Indonesia membantu kami memiliki ’rumah’ dengan adanya Perjanjian Damai Paris tahun 1991. Akan lebih baik lagi jika Indonesia juga membantu kami menata rumah itu melalui kerja sama ekonomi Indonesia-Kamboja.
Oleh
Iwan Santosa
·5 menit baca
Awal pekan ini di pinggir Kota Phnom Penh, Kamboja, Senin (14/10/2019), tepatnya di lapangan upacara sebuah barak militer, puluhan prajurit berkulit sawo matang melakukan pertarungan bebas. Seragam loreng mereka persis seragam PDL TNI, dengan sepatu lars hitam dan ikat kepala merah.
Mereka bertarung dengan tangan kosong merebut pisau, merebut senapan lawan, dan memecahkan kendi yang tengah dipegang seorang prajurit di ketingian 2 meter dengan sekali tendangan.
Gerak-gerik pertarungan mereka mirip peragaan pertarungan bebas dalam acara-acara TNI, terutama di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat. Cara membanting badan lawan, merampas senjata, dan pertarungan satu melawan tiga musuh diperagakan di hadapan ribuan pengunjung warga Kamboja, para Atase Pertahanan (Athan) Eropa, Australia, Asia, serta tamu undangan sipil dari Vietnam, Tiongkok, Jepang, dan Indonesia.
Tidak heran mengingat para prajurit tersebut memang anak didik langsung Kopassus. Mereka adalah anggota Brigade 911 dengan baret merahnya dan badge Kera Sakti Hanoman yang disegani di Kamboja dan negara tetangga di daratan Asia Tenggara. Semula Brigade 911 adalah bagian dari Brigade 70 yang menjaga Ibu Kota Phnom Penh dan obyek-obyek vital di sana.
”Tadinya mereka berada di bawah Brigade 70. Sekarang mereka berdiri sendiri, tetapi tetap berhubungan baik dengan brigade kami. Demikian pula, hubungan kami dengan militer Indonesia,” kata Mayor Sok Serey Both, teman lama penulis yang bertugas di Brigade 70 RCAF.
Brigade 911 adalah Pasukan Khusus Angkatan Darat Kamboja (Royal Cambodian Armed Forces/RCAF) yang setiap tahun mengirim siswa-siswanya untuk mengikuti pendidikan komando di Pusdik Passus Batujajar, Jawa Barat, Indonesia.
Atase Pertahanan Republik Indonesia untuk Kerajaan Kamboja Kol (Inf) I Nyoman Sukasana mengatakan, hubungan militer Kamboja dan Indonesia termasuk dengan Kopassus TNI AD memang sangat dekat.
”Sejak awal perjanjian damai Kamboja, posisi Athan RI di Kamboja selalu diisi personel dari Kopassus TNI AD. Itu tradisi yang berlangsung sampai sekarang,” kata Sukasana yang lulusan Akademi Militer tahun 1994.
Republik Indonesia juga turut membantu Kerajaan Kamboja mendirikan pusat pelatihan pasukan khusus Brigade 911 di Distrik Angsnoul, Provinsi Kandal, yang bersebelahan dengan Ibu Kota Phnom Penh.
Beberapa teman pejabat di Kamboja yang ditemui penulis selalu memuji pendidikan yang diberikan Kopassus TNI AD dan berbagai bantuan yang diberikan Pemerintah Republik Indonesia kepada saudaranya, Bangsa Khmer, hingga tercapai Perjanjian Damai Paris tahun 1991.
Belum lama ini, tanggal 13 Juli 2019, Menteri Pertahanan RI Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu juga meresmikan Monumen Persahabatan Indonesia-Kamboja di Kota Kompong Thom. Kota ini adalah salah satu tempat penugasan Pasukan Garuda dalam kurun 1992-1993. Sebanyak 3.957 personel ABRI ketika itu ditugaskan membantu menjaga perdamaian di Kamboja di bawah mandat UNTAC PBB.
Kedekatan tersebut, menurut Athan RI, membuat Indonesia selalu mendapat tempat khusus dalam acara diplomatik di Kamboja. Tempat duduk khusus dan berbagai perhatian selalu diberikan kepada Athan dan tamu Indonesia dalam berbagai kesempatan acara militer Kamboja.
Athan Kerajaan Kamboja untuk Republik Indonesia Brigjen Chanroen Angkeara juga memuji pelatihan dan disiplin yang diajarkan Kopassus kepada para prajurit Brigade 911. Chanroen tercatat sebagai alumni Sekolah Komando angkatan 78 di Pusdik Batujajar yang menyatakan sangat bangga dengan almamaternya.
Kenangan terhadap Kopassus dan persaudaraan sesama alumni pendidikan Komando di Batujajar itu memang membekas kuat. Wartawan senior, Dudi Sudibyo, dalam satu kesempatan mengisahkan, sempat bertemu seorang warga Kamboja yang selamat dari zaman rezim Khmer Merah. Setelah mengetahui Dudi berasal dari Indonesia, warga tersebut mengeluarkan harta pusakanya berupa ”pisau komando” yang diperolehnya dari Pusdik Passus Batujajar pada 1970-an.
”Sampai kapanpun pisau komando ini akan saya simpan sebagai kenangan hidup saya pernah menjadi prajurit komando dan dilatih Kopassus,” ujar Dudi Sudibyo menirukan kesaksian warga Kamboja yang sudah berusia lanjut itu.
Salah satu bukti kepiawaian ”Kopassus Cabang Kamboja” alias prajurit Brigade 911 ini terlihat saat krisis perbatasan Kamboja-Thailand di Candi Preah Vihear tahun 2008. Kasus ini membuat PBB turun tangan mendorong perundingan damai kedua negara.
Pasukan Brigade 911 diturunkan Kamboja untuk menjaga wilayah (hold ground) sekitar Candi Preah Vihear. Hingga krisis berakhir damai, tentara Thailand tidak pernah menyerbu masuk posisi pertahanan pasukan Kamboja yang notabene hasil didikan Kopassus TNI AD itu.
Saat penulis menonton perayaan HUT ke-25 Brigade 70 Angkatan Darat Kamboja di pinggiran Kota Phnom Penh, rangkaian acara dimulai dengan defile Pasukan Anti Teror, Korps Perempuan, Korps Tanggap Bencana, hingga defile berbagai kendaraan tempur, seperti skadron tank T-62, PT-76, kendaraan angkut lapis baja BTR, berbagai meriam penangkis serangan udara, kendaraan angkut, hingga truk dan jip militer.
Puncak acara adalah peragaan pertempuran perorangan para prajurit Brigade 911 hasil tempaan Pusdik Passus Batujajar yang setiap aksinya disambut tepuk tangan pengunjung.
Diplomasi militer Indonesia yang sudah baik ini semoga ditindaklanjuti dengan kerja sama ekonomi di Kamboja yang saat ini tengah gencar membangun berbagai infrastruktur jalan, kereta api, pelabuhan, dan berbagai kota besar, termasuk konektivitas transportasi dengan Thailand, Vietnam, Laos, serta China.
”Indonesia membantu kami memiliki ’rumah’ dengan adanya Perjanjian Damai Paris tahun 1991. Akan lebih baik lagi jika Indonesia membantu kami juga untuk menata rumah tersebut melalui kerja sama ekonomi Indonesia-Kamboja,” kata Mayor Sok Serey Both dari Brigade 70 yang selalu mengatakan Indonesia dan Kamboja adalah keluarga serumpun yang lama terputus hubungan karena kolonialisme Eropa. (IWAN SANTOSA dari Phnom Penh, Kamboja)