Menelisik Kemudahan Mobilitas di Singapura
Kamis (5/9/2019), di area masuk Stasiun MRT Admiralty, daerah utara Singapura, pemandangan warga yang wira-wiri dengan sepeda atau berjalan cepat mengejar bus sangat menarik.
Kamis (5/9/2019), di area masuk Stasiun MRT Admiralty, daerah utara Singapura, pemandangan warga yang wira-wiri dengan sepeda atau berjalan cepat mengejar bus sangat menarik. Semua kesibukan warga itu terjadi di area stasiun yang menjadi satu dengan perumahan rakyat di kawasan Woodlands. Kesibukan ini menunjukkan kesatuan warga dan angkutan umum.
Pemandangan serupa juga terlihat di kawasan Yishun, yang juga terletak di belahan utara Singapura. Di sana, pemandangan malah lebih heboh. Tempat parkir sepeda di halaman kanan dan kiri stasiun Yishun penuh sesak.
”Warga yang tinggal di public housing (perumahan rakyat) di sekitar stasiun banyak yang suka naik sepeda dari dan ke stasiun,” kata Dani Teo (40), salah satu penghuni perumahan rakyat di Yishun.
Warga negeri Singa merasakan kemudahan dan kenyamanan perjalanan yang disiapkan pemerintah. Dengan jaringan jalur sepeda dan jalur pejalan kaki yang saling menyambung, warga dimudahkan saat mengakses angkutan umum juga titik-titik fasilitas umum, seperti sekolah, pasar, ataupun klinik.
Itu semua dimulai sejak pemerintah negara yang juga dikenal dengan nama Little Red Dot, menata permukiman warga dengan menyediakan perumahan rakyat yang layak. Adalah Housing and Development Board (HDB), satu badan yang didirikan pada 1960, yang bertugas menuntaskan krisis perumahan bagi warga Singapura. Karena keterbatasan lahan, pilihan mendirikan perumahan dalam bentuk bangunan vertikal, atau yang biasa kita sebut rumah susun di Jakarta, menjadi pilihan.
Namun, jangan salah duga. Rumah vertikal dengan lebih dari 20 lantai itu bukan bangunan ala kadarnya. Rumah dibangun dengan kualitas prima. Selain lantai dari keramik, perlengkapan pintu, jendela, ventilasi, ataupun penataan cahaya juga diperhatikan. Begitu pun infrastruktur pendukung, seperti air bersih, saluran pembuangan sampah kering ataupun basah, sampai ke tempat jemuran pakaian. Penataan kawasan dipikirkan detail.
Kelengkapan fasilitas perumahan publik ini diperlihatkan kepada Kompas dan 15 jurnalis penerima Asia Journalism Fellowship (AJF) 2019, program yang diselenggarakan Lee Kuan Yew School of Public Policy, Institute of Policy Study, National University of Singapore bekerja sama dengan Temasek Foundation. Kepada wartawan, HDB menyebutkan, pembangunan perumahan untuk warga (public housing) memakai pendekatan total layaknya membangun rumah.
Berangkat dari sana, perencanaan, desain gambar, hingga konstruksi dipikirkan detail. Utamanya, supaya alokasi, pengelolaan, dan pemeliharaan bisa terpadu.
Blok menara
Perumahan bagi rakyat itu membentuk kawasan permukiman yang terdiri atas blok-blok menara. HDB menyebutnya sebagai town. Di setiap blok, fasilitas yang tersedia lengkap. Ada sekolah, pasar, pusat makanan, klinik, hingga keterhubungan dengan angkutan umum, seperti stasiun MRT ataupun halte bus.
Untuk keterhubungan dengan angkutan umum ini karena dalam satu town itu terdiri atas sejumlah blok, tentunya ada blok yang langsung terhubung dengan stasiun, ada blok yang harus terhubung dengan bus pengumpan (feeder) dulu baru tersambungkan dengan MRT. Di sini peran Land Transport Authority (LTA) atau pihak yang berwenang mengurusi pengelolaan transportasi darat dan layanan angkutan umum Singapura terlihat.
Penataan transportasi umum yang terintegrasi merupakan konsistensi pengembangan dan kelanjutan dari kebijakan sebelumnya. Pada 2008, transportasi umum direncanakan lebih terfokus melalui rencana induk 2008. Pola yang diterapkan adalah hub and spoke, yaitu pola jaringan angkutan yang terbagi menjadi jaringan utama (hub) dan jaringan pengumpan (spoke).
