Celah Pembeda Citra Jokowi dan Kalla
Bagi Presiden Joko Widodo yang akan melanjutkan pemerintahannya pada periode kedua, beban berat persoalan menanti. Sebaliknya, bagi Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengakhiri jabatannya, ia justru makin berlimpah apresiasi.
Hasil survei Kompas pada akhir masa jabatan kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan wakilnya, Jusuf Kalla, menunjukkan, kinerja mereka lebih banyak disikapi secara positif oleh masyarakat. Semenjak mulai berkuasa pada Oktober 2014 lalu hingga kini, Oktober 2019, lebih dari separuh bagian responden menyatakan puas.
Memang terdapat beberapa dinamika penilaian dalam kurun waktu tersebut. Ada masa tatkala keduanya dinilai sangat memuaskan, mampu meyakinkan hampir tiga perempat bagian publik (72,2 persen). Akan tetapi, terdapat pula era saat tingkat kepuasan berada dalam titik terendah (53,8 persen). Namun, dari rentetan survei yang dilakukan, tampak kedua sosok terhindar dari, ataupun mampu menghindari, ”krisis” kepercayaan publik yang berkepanjangan.
Dengan catatan kinerja positif yang dicapai selama memerintah, tak mengherankan, Jokowi kembali terpilih menjadi presiden. Berdasarkan hal ini, pilihan publik masih tergolong rasional. Artinya, keberlanjutan rezim merupakan konsekuensi logis dari preferensi bagian terbesar publik terhadap apa yang dihasilkan Jokowi dan Kalla lima tahun terakhir.
Bagi Kalla tidak demikian. Semenjak pupus kesempatan baginya mengulang jabatan sebagai wakil presiden, dengan sendirinya ia tak lagi menjadi bagian dalam periode kedua pemerintahan.
Namun, di balik perbedaan kesempatan politik yang dimiliki kedua pemimpin, menarik untuk mencermati relasi ”dwitunggal” Jokowi-Kalla yang terbangun dalam lima tahun terakhir. Lebih khusus lagi dalam kacamata pandang publik ketika keduanya berjalan beriring sehingga saling membuahkan capaian kinerja pemerintahan. Pertanyaannya, apakah memang dinamika capaian kinerja pemerintahan yang terbangun selama ini selalu berjalan paralel dengan citra sosok keduanya?
Jika relasi kinerja pemerintahan dan citra sosok yang dijadikan dasar kajian, lima tahun jalannya pemerintahan tidak selalu menunjukkan keterpaduan di antara kedua pemimpin. Tinggi ataupun rendahnya derajat penilaian publik terhadap kinerja kabinet lebih cenderung dideterminasi oleh kekuatan sosok Presiden Jokowi (Grafik 1).
Berdasarkan grafik ini, terlihat jelas bahwa perubahan apresiasi publik sepanjang lima tahun terakhir berjalan paralel dengan laju perubahan citra Presiden Jokowi. Pada saat terjadi peningkatan apresiasi terhadap pemerintahan, saat itu pula ada peningkatan citra masyarakat terhadap sosok Jokowi. Begitu pula sebaliknya, pada saat terjadi penurunan apresiasi terhadap kinerja pemerintah, di saat itu pula ada penurunan citra Jokowi.
Relasi kinerja dan citra
Jika dihitung menggunakan analisis korelasi, koefisien hubungan di antara kedua variabel (derajat kepuasan kinerja dan citra Jokowi) yang sebesar 0,85 mengindikasikan pola hubungan sangat erat. Artinya, semakin tinggi kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah, semakin tinggi pula citra positif yang terbangun pada sosok Jokowi.
Bagaimana relasi yang terbentuk antara kinerja pemerintahan dan citra Kalla? Jika ditelusuri semenjak awal dan berakhirnya periode pertama pemerintahan, umumnya terdapat pula hubungan yang bersifat positif. Dalam hal ini, semakin besar apresiasi yang dinyatakan publik terhadap kinerja pemerintahan, semakin besar pula citra yang terbentuk terhadap sosok Kalla.
