Center for Plasma Research Universitas Diponegoro, Semarang, tak berhenti berinovasi. Setelah memproduksi mesin ozon pengawet sayuran dan penyaring udara kotor, kini CPR mengembangkan Medical Ozone.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Center for Plasma Research atau CPR Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro, Semarang, tak berhenti berinovasi. Setelah memproduksi mesin ozon pengawet sayuran dan penyaring udara kotor, CPR kini mengembangkan Medical Ozone atau mesin penghasil ozon untuk medis.
Plasma merupakan gas yang terionisasi atau teknologi yang memotong rantai oksigen. Melalui teknologi itu, dapat dihasilkan ozon sehingga kerap dikenal sebagai plasma ozon. Sementara ozon dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, salah satunya terapi medis.
Saat ini, terdapat sejumlah klinik terapi ozon, baik untuk kecantikan maupun penyembuhan luka, terutama akibat diabetes. Namun, klinik-klinik tersebut masih menggunakan mesin impor. Sementara seluruh komponen mesin yang disebut M’Ozone dari dalam negeri, kecuali pada tabung gas.
”Untuk evidence-based (basis bukti), kami mengacu standar Eropa. Kami mempelajari semuanya. Teknologi, komponen, daya, aliran, dan cara kerja, semua terstandar,” kata Guru Besar Fakultas Sains dan Matematika Undip, yang juga pendiri CPR FSM Undip, Muhammad Nur, Senin (14/10/2019).
Nur menjelaskan cara kerja mesin. Oksigen murni dari tabung masuk ke reaktor, hingga dihasilkan ozon dengan pilihan tingkat konsentrasi 50 part per million (ppm) atau 100 ppm. Ozon dapat dimanfaatkan untuk terapi bagging (gelembung) atau untuk pelarutan pada minyak, air, dan gel.
Aliran (flow) pada M’Ozone juga dapat diatur. Untuk terapi bagging, misalnya, oksigen yang dibutuhkan adalah 0,1 liter sampai dengan 1 liter per menit. Sementara untuk ozon untuk pelarutan, oksigen yang dibutuhkan adalah 1 liter hingga 10 liter per menit.
Pada M’Ozone juga terdapat pemusnah ozon. Dengan demikian, ozon yang telah digunakan untuk terapi bagging langsung dialirkan ke tempat pemusnah tersebut sehingga tak tercemar ke udara bebas.
Salah satu percobaan dilakukan terhadap tikus yang menderita diabetes (telah diberi serum), yang kemudian disayat. Luka itu lalu dioleskan minyak ozon. Dalam 14 hari, luka pada tikus itu sembuh. Sementara pada tikus yang tidak diberi minyak ozon, luka belum sembuh.
Tabung khusus
Nur menceritakan, riset dimulai pada awal 2018. Pihaknya sempat terkendala mencari tabung kaca pyrex yang menjadi reaktor ozon. Sebab, pembuatan tabung pyrex itu memerlukan keahlian khusus. Akhirnya, mereka mendapat tabung pyrex dari perajin di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mesin pertama rampung pada November 2018. Hingga kini, CPR FSM Undip telah memproduksi lima M’Ozone dan semuanya digunakan untuk kebutuhan penelitian dalam tahap praklinik dan uji klinik dengan ethical cleareance (kelayakan etik). Kini, semua tahap riset itu dimatangkan sebelum berlanjut pada aspek legalitas.
Nur menuturkan, dalam riset pemanfaatan ozon untuk medis, pihaknya melibatkan berbagai disiplin ilmu. Selain fisika, juga ada kimia, biokimia, biologi, kedokteran, keperawatan, dan lainnya. Dengan pengerjaan melibatkan banyak pihak, hasilnya diharapkan dapat optimal dan diterima publik.
Ia menambahkan, sejumlah perguruan tinggi lain, seperti Universitas Sebelas Maret, Surakarta, dan Universitas Padjadjaran, Bandung, terlibat dalam riset itu. Meski belum ada konsorsium, terdapat pihak yang dilibatkan. Nur pun menjadi pembimbing di beberapa perguruan tinggi itu.
