Setelah dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo (47) akan fokus membangkitkan industri perikanan melalui kerja sama dan bahu-membahu dengan seluruh pemangku kepentingan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
Setelah dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo (47) yang berasal dari Partai Gerindra menyatakan akan menyelesaikan persoalan komunikasi dengan pelaku usaha perikanan. Ia akan fokus membangkitkan industri perikanan melalui kerja sama dan bahu-membahu dengan seluruh pemangku kepentingan.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Edhy Prabowo di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Apa problem krusial di sektor kelautan dan perikanan? Bagaimana menanganinya?
Dua hal yang disampaikan Presiden ke saya, memperbaiki hubungan dengan nelayan. Kedua, perikanan budidaya dioptimalkan dan diperkuat lagi. Dari dua hal itu sudah banyak hal tersirat, salah satunya industri perikanan dalam negeri harus meningkat, khususnya di sektor perikanan budidaya. Perikanan budidaya inilah yang dalam jangka pendek bisa meningkatkan industri. Inilah peluang kita menambah penyerapan lapangan kerja dan peningkatan penghasilan masyarakat. Selain itu, peningkatan protein masyarakat. Industri kita manfaatkan untuk penyerapan lapangan pekerjaan dan peningkatan nilai tambah.
Lima tahun terakhir, ada kebijakan-kebijakan di kelautan dan perikanan yang pro-kontra, seperti larangan cantrang, larangan kapal ikan eks asing, dan penenggelaman kapal. Bagaimana melihat hal ini?
Kita harus tegak dengan kepala jernih menyikapi persoalan ini. Negara ini mengelola kepentingan banyak orang. Tidak boleh berjalan sendiri dan menggunakan sudut pandang kita. Kebijakan yang pro-kontra jalan keluarnya adalah mengajak bicara seluruh sektor, dari pengusaha, pengamat, LSM, hingga pelaku. Bangun komunikasi dua arah. Bongkar kebuntuan itu dengan positif terhadap keluhan mereka sehingga ada solusi. Saya melihat kebijakan Menteri Susi sangat bagus terobosan-terobosannya, tetapi butuh pemolesan. Tidak bisa nelayan protes lalu langsung disalahkan. Nelayan melanggar karena untuk makan keluarganya. Antara kedua kepentingan ini harus ada jalan tengahnya.
Saya tidak mendukung pelanggaran terhadap aturan dan hukum. Akan tetapi, harus ada solusi terhadap permasalahan dapur rumah tangga nelayan.
Ada masukan dari pelaku usaha yang membeli kapal dari luar negeri dengan modal sendiri, mendapat izin dari kementerian perhubungan, tetapi tidak dapat izin dari KKP. Ini akan kita lihat permasalahannya untuk dikaji berdasarkan masukan para ahli, tokoh, dan organisasi nelayan. Saya akan berdiri di atas semua golongan dan akan berpikir positif. Pajak yang dibayar nelayan menjadi ukuran berapa ikan yang ditangkap.
Kita juga akan melihat program bantuan nelayan, sejauh mana efektivitas dan manfaatnya. Apa perlu ditambah atau dikurangi.
Tentu ada sejumlah program terobosan yang sudah dilakukan, seperti asuransi nelayan, kampung nelayan, dan perbenihan. Hal yang bagus akan terus didorong, tetapi hal-hal yang belum sinkron akan disinkronkan.
Ada 11.000 karyawan KKP di seluruh Indonesia. Sumber daya manusia ini harus dibina. Sebelum membina orang banyak, bina dulu internal. Masih banyak jabatan kosong di KKP yang perlu diisi. Saya juga tidak akan melakukan perombakan, saya beri waktu 6 bulan untuk melihat.
Anggaran KKP dalam 5 tahun terakhir terus berkurang. Bagaimana melihat keberpihakan anggaran?
Presiden sudah menekankan jangan ada korupsi. Manfaatkan anggaran semaksimal mungkin. Anggaran KKP pernah mencapai Rp 11 triliun pada 2015, tetapi selanjutnya berkurang. Bukan karena diturunkan, tetapi penyerapan anggaran belum optimal. Saat ini anggaran KKP bisa dibilang kecil. Untuk efektivitas penyerapan anggaran dan mendorong perikanan budidaya, kenapa tidak diperbanyak bantuan peralatan budidaya. Perbenihan dioptimalkan. Komoditas unggulan, seperti udang, didorong lebih optimal.
Di perikanan tangkap, nelayan didorong tidak hanya menangkap di pinggiran, tetapi menangkap hingga ke Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Akan tetapi, butuh proses. Bagaimana nelayan bisa diharapkan membawa kapal ikan besar kalau tidak ada pembinaan. Kita lakukan dulu pembinaan ini. Pada periode sebelumnya, sudah dibangun tujuh politeknik perikanan, tinggal memaksimalkan jumlah siswanya dan mendorong minat mereka menangkap ikan di laut.
Terkait komitmen pemberantasan perikanan ilegal, bagaimana arah peran Satgas 115 (Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal)?
Persoalan program pemberantasan perikanan ilegal sudah gencar pada periode sebelumnya. Kita akan evaluasi sejauh mana efektivitasnya, harus dilanjutkan, dong, untuk perlindungan sumber daya laut. Kita sudah punya aparat pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan (PSDKP-KKP), tetapi jam berlayar baru 120 hari per tahun. Kenapa tidak dibuat hari berlayar 360 hari?
Tinggal kita perkuat koordinasi dengan mitra sejajar kita, TNI AL, Bakamla (Badan Keamanan Laut), kejaksaan, dan kepolisian. Saling melengkapi. Ada Bakamla, kenapa harus ada Satgas 115? Kalau saya condong agar PSDKP-KKP diperkuat dan diberi kewenangan untuk koordinasi. Kita sudah punya data satelit untuk memantau kapal ikan. Jika mematikan GPS, kapal tidak boleh lagi beroperasi. Kapal-kapal yang memanipulasi ukuran tidak diberikan izin.
Apa target 100 hari pertama pemerintahan?
Saya tidak akan bicara 100 hari karena Presiden tidak bicara 100 hari. Akan tetapi, saya akan membuktikan, Presiden tidak menyesal memilih saya dan rakyat Indonesia tidak kecewa saya ditempatkan di KKP karena ada hasilnya. Beberapa yang akan dibereskan adalah aturan-aturan, penguatan organisasi, dan upaya penguatan budidaya. Saya akan mempertemukan seluruh pemangku kepentingan dan komunikasi dua arah. Biar lama, enggak masalah. (BM LUKITA GRAHADYARINI)