Pelonggaran Moneter Masih Terbuka, Perbaiki Neraca Perdagangan
›
Pelonggaran Moneter Masih...
Iklan
Pelonggaran Moneter Masih Terbuka, Perbaiki Neraca Perdagangan
Sejumlah ekonom dunia menilai ruang pelonggaran moneter masih terbuka. Tantangan utamanya adalah memperbaiki defisit neraca dagang. Kabinet baru juga diyakini masih melanjutkan agenda reformasi pajak dan investasi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meskipun tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia sudah dipangkas sebanyak 75 basis poin sepanjang 2019 menjadi 5,25 persen, ruang pelonggaran terhadap kebijakan moneter dinilai sejumlah ekonom dunia masih terbuka. Stabilitas ekonomi perlu dijaga melalui bauran stimulus moneter dan fiskal, serta memperbaiki defisit neraca perdagangan.
Selain itu, susunan kabinet pemerintahan yang baru diyakini akan melanjutkan agenda reformasi untuk mencapai sistem pajak dan tenaga kerja yang lebih kompetitif dan efisien. Pembangunan infrastruktur yang terus berlanjut juga akan merangsang pertumbuhan ekonomi di Indonesia bagian tengah dan timur.
Poin-poin itu dikemukakan Kepala Ekonom HSBC untuk Regional ASEAN, Joseph Incalcaterra, dan ekonom Asia Morgan Stanley, Deyi Tan, dari siaran pers dan hasil riset yang diterima Kompas, Selasa (22/10/2019).
Joseph Incalcaterra menilai, stabilitas nilai tukar rupiah serta aliran masuk modal asing yang moderat, membuat Bank Indonesia (BI) punya ruang pelonggaran moneter yang besar. Namun pemangku kepentingan terkait tetap perlu mengantisipasi defisit neraca perdagangan.
Pemangku kepentingan terkait tetap perlu mengantisipasi defisit neraca perdagangan.
BI mencatat aliran modal masuk sepanjang awal Januari hingga 10 Oktober 2019 sebesar Rp195,5 triliun. Aliran modal ini terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 140,6 triliun, dan untuk saham tercatat Rp 52,9 triliun.
Sepanjang tahun 2019 berjalan, otoritas moneter sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps). HSBC memandang BI masih memiliki ruang untuk pemangkasan suku bunga acuan sebesar 50 bps, masing-masing 25 bps pada triwulan IV-2019 dan 25 bps pada triwulan I-2020.
“Kami melihat adanya ruang bagi BI untuk memotong suku bunga acuan. Namun tetap saja jalannya reformasi birokrasi untuk meningkatkan penanaman modal asing menjadi kunci stabilitas ekonomi,” kata Incalcaterra melalui siaran pers.
Berdasarkan data yang dihimpun HSBC, neraca perdagangan per September 2019 tercatat alam defisit 116 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 1,62 triliun. Padahal pada Agustus 2019 neraca perdagangan surplus sebesar 110 juta dollar AS (Rp 1,54 triliun).
“Di sisi lain, impor barang modal meningkat. Ini menjadi pertanda baik bagi pertumbuhan investasi, yang kami harapkan akan meningkat secara tajam pada 2020,” kata Incalcaterra.
Pada triwulan IV-2019 kinerja impor kemungkinan akan membesar akibat relaksasi aturan barang impor bekas dari Kementerian Perdagangan. Pada September 2019, neraca dagang nonmigas juga masih menunjukkan surplus 601,3 juta dollar AS (Rp 8,43 triliun).
Dia pun menambahkan dalam beberapa bulan terakhir, pendapatan dari repatriasi korporasi menekan pendapatan primer dan neraca transaksi berjalan. Namun kondisi keuangan Indonesia cenderung membaik dan akan mendorong penguatan rupiah ke depan.
Kabinet baru
Sementara itu, dalam riset bertajuk “Domestic Stimulus to Counter External Headwinds”, Ekonom Asia Morgan Stanley, Deyi Tan, menyatakan dinamika eksternal masih akan menjadi tantangan bagi stabilitas ekonomi Indonesia pada akhir 2019 hingga 2020 mendatang.
“Tantangan ini dapat diantisipasi melalui kombinasi stimulus moneter dan fiskal dapat mendorong kebangkitan dan kinerja bisnis dalam negeri,” ujarnya dalam risetnya.
Deyi Tan pun memperkirakan suku bunga acuan BI akan turun lagi sebesar 25 bps di sisa tahun 2019. Selain itu, susunan kabinet pemerintahan yang baru diyakini akan melanjutkan agenda reformasi untuk mencapai sistem pajak dan tenaga kerja yang lebih kompetitif dan efisien.
Susunan kabinet pemerintahan yang baru diyakini akan melanjutkan agenda reformasi untuk mencapai sistem pajak dan tenaga kerja yang lebih kompetitif dan efisien.
Bauran stimulus moneter dan fiskal tersebut diharapkan dapat memberi efek berganda terhadap berjalannya infrastruktur yang dapat meningkatkan produktivitas bisnis melalui koneksi dan biaya logistik yang lebih rendah.
“Kunci positif untuk Indonesia adalah dorongan dari otoritas fiskal dan moneter dalam memberikan stimulus, yang didukung oleh ruang yang cukup untuk penurunan suku bunga serta penyangga defisit fiskal,” ujarnya.
Dalam risetnya Deyi Tan juga menyinggung inisiatif pengembangan infrastruktur, termasuk perpindahan ibu kota pemerintahan dari Jakarta ke Penajam Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimatan Timur. Inisiatif ini dinilai dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di Indonesia bagian tengah hingga bagian timur.