Apresiasi Publik dan Tantangan Ekonomi
Kepuasan publik atas kinerja ekonomi pemerintahan Presiden Jokowi tak lebih baik dibandingkan bidang lain. Namun, pemerintah telah berupaya menjaga stabilitas ekonomi di tengah kegaduhan domestik dan bayangan krisis global.
Survei Litbang Kompas terhadap kepuasan masyarakat atas kinerja pemerintahan secara berkala sejak 2015 hingga Oktober 2019 memperlihatkan ekonomi hampir selalu mendapat apresiasi terendah dibandingkan tiga bidang lain, yakni politik dan keamanan, hukum, serta kesejahteraan sosial. Selama rentang lima tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kepuasan publik terhadap kinerja ekonomi berkisar 33 persen hingga 55 persen.
Pada masa enam bulan terakhir periode pertama Presiden Jokowi, kepuasan terhadap kinerja ekonomi cukup moderat di angka 49,8 persen. Dikatakan moderat karena ketidakpuasan pernah mewarnai perekonomian domestik pada enam bulan pertama Presiden Jokowi memerintah. Pada survei April 2015, kepuasan publik terhadap kinerja ekonomi hanya di angka 33,5 persen. Titik terendah sepanjang lima tahun.
Sejak awal periode 2014-2019, pemerintahan Presiden Jokowi sudah dihadapkan pada pekerjaan rumah yang selama puluhan tahun belum menampakkan hasil, yaitu membangun sektor industri juga sektor pertanian yang bisa menjadi kunci menggerakkan ekonomi.
Namun, pada awal pemerintahan Jokowi-Kalla, kebijakan di dua sektor itu belum tampak. Ditambah lagi nilai tukar rupiah memburuk, mencapai Rp 13.000 per dollar AS pada awal tahun 2015. Saat itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mencapai titik terendah sejak krisis 1998.
Memasuki tahun kedua pemerintahan, apresiasi terhadap kinerja ekonomi mulai meningkat. Hal itu tidak lepas dari pergantian menteri di bidang ekonomi (Agustus 2015) dan dikeluarkannya paket-paket kebijakan ekonomi sejak September 2015 (tahap I) yang menumbuhkan harapan baru. Apresiasi terhadap kinerja bidang ekonomi selanjutnya mengalami tren naik dan puncak tertingginya terjadi pada Oktober 2017, saat pemerintahan berjalan tiga tahun.
Pemerataan
Meski secara umum tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja ekonomi tak terlalu tinggi, terdapat beberapa hal spesifik yang mendapat apresiasi positif. Pertama, pemerintahan Jokowi dianggap berhasil memeratakan pembangunan antarwilayah. Terkait hal ini, kepuasan publik tertinggi pada aspek itu mencapai 71,1 persen pada April 2018.
Upaya pemerataan pembangunan dilakukan dengan membangun infrastruktur secara masif yang meliputi jalan tol, jalan trans, jalur kereta api, pelabuhan, bandar udara baru, kereta api bandara, termasuk tol laut. Jaringan irigasi dan bendungan tak lupa dibangun. Daerah terpencil dan perbatasan mendapat perhatian besar. Selama periode 2015-2019, anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur mencapai Rp 1.739,2 triliun.
Kedua, dalam pemerintahan Presiden Jokowi selama lima tahun terakhir, masyarakat menganggap pemerintah berhasil mengembangkan pasar tradisional yang menjadi sentra ekonomi rakyat (tingkat kepuasan publik 56-70 persen). Termasuk juga memberdayakan rakyat kecil seperti petani dan nelayan (47-63 persen).
Sebenarnya, pemerintahan Presiden Jokowi cukup berhasil menjaga kestabilan harga barang kebutuhan pokok. Angka inflasi tahunan selama 2015-2019 dapat ditekan di bawah 4 persen. Turunnya inflasi ikut disumbang oleh merosotnya harga minyak dunia.
Meskipun demikian, kepuasan publik terkait upaya pemerintah mengendalikan harga barang dan jasa tidak begitu tinggi. Hanya berada di kisaran 22 persen hingga 48 persen. Hal ini menunjukkan ada kesenjangan antara harga riil barang/jasa dan ekspektasi publik yang memunculkan ketidakpuasan.
Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tinggi di awal pemerintahan akhirnya menyesuaikan kondisi riil karena pertumbuhan tinggi sulit dicapai meski infrastruktur yang menjadi ”darah” bagi perekonomian sudah diprioritaskan. Pertumbuhan ekonomi selama periode pertama pemerintahan Jokowi berada di bawah 5,2 persen.
Tantangan berat
Awal periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi dihadapkan pada tantangan yang kian berat. Pada tahun 2020, banyak kalangan memprediksi bakal terjadi resesi global. Kerentanan ekonomi Indonesia akan bertambah disebabkan oleh baik faktor eksternal maupun internal.
Secara eksternal, perekonomian Indonesia akan terdampak oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Perang dagang ini menimbulkan ketidakpastian pada banyak negara baik. Nilai tukar rupiah yang kini bertahan di angka sekitar Rp 14.000 per dollar AS masih rentan berfluktuasi.
Secara internal, ketahanan ekonomi kita sedang rapuh. Dalam laporan terkininya, 30 September 2019, lembaga investasi Moody’s menyebutkan Indonesia bersama India paling rentan terhadap memburuknya kemampuan pembayaran utang korporasi sehingga memiliki risiko gagal bayar yang tinggi jika kondisi makroekonomi melemah. Utang swasta Indonesia saat ini sudah mencapai Rp 5.048,7 triliun per Juni 2019.
Sebelumnya, laporan McKinsey pada Juli 2019 juga mengungkap ada tekanan pada sektor keuangan yang meningkat akibat utang korporasi yang tinggi. Untuk Indonesia, laporan McKinsey menunjukkan kemampuan perusahaan membayar bunga utang rendah, yaitu 32 persen dari utang jangka panjang korporasi. Angka ini lebih rendah dibandingkan kemampuan China (37 persen) dan India (43 persen).
Dua laporan ini menjadi peringatan bagi Indonesia bahwa ketidakmampuan membayar utang dapat memicu krisis keuangan. Indikator kerentanan lainnya muncul dari laporan Forum Ekonomi Dunia yang menyebut peringkat daya saing Indonesia tahun ini menurun dari posisi ke-45 ke posisi ke-50. Skor daya saing Indonesia turun 0,3 poin dari tahun sebelumnya menjadi 64,6, dari skala maksimal 100. Indikator yang memburuk menyangkut kualitas sumber daya manusia pada aspek kesehatan, pendidikan, kemampuan inovasi, penelitian, dan pengembangan.
Beberapa hal yang menjadi keunggulan adalah stabilitas makroekonomi yang dilihat dari indikator inflasi, juga infrastruktur transportasi dan angkutan. Sayangnya, keunggulan-keunggulan ini belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Selama ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia bergantung pada komoditas yang sedang booming, seperti kelapa sawit. Namun, turunnya harga membuat pertumbuhan ekonomi sulit beranjak dari 5 persen. Pertumbuhan ekonomi yang rendah akan berpengaruh pada penerimaan negara. Jika penerimaan negara menurun, potensi utang untuk menutup anggaran belanja akan naik.
Sudah saatnya, kebijakan ekonomi untuk periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi tidak lagi hanya bertumpu pada stabilitas dan pemerataan. Mewujudkan pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin harus diupayakan untuk menghindari krisis. Untuk itu, menyelesaikan pekerjaan rumah, yakni fokus mengembangkan sektor industri dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, perlu menjadi prioritas. (LITBANG KOMPAS)