Pendapatan operator telekomunikasi seluler di Indonesia diperkirakan tumbuh 5-6 persen tahun 2019 – 2020. Peningkatan permintaan layanan 4G dan penetrasi ponsel pintar mendorong pertumbuhan tersebut.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pendapatan operator telekomunikasi seluler di Indonesia, berdasarkan analisa studi Moody’s Investor Service, diperkirakan tumbuh 5-6 persen tahun 2019 – 2020. Tren meningkatnya permintaan layanan 4G dan penetrasi ponsel pintar yang masih berlangsung mempengaruhi pertumbuhan pendapatan tersebut.
Stephanie Cheong, Analyst, Corporate Finance Group, Moody’s Investors Service, Stephanie Cheong, melalui surat elektronik, Kamis pekan lalu menyatakan, sektor telekomunikasi seluler di Indonesia pulih dari persaingan yang ketat dan kebijakan wajib registrasi nomor prabayar dengan validasi data tunggal kependudukan mulai pada awal 2018.
Menurut dia, Moody’s Investor Service melihat pertumbuhan pelanggan dan peningkatan rerata pengeluaran per pengguna pada tahun 2019. Namun, perusahaan jasa analis keuangan dan pemeringkat kelayakan kredit ini memperkirakan persaingan harga layanan data akan tetap ada dan trennya naik selama jangka pendek-menengah.
“Penerapan peraturan baru tentang pendaftaran identifikasi International Mobile Equipment Identity (IMEI) ponsel dapat meningkatkan persaingan di tahun 2020. Akan tetapi, menurut kami hal itu tidak akan memiliki dampak yang sangat besar, seperti wajib registrasi nomor prabayar dengan validasi data tunggal kependudukan tahun 2018,” ujar Stephanie.
Mengutip info memo PT XL Axiata Tbk, pelanggan ponsel pintar XL Axiata mencapai 48,6 juta per semester I-2019 atau naik 24 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018.
Total lalu lintas konsumsi layanan di seluruh jaringan XL Axiata meningkat 64 persen pada paruh pertama tahun 2019 dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh lalu lintas konsumsi data, terutama 4G karena mayoritas lalu lintas data XL Axiata sekarang pada 4G.
Pada periode yang sama, pengguna data di PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) telah mencapai lebih dari 100 juta. Lalu lintas konsumsi data melebihi 1.400.000 terabyte.
PT Indosat Tbk (Indosat Ooredoo) membukukan pendapatan selular Rp 10 triliun pada semester I-2019, tumbuh 15,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan ini didorong oleh pertumbuhan kenaikan pendapatan data sebesar 22,8 persen sebagai hasil dari pertumbuhan lalu lintas konsumsi data sebesar 68,7 persen.
Lebih jauh, lanjut Stephanie, belanja modal para operator telekomunikasi seluler di Indonesia akan tetap tinggi karena mereka terus berinvestasi pengembangan kapasitas atau jangkauan infrastruktur jaringan.
Indosat Ooredoo telah secara signifikan meningkatkan rencana belanja modal menjadi Rp 30 triliun atau setara 2 miliar dollar AS untuk tahun 2019–2021 demi mengejar ketinggalan dengan operator lain di jaringan 4G dan jangkauan layanan mereka di luar Jawa. Walaupun investasi belanja modalnya yang dipercepat adalah kunci dari strategi Indosat Ooredoo untuk tetap kompetitif, dia memandang, hal itu telah mengakibatkan metrik kredit Indosat melemah di tengah lingkungan industri telekomunikasi seluler yang sangat kompetitif.
Penjualan aset menara adalah positif untuk likuiditas Indosat Ooredoo, tetapi struktur transaksi penjualan dan pengembalian tidak secara material menguntungkan leverage perusahaan. Perkiraan penghitungan ini dikarenakan Moody’s Investor Service menerapkan penyesuaian standar dari kapitalisasi sewa operasi yang ditambahkan kembali ke jumlah utang.
“Untuk Telkomsel dan XL Axiata, kami berharap sebagian besar belanja modal akan didanai dari kas internal dan / atau penjualan aset. Karenanya, kami memperkirakan tingkat leverage dan utang untuk kedua perusahaan relatif stabil,” tambah Stephanie.
Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Danny Buldansyah, Minggu (20/10/2019), di Jakarta, membenarkan belanja modal operator telekomunikasi seluler akan naik pada tahun 2020. Tujuan utamanya adalah ekspansi pembangunan infrastruktur jaringan agar layanan bisa menjangkau lebih luas populasi penduduk. Apalagi, lalu lintas konsumsi data terus menunjukkan tren kenaikan.
“Ekspansi pembangunan jaringan telekomunikasi masih fokus ke jaringan akses berteknologi 4G LTE, berguna untuk mengakomodasi tren kenaikan lalu lintas konsumsi data,” kata dia.
Alokasi belanja modal tergantung struktur finansial masing-masing operator. Menurut Danny, jika sebuah operator mempunyai rasio utang terhadap pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBIDA) bagus, operator bisa utang untuk membantu pendanaan belanja modal. Sebaliknya, apabila rasio utang terhadap ETBIDA kurang bagus, operator dapat mengambil pilihan menjual aset.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada triwulan II-2019, pertumbuhan industri informasi dan komunikasi mencapai 9,60 persen. Dia berpendapat, pertumbuhan industri telekomunikasi di atas pertumbuhan ekonomi harus disambut positif, meski persentasenya tidak mencapai dua digit angka.
“Industri telekomunikasi seluler akan tumbuh lebih sehat pada akhir 2019 dibandingkan setahun sebelumnya. Wajib registrasi nomor prabayar membantu menyehatkan industri, meskipun belum ideal. Perilaku perang harga layanan data tetap ada walaupun tidak seagresif tahun 2018,” imbuh dia.
Lektor Kepala Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung Ian Josef Matheus Edward, yang dihubungi secara terpisah, memandang, pemerataan infrastruktur jaringan masih diperlukan. Komponen jaringan tulang punggung untuk kasus negara kepulauan Indonesia berkontribusi 40 – 50 persen terhadap total biaya pembangunan. Selesainya proyek jaringan tulang punggung Palapa Ring membantu anggaran operator. (MED)