Penataan transportasi umum yang terintegrasi merupakan konsistensi pengembangan dan kelanjutan dari kebijakan sebelumnya.
Dari pola ini, jaringan kereta MRT Singapura menjadi jaringan transportasi umum utama yang melayani koridor panjang. Bus-bus cepat yang dapat diandalkan melengkapi layanan di jalur-jalur utama, sebagian tak terjangkau MRT, tetapi sejumlah rute bus bersinggungan dengan koridor MRT.
Adapun jaringan pengumpan adalah jaringan angkutan umum dari kawasan permukiman ke titik terminal bus penghubung (bus terminal interchange) atau stasiun MRT. Terminal bus penghubung ada di antara atau di titik HDB town atau kawasan permukiman, yang langsung terhubung dengan stasiun MRT. Di terminal, warga bisa langsung berganti bus yang melayani jalur utama atau berganti dengan MRT.
Untuk memudahkan pergantian moda di titik terminal transit, jumlah bus dan kereta ditambah. Dengan demikian, headway atau jarak kedatangan antarbus bisa diperpendek hingga kurang dari 10 menit pada jam sibuk dan 15 menit di luar jam sibuk.
Yang menarik, terminal penghubung ditempatkan dekat pertokoan atau malah menjadi satu area dengan kawasan komersial atau pusat perbelanjaan. Dengan demikian, pola jaringan ini bukan hanya memudahkan mobilitas, tetapi juga melayani gaya hidup warga.
Titik-titik pertukaran atau transfer moda angkutan umum menjadi hidup karena bisa melayani berbagai keperluan warga selain mobilitas.
Pedestrian dan pesepeda
Untuk memudahkan pergerakan dari rumah ke halte atau stasiun, di sekitar perumahan dilengkapi jalur pedestrian dan jalur sepeda. Pembuatan jalur memperhatikan aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan. Di setiap stasiun disiapkan tempat parkir sepeda.
Dalam laman resmi Kementerian Transportasi Singapura disebutkan, upaya melengkapi stasiun MRT dengan tempat parkir dan rak penyimpanan sepeda itu sudah lama dilakukan. Namun, penyediaan secara menyeluruh mulai dikerjakan pada 2013, sejak Kementerian Transportasi melalui Land Transport Authority (LTA) dan sejumlah badan/institusi nasional terkait merencanakan jaringan sepeda secara nasional.
Di sana disebutkan, mulai 2013 hingga 2030 di semua titik kawasan public housing akan dilengkapi jalur sepeda. Jalur sepeda menghubungkan kawasan perumahan rakyat (inter town), menghubungkan antarblok dalam satu kawasan (intra town), hingga menghubungkan permukiman ke stasiun ataupun terminal bus penghubung.
Rencana besarnya, Singapura memiliki 700 km jalur sepeda yang saling terhubung dan terbentang di seluruh negeri. Dalam masterplan terbaru, pada 2040 Singapura ditargetkan punya 1.000 km jalur sepeda. Dari penataan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda, ditargetkan pada 2030, waktu tempuh dari rumah ke stasiun 10 menit.
Lebih menarik lagi, dengan cuaca di negara-kota Singapura yang panas dan lembab, trotoar bagi pejalan kaki dibuat nyaman. Melalui program Walk2Ride yang diluncurkan pada 2013 untuk mendorong warga bergerak dan menggunakan angkutan umum, LTA menata dalam radius tertentu trotoar dilengkapi pelindung.
Di kawasan stasiun MRT, dalam radius 400 meter, trotoar dilengkapi penutup. Untuk kawasan stasiun LRT ataupun terminal bus, trotoar berpelindung ada di radius 200 meter.
Jalur pejalan kaki diberi atap. Desain dibuat enak dilihat dan orang nyaman berjalan kaki. Penyuka jalan kaki mendapat dua kali keteduhan, yaitu dari atap dan dari pepohonan besar yang ditanam di pinggir jalan.
Jalur pedestrian yang nyaman mendukung pergerakan warga menuju dan dari halte bus pengumpan ke kawasan permukiman. Tak jarang, halte bus menempel di pintu keluar masuk blok public housing.
