Nenih, Jalan Baru Peternak Sapi
Tiga tahun lalu, Nenih (37) memulai kebiasaan baru dalam beternak sapi perah. Ibu dua anak itu rutin mencatat produksi susu, pengeluaran biaya pakan, dan kesehatan ternaknya. Kebiasaan itu kini membuatnya berdaya.
Tiga tahun lalu, Nenih (37) memulai kebiasaan baru dalam beternak sapi perah. Ibu dua anak itu rutin mencatat produksi susu, pengeluaran biaya pakan, dan kesehatan ternaknya. Kebiasaan yang sempat dianggap sia-sia itu kini ia nikmati hasilnya. Berharap, hal serupa mulai dilakukan banyak peternak sapi lainnya.
Sisa terik matahari masih terasa saat Nenih melangkah ke kandang sapi di belakang rumahnya di Desa Sukajaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (18/9/2019) pukul 15.30. Dengan membawa handuk, ember stainless, dan dingklik, dia bersiap memerah ketiga sapi laktasi miliknya.
Ketiga sapi itu diberi nama Dozzer, Shofia, dan Lora. Di kandang berukuran sekitar 8 meter x 2 meter tersebut juga terdapat seekor sapi yang baru dua hari melahirkan dan empat ekor pedet.
Sebelum memerah, Nenih membersihkan bagian puting susu sapi memakai handuk yang sudah dilembabkan menggunakan air hangat. Tangannya menggenggam puting sapi sambil menariknya ke bawah. Cairan susu mengalir deras dan ditampung menggunakan ember stainless.
Sore itu, Dozzer menghasilkan susu 11 liter, Shofia 8 liter, dan Lora 7 liter. Jika digabungkan dengan hasil perahan pagi, ketiga sapi itu memproduksi 61 liter susu. Susu lantas segera dimasukkan ke dalam milk can (wadah susu berbentuk tabung).
Setelah itu giliran anak sulung Nenih, Asep Nanu Rohendi (19), yang berperan. Dia mengantarkan susu itu ke tempat penampungan Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU). Hari itu, harga jual susu di koperasi Rp 5.300 per liter. Artinya, hasil penjualan susu Nenih hari itu Rp 323.300. Produksi yang tergolong banyak. Namun, ia tidak ingin lekas puas.
Dia membuka buku catatannya. Selain catatan produksi susu, di dalamnya juga tertera biaya pakan, seperti konsentrat, ampas tahu, dan ampas singkong serta biaya angkut rumput dan jerami. Total biaya pakan untuk ketiga sapi tersebut Rp 158.440. Artinya, keuntungan Nenih Rp 164.860. Keuntungan tersebut tidak stagnan setiap hari. Sebab, produksi susu, biaya pakan, dan harga jual tidak sama setiap hari.
Akan tetapi, jika disimulasikan dengan keuntungannya hari itu, Nenih setidaknya bisa mendapatkan Rp 4,75 juta per bulan. Penghasilannya di atas upah minimum Kabupaten Bandung Barat 2019 sebesar Rp 2,89 juta per bulan.
Nenih mengatakan, produksi susu yang melimpah baru dinikmatinya dalam tiga tahun terakhir. Dozzer, misalnya, sebelumnya hanya menghasilkan 18-20 liter susu per hari. Kini, sapi berumur 8 tahun ini memproduksi 25 liter susu per hari.
”Produksi susu kurang optimal karena pemberian makannya juga tidak maksimal. Sebelumnya saya tak menyadari itu karena tidak mempunyai catatannya. Kini, saya sudah berhasil memperbaikinya. Hasil yang lebih banyak kali ini jadi buktinya,” ujarnya.
Baca juga: Peternak Indonesia Terbelit Berbagai Masalah
Pesan ibu
Nenih bukan sarjana peternakan. Pendidikan formalnya pun hanya sampai sekolah dasar. Namun, dia selalu ingin belajar berternak. Keinginan itu tidak terlepas dari pesan almarhum ibunya yang juga peternak sapi. ”Ibu bilang, jika sudah berkeluarga, sebisa mungkin harus punya sapi,” ujarnya mengenang perkataan ibunya.
Nenih mulai beternak sapi pada 1998. Ketika itu, dia memelihara sapi orang lain dengan sistem bagi hasil atau maro. Dia belajar cara beternak sapi kepada tetangganya yang lebih berpengalaman. Hasil dari maro itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Suaminya, Sumarna (43), bekerja sebagai tukang bangunan dengan penghasilan tidak menentu.
Nenih kemudian masuk ke KPSBU, koperasi susu terbesar di kawasan Bandung utara. Selain menjadi tempat menjual susu sapi, koperasi juga menyediakan bahan-bahan makanan untuk anggotanya. Hal itu sangat membantu peternak saat musim kering kandang, yaitu ketika sapi tidak dapat diperah karena sedang hamil 7 bulan sampai melahirkan.
