Konfigurasi Kabinet yang Berulang
Kabinet yang dibentuk pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo memiliki pola yang serupa dengan komposisi kabinet era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono jilid II.
Kabinet yang dibentuk pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo memiliki pola yang serupa dengan komposisi kabinet era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono jilid II. Bertambahnya partai koalisi dalam periode kedua masa jabatan berbanding lurus dengan semakin besarnya jumlah kursi menteri dari kalangan partai politik.
Kabinet Indonesia Maju yang baru saja dibentuk Presiden Joko Widodo kembali diisi sejumlah tokoh dari kalangan partai politik dan nonpartai. Dari 34 pos kementerian, 17 jabatan di antaranya diisi oleh tokoh yang berasal dari partai politik.
Sejumlah partai politik pendukung Jokowi dalam Pemilu Presiden 2019 turut memperoleh jatah kursi menteri, seperti PDI-P (4 kursi), Golkar (4 kursi), Nasdem (3 kursi), PKB (3 kursi), dan PPP (1 kursi). Gerindra, partai politik yang mengusung Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019, juga turut memperoleh dua kursi menteri.
Secara persentase, jumlah kursi menteri dari kalangan partai politik dan nonpartai politik berimbang. Namun, jika dibandingkan periode pertama 2014, terdapat penambahan jatah kursi menteri dari kalangan partai politik.
Pada periode awal Kabinet Kerja, Jokowi memberikan 14 kursi menteri kepada partai politik dari total 34 jabatan menteri. Partai pendukung dalam Pilpres 2014 turut mendapatkan jatah kursi menteri, seperti PDI-P, Nasdem, PKB, PPP, dan Hanura.
Artinya, terdapat penambahan tiga kursi menteri untuk kalangan partai politik, dari 14 kursi pada 2014 menjadi 17 kursi pada 2019. Konsekuensi logis dari kebijakan ini adalah berkurangnya jumlah menteri dari kalangan profesional nonpartai. Pada lima tahun lalu, jumlah menteri dari kalangan profesional nonpartai mendominasi dengan jumlah 20 kursi dan kini berkurang menjadi 17 kursi.
Berkurangnya jumlah menteri dari kalangan nonpartai politik pada periode kedua pemerintahan juga terjadi pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Saat membentuk Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, SBY memberikan porsi jabatan menteri yang lebih besar kepada partai politik dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya.
Saat membentuk Kabinet Indonesia Bersatu jilid I tahun 2004, SBY memberikan jatah 16 kursi menteri kepada partai politik dari 34 pos jabatan menteri. Sementara 18 pos jabatan menteri lainnya diberikan kepada kalangan profesional nonpartai.
Komposisi ini berubah saat SBY membentuk Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II tahun 2009. Jatah kursi bagi menteri yang berasal dari partai politik bertambah menjadi 21 kursi. Artinya, terdapat penambahan lima kursi menteri untuk partai politik dibandingkan dengan awal periode pemerintahan sebelumnya.
Perubahan juga dilakukan oleh SBY pada porsi jabatan untuk menteri dari kalangan profesional nonpartai. Dari 34 pos kementerian, 13 kursi di antaranya diduduki oleh menteri dari kalangan nonpartai. Artinya, terdapat pengurangan lima kursi bagi menteri nonpartai jika dibandingkan dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid I.
Partai pendukung
Perubahan komposisi jabatan menteri dari partai dan nonpartai berbanding lurus dengan gelombang dukungan yang kian membesar dari partai politik pada setiap periode kedua pemerintahan. Kondisi ini terjadi pada era pemerintahan SBY dan Jokowi.
Saat bertarung dalam Pemilu Presiden 2004, SBY tak didukung oleh banyak partai politik. Pada pemilihan presiden putaran pertama, SBY-Jusuf Kalla didukung oleh Demokrat, PBB, dan PKPI.
SBY saat itu harus berhadapan dengan koalisi gemuk yang mendukung pasangan Amien Rais-Siswono Yudo Husodo. Pasangan ini didukung oleh PAN, PKS, dan sejumlah partai lainnya, seperti Partai Bintang Reformasi, Partai Nasional Benteng Kerakyatan, dan Partai Sosialis Indonesia.