”Saya selama ini menghabiskan 10 menit untuk perjalanan dari rumah ke terminal bus interchange, lalu berganti kereta. Perjalanan dengan kereta ke stasiun terdekat dengan tempat kerja yang terhubung terminal bus bisa 45 menit. Menunggu bus di terminal bisa 10 menitan,” kata Dani, warga setempat.
Setiap hari, setidaknya Dani menghabiskan 80 menit dari rumah di kawasan HBD Yishun di wilayah utara, ke kantor di Dover, Singapura barat.
Meski demikian, ia berharap waktu tunggu bus bisa lebih singkat supaya waktu tempuh lebih cepat. ”Aplikasi transportasi yang disiapkan membantu saya untuk tahu berapa menit lagi bus feeder atau bus yang ke jalur utama tiba,” ujarnya.
Meski tampaknya lama, jaringan transportasi umum di kota seluas 720 km persegi itu begitu detail. Penghuni bisa merencanakan perjalanan dengan baik. Apalagi, ada aplikasi yang menunjukkan jam kedatangan dan keberangkatan kereta ataupun bus dengan jadwal yang pasti.
Dengan begitu, orang terdorong berjalan kaki atau bersepeda dari dan ke halte bus atau stasiun terdekat. Pergerakan manusia dipermudah dan orang memilih angkutan umum karena mendapatkan angkutan yang nyaman dan layak.
Dalam laman resminya, LTA menyebutkan, terus memperbaiki layanan transportasi umum sehingga waktu perjalanan dari rumah ke stasiun terdekat kurang dari 20 menit, dan dari stasiun ke tempat tujuan sekitar 45 menit. LTA menargetkan, pengguna angkutan umum (sharing mode) 75 persen pada 2030.
Park Byung Joon, Associate Professor dari School of Business, Singapore University of Social Sciences, menjelaskan, untuk menarik warga menggunakan angkutan umum, Pemerintah Singapura menginvestasikan anggaran yang sangat besar sejak lama. Jaringan kereta yang dibangun sejak 1970-an terus ditambah panjang dan koridornya. Rute bus juga sama. Jaringan transportasi umum bus dan kereta diatur luas dan menjangkau seluruh negeri. Jumlah kereta dan bus pun ditambah jumlahnya untuk meningkatkan layanan.
Dari laman resmi LTA, sampai tahun 2020, panjang koridor MRT terbentang 278 km. Jumlah bus dan kapasitas angkut ditambah dan headway diperbaiki.
”Ketika jaringan dan cakupan transportasi umum luas dan kapasitas angkut besar, orang akan menggunakan lebih banyak angkutan umum,” kata Park Byung Joon.
Untuk Jakarta yang kini tengah berperang mengatasi kemacetan, menurut Park, tidak ada cara lain, Pemprov DKI mesti mau dan berani mengalokasikan anggaran untuk pembangunan dan pengembangan jaringan angkutan umum. Tentu dengan anggaran untuk pembangunan jaringan jalan.
Melongok capaian Singapura, di Jakarta, sistem angkutan umum model hub and spoke ini sebetulnya juga sudah berjalan untuk mendekatkan angkutan umum dengan rumah warga, sebelum berganti moda, baik dengan bus Transjakarta, MRT, maupun KRL ke tujuan.
Bus-bus kecil atau yang semula angkot dirangkul bergabung dengan Transjakarta sekaligus mengubah sistem pembayaran dan cara pelayanan juga sebetulnya lagi berjalan. Akan tetapi, karena macet, cakupan layanan yang belum menyeluruh ada kawasan di mana warga masih memilih angkutan daring dari dan ke halte atau stasiun terdekat ke rumah.
Di Jakarta, bukan tidak mungkin dilengkapi kawasan permukiman dengan jalur sepeda serta melengkapi halte atau stasiun dengan parkiran sepeda yang aman. Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia mengidentifikasi ruas-ruas jalan kampung di kawasan permukiman untuk bisa diubah sebagai jalur sepeda, dan melengkapinya dengan rambu. Kalau itu terlaksana, bukan tidak mungkin pergerakan warga Ibu Kota lebih mudah, aman, dan nyaman melengkapi layanan angkutan umum utama yang saat ini kian baik.