Nenih juga bergabung dengan Kelompok Peternak Mekar Rahayu. Kelompok ini menerima bantuan 25 sapi dari Kementerian Pertanian pada 2011. Setelah diundi, Nenih menjadi salah satu anggota yang mendapatkan bantuan itu.
Bantuan itu membuatnya bertambah semangat. Sebab, selain memelihara sapi orang lain, dia juga mempunyai sapi sendiri.
Akan tetapi, Nenih merasa penghasilannya tidak meningkat signifikan. ”Saya bingung karena uangnya habis untuk beli pakan ternak dan biaya hidup sehari-hari,” ujarnya.
Belajar ke Belanda
Kebingunan itu terjawab saat Nenih mengikuti program Farmer2Farmer yang dijalankan Frisian Flag Indonesia. Bersama lebih dari 20 peternak lainnya, ia dibina dan dilatih meningkatkan kuantitas dan kualitas susu sapinya.
Dalam program tersebut, peternak disarankan mencatat semua pengeluaran dan penghasilan dari beternak sapi. Peternak melaporkan catatan itu setiap 15 hari.
Kebiasaan mencatat itu mengundang perhatian dari peternak lain di sekitar rumahnya. Namun, ada juga yang menyindirnya.
”Untuk apa peternak punya buku catatan segala. Seperti orang kantoran saja,” ujarnya menirukan sindiran tersebut.
Nenih tak ambil pusing. Dia tetap rutin mencatat. Catatan itu pun menjawab kebingungannya selama ini yang menganggap beternak sapi kurang menguntungkan.
”Selama ini, pengeluaran untuk membeli kebutuhan keluarga dan pakan ternak campur aduk. Jadi, seolah-olah hasil perahan tidak ada untungnya. Padahal, sudah dipotong membayar pinjaman membeli barang-barang di koperasi,” ujarnya.
Konsistensi Nenih mencatat itu berbuah manis. Bersama tiga peternak Indonesia peserta program Farmer2Farmer lainnya, ia terbang ke Belanda untuk belajar beternak sapi selama dua pekan. Nenih belajar banyak hal dari peternak sapi di negeri ”Kincir Angin” tersebut. Mulai dari manajemen kandang, pemberian pakan, hingga sistem pemerahan robotik.
Peternak di Belanda dapat memerah 30-40 liter susu dari seekor sapi setiap hari. Jumlah itu dua kali lipat dibandingkan dengan produksi peternak sapi di Indonesia. Penyebab utamanya adalah pemberian pakan yang tidak optimal.
Jerih payah Nenih menjadi peternak sapi mulai membuahkan hasil. Jika dahulu dia memulai beternak dengan memelihara sapi orang lain, kini ia telah mempunyai delapan ekor sapi.
Baca juga: Pesan Berharga dari Peternak Sapi Perah Belanda
Perekonomian keluarganya pun ikut terdongkrak. Tujuh bulan lalu, dia dan keluarganya memasuki rumah baru. Rumah seluas sekitar 45 meter persegi itu dibangun dari hasil beternak sapi. Dia juga membeli tanah sekitar 200 meter persegi yang dimanfaatkan untuk kandang dan menanam rumput sebagai pakan ternaknya.
Akan tetapi, menurut Nenih, hasil itu belum seberapa jika dibandingkan dengan peternak di Belanda. Di negara itu, peternak sangat sejahtera karena mempunyai puluhan hingga ratusan ekor sapi.
”Saya mensyukuri hasilnya. Namun, pengalaman dari Belanda menyadarkan agar tidak cepat puas, tetapi semakin termotivasi untuk lebih bekerja keras,” ujarnya.
Saya mensyukuri hasilnya. Namun, pengalaman dari Belanda menyadarkan agar tidak cepat puas, tetapi semakin termotivasi untuk lebih bekerja keras.
Motivasi itu kini ia tularkan kepada peternak di sekitar rumahnya. Dia mengajak beberapa tetangga untuk mengikuti jejaknya. Beberapa peternak mencobanya. Namun, Nenih mengatakan, jalan untuk sejahtera bersama masih panjang. Peternak sapi tetangganya masih berusaha untuk konsisten mencatat produksi susu dan pengeluaran biaya pakan sapi. Nenih tak putus asa. Dia justru semakin bersemangat untuk menorehkan kesuksesan lainnya.
”Mungkin perlu waktu dan bukti lebih banyak lagi agar mereka semakin termotivasi,” ujarnya.
Menjelang sore, Nenih membereskan perlengkapannya seusai memerah sapi. Dia lelah, tetapi tetap bahagia. Dia berharap hari-hari esok akan lebih cerah bagi peternak sapi yang tidak putus asa merintis jalan sejahtera.