Menjejakkan Kaki di Balkan
Perjalanan ke negara-negara Balkan membawa kenangan pada memori kelam saat kawasan itu dikoyak perang saudara awal 1990-an. Perjalanan ke kawasan itu menyadarkan betapa indahnya perdamaian.
Umumnya turis Indonesia tertarik pergi ke negara-negara di Eropa Barat dan Timur. Namun, pada kesempatan cuti kali ini, perjalanan ke Balkan sepertinya sangat menarik. Selain karena memperoleh informasi bahwa biaya hidup di Balkan terbilang murah dibandingkan di Eropa Barat, sejarah kelam peperangan etnis di Balkan pada masa lalu menambah daya tarik untuk melihat bagaimana kondisi Balkan sekarang ini.
Balkan adalah nama historis yang digunakan untuk menyebut wilayah di Eropa Tenggara, yakni negara-negara pecahan Yugoslavia, seperti Slovenia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Serbia, Montenegro, Macedonia, dan Kosovo. Di luar negara-negara itu, masih ada Albania, Bulgaria, dan Yunani. Begitu juga Turki bagian Eropa (Istanbul) kadang juga disebut wilayah Balkan.
Seusai Perang Dunia II, Uni Soviet dengan ideologi komunisnya mencengkeram Balkan. Pemerintahan di beberapa negara Balkan pun dikuasai komunis yang didukung Uni Soviet. Begitu pula Yugoslavia di masa lalu berada di bawah pemerintahan komunis (1948). Juga Albania. Namun, saat terlepas dari Uni Soviet, Yugoslavia pun dipimpin Josip Broz Tito (1953-1980). Tito, yang merupakan kawan baik Presiden RI Soekarno ini, membawa Yugoslavia menjadi negara non-blok dan cukup terkenal pada masa itu.
Setelah Tito meninggal pada Mei 1980, tidak muncul pemimpin sekuat Tito di Yugoslavia. Pada awal 1990-an, Yugoslavia pecah menjadi beberapa negara. Slovenia dan Kroasia memerdekakan diri, didukung masyarakat Eropa. Dalam perkembangannya, Bosnia—wilayah industri dan gambaran miniatur Yugoslavia yang beragam dan—dilanda konflik etnis dan agama.
Sebagai catatan, Bosnia kerap dijuluki ”Yugoslavia mini” berkat keragaman etnis dan agama. Di negara itu, penganut Islam, Ortodoks, dan Katolik hidup berdampingan.
Singkat kata, akibat perang saudara dan pertumpahan darah terus-menerus, Yugoslavia pun bubar, terpecah menjadi beberapa negara kecil. Bagaimana situasi dan kondisinya setelah perang saudara itu menjadi daya tarik untuk menjejakkan kaki di Balkan.
Pintu masuk
Setelah mendarat dari penerbangan internasional Jakarta-Amsterdam (Belanda), sejumlah simulasi perjalanan bisa dilakukan melalui beberapa app maskapai penerbangan lokal Eropa untuk mendapatkan harga tiket termurah menuju wilayah Balkan. Beberapa pilihan penerbangan murah itu, misalnya, Easy Jet dari Amsterdam ke Split, Kroasia, atau Serbia Air, dan lain-lain.
Dari beberapa pilihan, tiket termurah ditawarkan Ryan Air seharga 35 euro (sekitar Rp 500.000-an)--sudah termasuk bagasi--dengan penerbangan dari Eindhoven, Belanda, menuju Thessaloniki, Yunani. Adapun perjalanan pulang mengambil rute dari Banja Luka, Bosnia-Herzegovina, menuju Brussels, Belgia. Jadi tiket pergi-pulang dari Balkan ke Eropa Barat hanya Rp 1 jutaan. Semua perjalanan domestik di Balkan menggunakan bus, yang tiketnya bisa dibeli langsung di loket.
Rute perjalanan pun berubah. Semula rencana masuk wilayah Balkan dari kota Split (Kroasia), berubah menjadi masuk melalui kota Thessaloniki di Yunani utara. Setelah itu, perjalanan berlanjut ke utara menuju Sofia (Bulgaria), Skopje (Macedonia), Prishtina (Kosovo), Tirana (Albania), Podgorica (Montenegro), lalu ke Kotor masih di Montenegro, Dubrovnik (Kroasia), kemudian masuk Bosnia-Herzegovina melewati kota Medjugorje, Mostar, Sarajevo, dan Banja Luka.
Waktu sudah hampir tengah malam saat perjalanan ini dimulai dengan menapakkan kaki di Thessaloniki. Bus kota dari bandara ke stasiun kereta/ bus melewati kawasan Egnatia, tempat Aristotelous Square— alun-alun utama di Thessaloniki—berada. Hingga lewat tengah malam, kafe-kafe di kawasan ini masih ramai pengunjung. Tak hanya restoran menu makanan Yunani, restoran India dan Pakistan juga ada. Wajah-wajah Timur Tengah pun mudah dijumpai.
Perjalanan ke Yunani membawa ingatan bahwa negeri ini menjadi pintu masuk para migran dari Suriah dan Irak yang berusaha mencari kehidupan lebih baik negara-negara di Eropa Barat, seperti Jerman, Belgia, Belanda, Swiss, dan negara-negara Skandinavia yang menjadi tujuan utama mereka.
Perjalanan ke Yunani membawa ingatan bahwa negeri ini menjadi pintu masuk para migran dari Suriah dan Irak yang berusaha mencari kehidupan lebih baik negara-negara di Eropa Barat.
Area paling menarik di Thessaloniki adalah area lengkungan teluk di Laut Aegean. Di sini terdapat ratusan kafe dengan desain interior yang menarik. Makanan dan minuman terbilang murah. Tak heran, banyak anak muda nongkrong di area ini. Apalagi, di dekat situ juga ada destinasi wisata White Tower dan Museum Seni Kontemporer.