Salah satu klinik yang menggunakan M’Ozone dan juga bagian dari riset adalah Fathull Wound Care Healing, di Kabupaten Grobogan, yang dikelola perawat profesional yang juga alumnus Keperawatan Undip. Klinik tersebut untuk masyarakat umum. Sejumlah penderita diabetes melakukan terapi di klinik itu.
Pada akhir 2019, ia menargetkan ada Pusat Terapi Ozon di Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND) Undip. ”Pusat terapi ozon akan mengontrol secara teknologi, dosis, fungsi, dan lainnya. Nantinya, ada penjaminan mutu, baik dari alat maupun SOP (prosedur operasi standar),” kata Nur.
Dari keterlibatan berbagai pihak dan multisiplin ilmu, diharapkan penelitian semakin matang, termasuk terkait dosis tepat pada penanganan medis berbagai kasus. Selanjutnya hasil inovasi itu akan diajukan ke Kementerian Kesehatan, dengan harapan ada regulasi terkait pemanfaatan ozon untuk medis.
Menurut dia, semakin banyak yang meneliti dan mengungkapkan manfaat dari M’Ozone akan semakin baik. ”Sebab, saat ini ozon belum bisa dianggap sarana terapi di Indonesia, padahal sudah banyak yang melakukan. Ketimbang mengimpor mesin, mari bersama-sama mengembangkan,” tutur Nur.
Penguasaan teknologi
Nur menambahkan, perlu upaya untuk meyakinkan semua pihak. Perdebatan pemanfaatan ozon untuk medis selama ini dikarenakan sebelumnya belum ada ahli yang menguasai teknologi itu. Namun, kini pihaknya sudah menguasai teknologi ozon untuk medis.
Ia juga memastikan M’Ozone aman. Selain terdapat pemusnah sisa ozon, pihaknya memiliki alat pengukur ozon di udara yang sangat sensitif. Pengecekan pun dilakukan rutin. Terlebih, dengan alat rancangan sendiri, masalah dapat langsung diatasi tim. Lain halnya jika ada masalah pada mesin impor.
Meski ada pihak yang mesti terus diyakinkan, ia dan tim tidak akan menyerah. ”Kami kerjakan dengan dikeroyok agar bisa tuntas. Tak boleh menyerah. Bukan pada sisi bisnisnya, tetapi bagaimana alat ini bisa benar-benar membantu,” ujar Nur.
Peneliti CPR FSM Undip, Maryam Restiwijaya, menambahkan, di Undip terdapat tim, terdiri dari perwakilan dari farmasi, kedokteran, kedokteran gigi, dan keperawatan. Setiap dua pekan, mereka berdiskusi terkait pengembangan M’Ozone. Saat ada kemajuan, diskusi dilakukan seminggu sekali.
Klinik-klinik penanganan luka yang ada di sejumlah daerah kebanyakan menggunakan mesin ozon impor dari China, yang harganya lebih murah. ”Ozon dihasilkan dari udara bebas yang mengandung 78 persen nitrogen dan 20 persen oksigen. Ada kemungkinan nitrogen berubah menjadi nitrit oksida yang bersifat toksik. Sementara M’Ozone 99,99 persen oksigen,” papar Maryam.
Menurut dia, mesin penghasil ozon standar dari Jerman harganya sekitar Rp 300 juta, sedangkan dari AS Rp 150 juta. Adapun M’Ozone, yang berstandar Eropa, dibanderol dengan harga sekitar Rp 100 juta. Sementara itu, mesin ozon dari China harganya hanya puluhan juta rupiah.
Rektor Undip Yos Johan Utama mengatakan, pihaknya turut mendukung pengembangan termasuk pemanfaatan ozon untuk medis. Dukungan terhadap riset dan inovasi, yang kemudian dihilirisasi, adalah perwujudan dari visi Undip untuk menjadi universitas riset yang unggul.
Sebelumnya, CPR Undip juga menghasilkan D’Ozone, yakni generator ozon yang digunakan untuk menghilangkan jamur, bakteri kapang, dan pestisida yang membuat usia sayur lebih panjang. Juga Zeta Green, alat yang mengubah udara kotor, karbon dioksida, menjadi udara yang bersih, segar, dan sehat.