Meski tak didukung oleh banyak partai, SBY berhasil melenggang ke pilpres putaran kedua. Dengan tambahan dukungan dari sejumlah partai, seperti PKS dan Partai Pelopor, pasangan SBY-JK berhasil memenangi kontestasi seusai meraih suara 60,62 persen. SBY berhasil unggul atas pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi yang meraih suara 39,38 persen.
Keadaan sebaliknya terjadi saat Pilpres 2009. Giliran SBY yang mendapatkan dukungan dari banyak partai politik. Selain Demokrat, dukungan juga diberikan oleh empat partai politik di parlemen, yakni PKS, PAN, PKB, dan PPP. Seusai pilpres, Golkar turut merapat ke koalisi SBY-Boediono.
Perubahan ini berdampak pada bertambahnya alokasi kursi menteri untuk partai politik. Golkar, misalnya, memperoleh tiga alokasi kursi menteri saat awal periode pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Padahal, Golkar merupakan partai pendukung pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid pada Pemilu 2004 dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto pada tahun 2009.
Kondisi serupa dialami Joko Widodo. Saat pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014, Jokowi hanya didukung oleh empat partai politik di parlemen, yakni PDI-P, PKB, Hanura, dan Nasdem.
Persis seperti awal pencalonan SBY sebagai presiden, Jokowi juga berhadapan dengan koalisi gemuk yang kala itu mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Prabowo saat itu diusung oleh Golkar, Demokrat, Gerindra, PPP, PAN, PKS, dan PBB.
Kondisi sebaliknya terjadi pada Pemilu 2019. Seperti SBY pada 2009, Jokowi didukung oleh lebih banyak partai politik. Terdapat 10 partai yang menyatakan dukungannya kepada Jokowi pada Pilpres 2019. PPP, Golkar, dan PBB, yang lima tahun sebelumnya mendukung Prabowo, kini berbalik arah mendukung Jokowi. Bahkan, jelang pengumuman jabatan menteri, Gerindra juga merapat pada koalisi Jokowi.
Perubahan ini juga berdampak pada meningkatnya alokasi kursi untuk menteri dari kalangan partai politik. Meski secara proporsi tak banyak berubah, terdapat tambahan untuk Gerindra sebanyak dua kursi menteri.
Kementerian strategis
Meski mengalami perubahan, Jokowi masih memercayai kementerian strategis kepada menteri dari kalangan nonpartai. Kondisi ini mirip dengan komposisi kabinet pada era pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2014) dan Kabinet Kerja (2014-2019).
Menteri BUMN, misalnya, yang kini dijabat oleh Erick Thohir. Dalam dua dekade terakhir, pos kementerian ini dijabat oleh kalangan profesional nonpartai, seperti Sofyan Djalil (2007-2009), Dahlan Iskan (2011-2014), dan Rini Soemarno (2014-2019).
Hal serupa dilakukan oleh Jokowi untuk pos Kementerian Keuangan. Jabatan tetap diberikan kepada Sri Mulyani dari kalangan profesional nonpartai. Sejak era SBY, posisi ini selalu diberikan kepada kalangan nonpartai, seperti Jusuf Anwar (2004-2005) dan Bambang PS Brodjonegoro (2014-2016).
Perubahan terjadi pada posisi Menteri Dalam Negeri. Posisi ini sebelumnya diisi oleh kalangan partai politik, seperti Gamawan Fauzi dari Demokrat (2009-2014) dan Tjahjo Kumolo dari PDI-P (2014-2019). Kini, posisi tersebut dijabat oleh Tito Karnavian yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Polri (2016-2019).
Melihat konfigurasi kabinet dalam dua suksesi kepala negara selama empat pemilu terakhir, bukan hal yang mustahil pola serupa terjadi pada masa pemerintahan ke depan. Meski demikian, apa pun latar belakangnya, kalangan profesional tetap perlu memperoleh porsi, terutama untuk mengisi pos jabatan strategis. (DEDY AFRIANTO/LITBANG KOMPAS)