Sebaliknya, semakin rendah penilaian terhadap kinerja pemerintah, semakin rendah citra Kalla. Namun, dibandingkan derajat kualitas hubungan yang terbentuk dengan Jokowi, relasi kinerja pemerintahan dan citra Kalla relatif tidak besar. Koefisien korelasinya yang sebesar 0,7 tergolong tinggi, tetapi tidak setinggi pada Jokowi (Grafik 2).
Berdasarkan dua grafik itu, perbedaan derajat hubungan di antara mereka menjadi semakin menarik ditelusuri, apakah terdapat celah perbedaan di antara keduanya? Dengan menelusuri penilaian publik, dapat disimpulkan, hubungan yang erat antara kedua sosok terjalin hingga dua pertiga periode saja. Hasil survei pada Januari 2015 hingga Oktober 2017 masih berjalan beriringan dengan pola kecenderungan yang sama.
Jika terjadi kenaikan apresiasi publik terhadap kinerja pemerintahan, citra Jokowi dan Kalla juga membaik. Begitu juga sebaliknya dengan penurunan kinerja pemerintahan yang sama-sama berelasi dengan citra kedua pemimpin.
Perbedaan apresiasi
Namun, sejak April 2018, terjadi perbedaan apresiasi sekaligus perbedaan citra pada kedua sosok. Semenjak April 2018, penilaian publik terhadap kinerja pemerintahan cenderung menurun. Selanjutnya, penurunan kinerja hanya berelasi dengan citra Jokowi. Pada saat terjadi penurunan kinerja pemerintahan, citra sosok Kalla justru cenderung meningkat (Grafik 3).
Pada pengujung masa kekuasaan pemerintahan, hasil survei menunjukkan, citra sosok Kalla meningkat pada saat citra Jokowi menurun. Saat ini, tidak kurang dari 80,9 persen responden menyatakan bahwa citra Kalla baik. Besaran proporsi itu melebihi citra sosok Jokowi (73,3 persen). Apa yang dapat dijelaskan dari dua gambaran survei ini?
Pertama, keterpilahan penilaian publik terhadap citra dua sosok tersebut tak lepas dari posisi mereka dalam pemerintahan. Sebagai presiden, Jokowi tampil lebih dominan dalam menghadapi berbagai persoalan sekalipun karakter Kalla juga dikenal dominan. Dengan demikian, sorotan kebijakan pada periode pemerintahan tetap terpusat pada Jokowi.
Argumentasi pembenaran terhadap dominasi kedua sosok tergambarkan dalam grafik yang menampilkan hubungan lebih kuat kinerja pemerintahan dengan citra Jokowi ketimbang dengan citra Kalla. Hal itu semakin terlihat sejak April 2018, yakni saat Jokowi menghadapi lebih banyak persoalan yang harus diselesaikannya dalam kapasitas sebagai presiden.
Demikian pula dalam beberapa bulan terakhir, sejalan dengan banyaknya persoalan politik, sosial, dan ekonomi yang dihadapi bangsa ini. Tidak mengherankan, penurunan apresiasi publik terhadap kinerja pemerintahan belakangan ini lebih tertuju pada penurunan kinerja Jokowi.
Kedua, keterpilahan penilaian publik terhadap citra kedua sosok tak lepas dari perbedaan posisi mereka, yang berkaitan dengan keberlanjutan kekuasaan kepresidenan. Semenjak Jokowi dinyatakan sah sebagai calon presiden untuk peluang jabatan kedua, sorotan publik lebih terfokus kepada dirinya. Pada sisi lain, langkah-langkah politik Kalla terhenti dan harus berakhir pada jabatan wakil presiden. Dengan demikian, Jokowi tetap menjadi magnet politik.
Dalam dua posisi yang berbeda tersebut, saat ini Kalla lebih menikmati apresiasi publik. Ia relatif terhindar dari tekanan-tekanan persoalan yang memang masih terkait erat dengan keberlanjutan pemerintahan di bawah kekuasaan Presiden Jokowi. Itulah mengapa, sebagai wakil presiden, citra Kalla tetap baik, dan saat mengakhiri jabatannya, ia dinilai lebih baik lagi. (LITBANG KOMPAS)