Ketika perjalanan hendak berlanjut ke kota Sofia, Bulgaria, Profesor Vassilis Ghekas yang merupakan pensiunan dosen di National Technical University Athena sempat bercerita bahwa Sofia itu berarti kearifan (wisdom). ”Budaya di Bulgaria hampir sama dengan Yunani, tetapi ada pengaruh dari Turki,” kata Ghekas.
Tidak seperti Thessaloniki yang masih ”hidup” hingga tengah malam, kota Sofia pada pukul 21.00 itu sudah sepi. Jalanan gelap, angin kencang, dan dingin karena suhu udara lebih dingin dibandingkan di Thessaloniki. Namun, esok pagi kesibukan warga kota dan tram yang lalu lalang menepis citra seram Sofia. Beberapa bangunan tua dan bersejarah masih tegak berdiri. Ada masjid Banya Bashi di jalan utama Sofia. Di dekat mesjid itu ada sinagoga dan gereja ortodoks yang masih terawat.
Di Skopje, Macedonia, juga terdapat masjid yang sudah tua. Di kota ini, dalam perjalanan ke arah Sungai Vardar, terlihat banyak sekali bangunan besar dan patung-patung yang baru dibangun. Secara keseluruhan, Skopje nyaman dijelajahi dengan berjalan kaki.
Perjalanan dari Macedonia ke Kosovo dengan naik bus melewati tol panjang dan megah yang dibangun di atas tiang pancang membelah pegunungan. Para penumpang bus tak berhenti memotret atau merekam dengan kamera ponsel. Tiba di Prishtina, Kosovo, ternyata hanya sedikit hotel murah. Yang ada hanya hostel, apartemen, dan hotel mahal.
Tanpa distempel
Hampir di semua perbatasan negara, petugas imigrasi biasanya naik bus dan mengambil paspor para penumpang, lalu menstempelnya. Namun, di perbatasan Kosovo dan Albania hal itu tidak terjadi. Paspor tidak diminta, dan bus terus melaju memasuki perbatasan yang hanya diberi tanda bertuliskan: Welcome to Albania.
Di bekas negara komunis ini pun, kafe-kafe berserak di area Blloku di kota Tirana. ”Blloku ini area terbaik di Tirana,” kata Edi, sopir taksi.
Perjalanan dari Tirana menuju Podgorica, Montenegro, harus dilakukan pada malam hari. Sebab, semua bus hanya berangkat ke Podgorica pukul 18.00 dan tiba di ibu kota Montenegro itu pukul 23.00. Di sinilah patung Josip Broz Tito berdiri kokoh di sebuah taman di tepi jalan Bulevar Mihaila Lalica.
Di kota Kotor, sore itu ribuan wisatawan turun dari kapal pesiar yang melepas jangkar di kawasan depan Old Town di dalam benteng. Dalam sekejap, kota tua nan unik itu dijejali banyak turis yang berburu barang-barang bermerek mahal di toko-toko kecil di gang-gang sempit.
Perjalanan ke utara menyusuri tepi Laut Adriatik menyuguhkan pemandangan sangat menarik. Matahari yang tenggelam meninggalkan semburat jingga mempercantik petang dalam perjalanan menuju Dubrovnik, Kroasia.
Disarankan, sebelum berkunjung ke kota tua Dubrovnik, sebaiknya Anda membeli air dari kios di luar kota tua. Harga air di dalam kota tua sangat mahal!
Harga air mineral dalam botol 600 mililiter di luar kota tua dijual seharga 7 kuna (Rp 50.000), di dalam kota tua harganya menjadi 21 Kuna (Rp 150.000). Mengapa terpaut begitu jauh? Sebab, seluruh bahan pangan yang disuplai ke dalam kota tua harus dibawa secara manual dengan tangan. Kota tua itu tidak bisa dijangkau dengan mobil.
Seperti juga Kotor, pinggiran laut Dubrovnik juga dipenuhi yacht yang sedang lepas jangkar. Wisatawan bisa menjelajah Laut Adriatik dengan menyewa yacht ini atau kapal wisata yang lebih murah.
Di perbatasan Kroasia dengan wilayah Bosnia-Herzegovina, penumpang bus diminta turun dan berdiri antre di layanan imigrasi. Di Bosnia-Herzegovina, biasanya wisatawan akan bertandang ke kota Mostar dan Sarajevo.
Kota bersejarah Mostar sangat terkenal dengan foto jembatan tua.
Kota bersejarah Mostar sangat terkenal dengan foto jembatan tua. Banyak turis mengambil pose dari depan kios atau toko-toko di kota tua. Namun, tak sedikit yang memilih turun ke bawah Sungai Neretva dan naik ke atas jembatan. Kota ini pada abad ke-15 dan ke-16 merupakan kota perbatasan Ottoman. Tak heran, di Mostar banyak terdapat rumah-rumah Turki kuno.
Adapun Sarajevo membawa kenangan ke tahun 1992 saat kota ini menjadi lokasi pertempuran antara etnis Kroasia, Bosnia, dan Serbia. Kini Sarajevo sudah mulai ramai didatangi wisatawan. Di kota tua di area Mula Mustafe Bašeskije, terdapat Katedral Hati Suci dan Masjid Gazi Husrev Beg’s.
Pertempuran sudah lama berakhir di Sarajevo. ”Sarajevo kota yang aman. Tetapi, sebagai wisatawan, Anda harus berhati-hati kepada sopir taksi di terminal bus. Mereka sering tak mau menggunakan argometer dan seenaknya menggetok harga,” demikian pesan Samir, pemilik apartemen.