tangan sambil mengendus-endus seperti kerbau, melempar beberapa batu kecil ke sungai yang mengalir bersama-sama.
Akan tetapi, rupanya aku terlalu gegabah menganggap sungai itu sebagai tempat yang paling kuinginkan sebagai pelarian. Justru di sungai itu, kami, aku dan perempuan itu, ditangkap. Lalu kami diikat. Mata kami ditutup dengan kain hitam. Kami disatukan dengan orang-orang lain yang kudengar tangisnya memelas meminta ampunan. Dalam sekejap, dalam hitungan waktu yang tak memiliki satuan, kami semua melayang ke udara, menjadi angin tak berbentuk, melambung tinggi bersama gumpalan udara yang lebih besar yang juga melayang bersama kami, memandangi sungai itu dengan tangan menggapai-gapai.
Pada suatu masa, aku masih tetap tak yakin, apakah aku masih hidup atau sudah mati. Jika dikatakan mati, kenapa aku masih bisa melihat? Kalaupun aku sudah mati, aku tetap ada, bukan? Yang kuingat, setelah aku tertidur pulas di ruangan temaram bersama perempuan itu, aku masih sempat pulang ke rumah. Meskipun pada saat itu aku tahu aku diracuni.
Perempuan itu, atas perintah entah siapa, yang kutahu hanya bahwa yang memerintahnya adalah seorang pria yang wajahnya samar-samar, memasukkan setetes cairan mematikan ke dalam botol air mineral yang kupesan sebelum aku memasuki ruangan itu. Dan karena kesanggupanku mengingat itu, aku merasa aku tak benar-benar mati, tapi juga sekaligus tak benar-benar hidup.
Ketika memikirkan ini semua aku sedang melangkah di sebuah jalan yang sunyi dan memperhatikan segala arah dengan awas. Lalu aku berbelok di satu tikungan, dan dari arah berlawanan, sebuah jip hijau lumut melaju kencang.
___________________________
Abul Muamar, lahir di Perbaungan, 6 November 1988. Bergiat di Sahabat Gorga. Menulis reportase, esai, dan cerpen dan telah tayang di beberapa media seperti Tirto.id, Detik.com, Republika, dan Mojok.com.